Bagian - 2

553 82 1
                                    

"Kalian saling kenal?" Sejak tadi Iptu Galih terus menginterogasinya. "Eh, atau jangan-jangan perempuan itu yang sudah bikin kamu gagal move on puluhan tahun?"

Raga tidak akan membagi kekacauan hatinya pada siapapun. Sebenarnya Raga masih punya kesempatan. Status Dara dengan dokter laki-laki itu masih berpacaran. Jika dilihat dari tampangnya, laki-laki itu seperti keturunan Cina. Sedangkan Dara terlahir dari keluarga muslim yang taat. Jika dugaannya ini benar, berarti mereka menjalani hubungan beda agama.

"Emang cantik sih, Bro. Tapi kira-kira dia sudah nikah belum? Tadi kalian ngobrolnya sudah sejauh mana? Dia nggak lupa sama kamu kan?"

"Dia sempat lupa." Menghindari percakapan dengan satu-satunya manusia yang berada di kendaraan ini rasanya mustahil. "Tapi langsung ingat pas aku nyebutin nama."

"Ah, syukurlah! Berarti sesekali dia masih mikirin kamu. Tapi dia sudah punya suami belum?" Tanya Galih lebih lanjut.

"Belum." Jawab Raga. "Tapi sudah punya pacar. Satu profesi sama dia."

"Haish, jangan patah semangat! Sebelum janur kuning melengkung. Perempuan itu masih bebas." Rekannya yang sedikit gesrek ini memberinya semangat. "Kamu tahu nggak caraku ngedapetin istriku? Dulu istriku juga sudah punya pacar. Istriku ini dulu teman kuliahku. Dia kalau lagi bertengkar sama pacarnya, pasti curhatnya selalu ke aku. Dan aku akan selalu jadi pendengar setia. Cewek itu paling tersentuh dengan cowok yang bisa menjadi pendengar yang baik. Mungkin dia luluh karena itu."

Cerita Galih cukup menghibur. Sehingga Raga tertarik untuk mendengarkan kelanjutannya. "Terus?"

"Pas dia lagi break sama pacarnya, aku masuk saja tuh. Aku tembak dia. Langsung sekalian aku ajak nikah. Eh, nggak banyak mikir dia langsung nerima lamaranku. Saat itu umur kami emang sudah dua puluh lima tahun sih. Dia juga sudah didesak sama orang tuanya suruh cepat nikah."

"Wah, rezekimu berarti!" Ujar Raga.

Galih manggut-manggut. "Rezeki anak sholeh, Bro! Hahahaha."

Sepulang dari rumah sakit, Raga dan kawannya langsung meluncur ke daerah rawan begal, yang beberapa waktu lalu sempat ada laporan dari penduduk setempat.

"Kasian loh, Pak. Anak-anak kalau mau berangkat sekolah jadi was-was. Mereka juga membawa senjata tajam. Sejauh ini memang tidak ada korban jiwa, tapi kita nggak akan tahu ke depannya bagaimana. Bisa saja para begal itu akan semakin berani karena daerah sini jauh dari pengawasan." Ujar salah seorang warga yang sengaja ditemuinya untuk dimintai keterangan.

"Mulai hari ini kami sudah merutinkan patroli pagi dan malam, Pak." Galih memberitahu.

"Yang Bapak tahu, orang-orang itu asli sini atau pendatang?" Kini giliran Raga yang bertanya.

"Sepertinya bukan anak sini, Pak." Jawab si warga. "Belum orang loh, Pak. Masih bocah-bocah. Paling belum ada umur dua puluh tahun."

"Ciri-cirinya, Pak?" Tanya Raga lebih lanjut.

"Pokoknya banyak tato. Rambutnya panjang. Kelihatan anak ugal-ugalan lah, Pak. Tatonya sampai ada yang di wajahnya juga."

Raga dan Galih saling pandang. Seolah sedang memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya mereka pamit pada si warga untuk melanjutkan urusannya berkeliling.

"Kayaknya aku tahu siapa mereka!" Ujar Raga, teringat gerombolan anak punk yang pernah melakukan penargetan di pintu masuk salah satu tempat wisata. Mereka sudah pernah diringkus oleh tim Raga beberapa tahun yang lalu, tapi saat sudah bebas, mereka kembali berbuat ulah.

"Sinyo dan kawan-kawannya." Sahut Galih.

"Emang setan mereka! Sudah sering keluar masuk penjara nggak pernah kapok."

"Mereka nggak akan kapok sebelum masuk neraka!" Galih menghentikan kendaraannya di perbatasan jalan yang katanya dijadikan tempat mangkal para preman tersebut. "Kita tunggu mereka sampai muncul."

"Katanya mereka membawa senjata tajam. Jumlahnya juga nggak sedikit." Raga bukannya takut, ia hanya realistis.

"Iya juga." Gumam Galih. "Kalau gitu, mulai besok kita jangan hanya berdua, Bro."

Dulu bahkan saat menangkap Sinyo atas kasus penargetan, Raga sampai harus mengerahkan dua puluh lima rekan polisi. Jaringan Sinyo cukup luas. Bahkan kabarnya Sinyo memiliki bekingan yang bisa meringankan hukuman yang sudah dijatuhkan oleh hakim.

"Yang kita hadapi bukan sembarang preman. Mereka bisa saja nekat menghabisi polisi sekalipun." Lanjut Galih.

Raga tahu itu. Saat nanti para gerombolan Sinyo muncul di hadapannya, Raga tidak boleh gegabah.

"Itu mereka!" Seru Galih saat terdengar ramai-ramai suara motor digas keras-keras. Ternyata jumlahnya cukup banyak. Raga belum selesai menghitungnya, tapi sepuluh motor pasti ada. Sayang sekali, mereka langsung kabur saat mendapati mobil patroli berhenti di pinggir jalan.

"Mereka kabur! Berarti mereka masih ada rasa takut sama kita!" Ujar Galih menelengkan kepalanya ke belakang, mengikuti berlalunya para geng punk. "Aku yakin untuk dua hari ke depan mereka nggak bakalan muncul. Nunggu kita lengah, baru muncul lagi."

"Kita cabut sekarang! Ke sini dua hari lagi." Titah Raga.

"Siap, Bosku!" Galih kembali menjalankan kendaraannya.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang