Bagian - 8

440 80 3
                                    

Dara sedang berada di sebuah ruangan yang di situ terdapat beberapa orang penting, di antaranya keluarga inti pemilik rumah sakit tempatnya bekerja yang salah satunya berstatus sebagai direktur, seorang pengacara yang akan menangani kasus ini, dan Dokter Budi sebagai rekan satu profesi. Dara tidak menyangka akan berurusan dengan manusia setengah preman yang tega mengkasuskan resep darinya dan membuat Dara harus menghadapi masalah pelik seperti sekarang.

"Ini obat yang biasa saya resepkan untuk penderita penyakit jantung." Ulang Dokter Budi yang berusaha menjelaskan dengan kalimat paling sederhana pada pengacara kepercayaan Prof Asga. "Dan empat jenis obat ini juga yang sudah Dara berikan kepada si pasien. Keluarga pasien sendiri yang memberikan ini kepada saya."

Pengacara tersebut mengangguk paham, lalu kembali menekuri berkas-berkas laporan yang dilayangkan keluarga pasien pada Dara dan rumah sakit.

"Sejauh yang aku ngerti ini bukan termasuk malpraktik seperti yang tertulis di situ ya, Dam." Ujar Prof Asga pada pengacaranya. "Pasien datang untuk memeriksakan diri ke Dokter Dara. Setelah diperiksa menyeluruh, dan Dokter Dara memastikan pasiennya tidak cukup parah untuk dirawat inap, akhirnya Dokter Dara memberikan resep rawat jalan. Benar begitu, Dok?"

Dara mengangguk. "Benar, Prof. Itu ada saksinya Ninis dan Bu Tina yang membantu saya di poli karena pasien cukup banyak saat itu."

"Kondisi pasien bagaimana? Apakah tiduran di brankar?" Tanya sang pengacara.

"Seingat saja tidak, Pak. Pasien masih bisa jalan sendiri masuk ke dalam ruangan." Jawab Dara kurang yakin, karena tidak mungkin ia mengingat ratusan pasiennya.

"Kamu harus yakin." Tegur si pengacara yang entah dari mana bisa tahu jika Dara masih ragu-ragu.

"Untuk itu nanti kita bisa lihat di cctv, Dam." Prof Asga menengahi. Ingatkan Dara untuk selalu berterima kasih pada Prof Asga yang sudah begitu baik mengawal kasus ini.

"Sebenarnya ini tuduhan mengada-ngada sih, Ga!" Pengacara yang dipanggil dengan sebutan Damian itu menghempaskan punggungnya di sandaran kursi setelah hampir dua jam fokus menekuri berkas-berkas perkara. "Sudah jelas-jelas pasien pulang ke rumah dalam keadaan utuh dan sehat. Mengkonsumsi obat dari rumah sakit sampai beberapa hari ke depan kondisinya aman-aman saja. Lalu hari ke lima, pasien meninggal dan dimakamkan saat itu juga. Dari situ aja, kita sudah bisa menyimpulkan kalau keluarga pasien awalnya nggak mempermasalahkan soal obat."

"Nah! Harusnya kasus ini gampang diusut kan, Dam?" Seorang dokter senior yang juga berstatus pemilik rumah sakit mengeluarkan suaranya.

"Nggak perlu diusut, Yess. Dibiarin aja sudah. Sudah terlalu banyak kasus yang polisi tangani. Jelas-jelas laporan keluarga pasien ini mengada-ngada. Nggak kuat. Sudah, kita abaikan aja. Itu sih kesimpulan kita berkumpul siang ini."

"Jadi gitu?" Prof Asga terkekeh tak percaya.

"Justru keluarga pasien yang bikin rusuh di rumah sakit itu bisa dilaporkan. Karena sudah membuat suasana rumah sakit yang seharusnya aman dan tenang jadi nggak kondusif. Membuat tenaga medis ketakutan karena perilakunya yang di luar batas wajar." Pengacara itu menjelaskan yang dibalas anggukan oleh seisi ruangan yang tengah menyimaknya.

"Mohon maaf, sebentar, Pak." Dokter Budi mengangkat sebelah tangannya. "Kemarin itu, si keluarga dari pasien, sempat mengancam saya, saat saya mencoba membela diri bahwa obat ini bukan racun. Kan dia sempat menuduh bahwa ini obat racun. Lalu dia mengancam saya, bahwa dia memiliki saudara seorang polisi yang bisa memastikan dokter yang memeriksa pasien tersebut masuk penjara. Bagaimana itu, Pak?"

