Bagian - 3

510 91 0
                                    

Dara baru saja mendapat kabar dari Ninis jika Gabriel mendaftarkan diri sebagai dokter relawan di kota paling timur dari negara Indonesia untuk mewakili rumah sakit ini. Kota tersebut sedang terserang wabah berbahaya yang membutuhkan banyak tenaga medis terutama dokter spesialis kulit dan kelamin. Dara bukan tidak setuju dengan kemuliaan hati kekasihnya yang hendak menjalani kerja cuma-cuma. Dara hanya tersinggung, karena Gabriel tidak meminta pendapatnya terlebih dahulu.

"Yang! Astaga, aku pikir siapa. Bikin kaget saja. Tumben, masuk nggak ketuk pintu?" Lelaki itu masih di ruangannya sedang menekuri buku jurnal yang cukup banyak di atas meja.

"Kenapa kamu nggak cerita ke aku kalau mau ikut ke Jayapura?!" Tembak Dara langsung, sembari menutup pintunya dan melangkah mendekat. Dara mencoba untuk tetap tenang, meski gejolak dadanya terasa berkobar.

Gabriel menatapnya dengan kaca mata yang melorot ke bawah. "Oh, jadi kamu sudah tahu."

"Sengaja kan kamu melakukan ini?" Dara bersidekap. "Niat kamu ninggalin aku?"

"Hei, bukan begitu." Gabriel beranjak dari kursi dan melangkah mendekati Dara. "Dari kemarin kita sama-sama sibuk sampai nggak ada waktu buat ketemu padahal kita kerja di rumah sakit yang sama. Aku bukan nggak mau ngasih tahu. Bicara di telepon jelas akan beda, karena kamu nggak bisa lihat ekspresi wajahku."

"Kamu mendaftarkan diri menjadi relawan ini sudah dari seminggu yang lalu, Gab! Kita sibuk, tapi kan kita masih selalu ketemu." Dara menampik tangan lelaki itu yang hendak menjangkau pinggangnya. Jujur saja, pertahanannya untuk tidak meraungi Gabriel hampir jebol. "Nggak usah dekat-dekat! Aku lagi malas sama kamu!"

"Ketemunya kan cuma sebentar, Sayang. Dan kamu pasti butuh penjelasan. Nggak mungkin kamu terima gitu saja sama keputusanku. Makanya aku tunda sampai kita benar-benar punya waktu ngobrol."

"Ditunda-tunda sampai akhirnya kamu lupa sama tujuanmu kan?!" Sentak Dara. "Besok kamu sudah harus berangkat, dan aku baru tahu hari ini. Kalau bukan karena Ninis, aku nggak bakal tahu rencanamu. Dan aku yakin kamu nggak akan pernah ngasih tahu aku sampai kamu sudah berada jauh dariku. Astaga, astaga!" Dara tidak lagi bisa membendung luapan emosi yang menggumpal di dadanya. Meluncur sudah air matanya.

"Dar ...." Gabriel mencoba untuk menjangkau tubuh Dara, tapi lagi-lagi Dara menghindar.

"Sebenarnya apa yang ada di kepalamu, Gab? Kamu mau pergi nggak sebentar loh. Kamu mikirin perasaanku nggak sih?!" Sekarang, Dara pasti sudah mirip seperti wanita sedang kesetanan. "Di rumah sakit ini banyak dokter yang bisa berangkat ke sana, tapi kenapa harus kamu?!"

"Ini pekerjaan mulia, Sayang. Cita-citaku. Kamu tahu itu!"

"Terus, gimana dengan kita? Hubungan kita?" Tuhan, haruskah