"Semua orang punya hak untuk ngaku-ngaku." Ujar sang pengacara yang disambut kekehan beberapa orang di dalam ruangan. "Dokter Budi harusnya bilang juga ke dia, kalau bapak saya Jendral Polisi. Saya nggak takut dilaporin. Orang saya nggak salah. Begitu dong!"

Mereka semua serempak tertawa.

"Jangan takut, jangan terlalu dipikirkan." Sebelum keluar ruangan Prof Asga sempat mendekati Dara dan memberikan nasihat untuk tidak perlu khawatir. Meyakinkan Dara bahwa semua orang akan mendukungnya. Membesarkan hati Dara agar tidak kapok dan tetap semangat menjalani tugasnya sebagai seorang dokter untuk mengobati pasien. Dara sangat terharu mendapat perhatian sedemikian rupa.

Hari sudah sore saat Dara keluar dari rumah sakit dan melangkah ke tempat parkir di mana motor maticnya berada. Dara memasang helm, lalu memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang. Baru separuh perjalanan, tiba-tiba saja ada kendaraan polisi menghadangnya, lalu dua orang keluar dari sana. Dara terlalu kaget dan tidak siap saat orang-orang itu berada di kedua sisinya, dan dengan tidak sopan menarik lengannya untuk menjauhi motor maticnya.

"Apa-apaan ini?!" Teriak Dara berusaha melepaskan diri.

"Kami mendapat surat perintah untuk menangkap Dokter Dara atas kasus malpraktik pada pasien Bapak Sujono." Ujar salah satu di antara mereka sambil terus menyeret Dara masuk ke dalam kendaraan polisi.

"Lepas!" Dara terus memberontak meski usahanya hanya sia-sia. "Ini nggak benar, Pak! Bapak pikir saya ini teroris sampai diperlakukan seperti ini?!"

"Bisa nanti dijelaskan di kantor. Sekarang Dokter Dara harus ikut kami."

"Lepas! Ini nggak benar! Saya nggak salah!" Dara sudah mulai mengeluarkan air matanya. Takut, marah, sedih, bercampur jadi satu. "Kalian tidak melakukan prosedur yang benar dalam penangkapan!" Dara tidak perduli terlihat gila, ia hanya ingin mengeluarkan unek-uneknya. Kendaraan polisi sudah mulai berjalan. Motor matic Dara ikut diangkut di belakang.

"Kalian ini seorang polisi seharusnya melindungi rakyat! Bukan malah melakukan tindakan seperti penculik!" Dara meraung, meski tak seorangpun dari ketiga polisi yang berada di dalam kendaraan ini menggubrisnya.

Rasa frustasi terasa mencekik. Dara merasa ini tidak adil. Tidak seharusnya Dara diperlakukan layaknya seorang penjahat kelas kakap. Sudah dibahas secara gampang di pertemuan siang tadi, bahwa laporan yang dilakukan keluarga pasien terlalu mengada-ngada. Sehingga sulit bagi Dara untuk dikenakan pasal.

Tapi apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Dara diseret dengan tidak hormat. Tubuh Dara terasa lemas, meski upaya untuk melepaskan diri terus ia lakukan sampai kendaraan yang mengangkutnya berhenti di pelataran polres. Kembali Dara ditarik paksa untuk keluar kendaraan dan melangkah masuk ke dalam gedung. Dara terseok-seok. Semakin merasa kecil dan terhina dengan kelakukan para orang-orang berseragam ini. Dara terus berteriak dan memaki, tidak perduli akan jadi pusat perhatian semua orang. Tidak perduli dengan snelli kebanggaan yang ia kenakan. Yang pasti, ia hanya ingin protes.

"Ada apa ini?!" Tidak disangka, suara familer menghadang langkah mereka. Serempak terhenti. Dan Dara mengambil kesempatan itu untuk melepaskan diri dan bersembunyi di belakang pemilik suara yang ia kenal.

"Lapor! Kami mendapat perintah dari Ipda Ardi untuk menangkap Dokter Dara, dalam kasus dugaan malpraktik. Sekarang kami akan langsung membawanya ke ruang penyidik. Mohon maaf ...."

"Raga, itu nggak benar!" Teriak Dara, buru-buru menarik lengan Raga untuk menjauhi tiga orang tersebut.

"Ada apa?" Tanya lelaki itu bingung.

"Aku nggak salah, Raga! Aku mau hubungi teman dan pengacaraku boleh? Biar ngebantuin aku jelasin ke kamu. Tapi, tasku disita sama mereka. Astaga, ini nggak benar." Dara pasti terlihat berantakan sehingga membuat sosok di depannya langsung mengangguk dan mengambil alih tas jinjing itu dari tangan bawahannya.

"Biar aku yang urus. Kalian boleh pergi." Ujar Raga pada orang-orang itu.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang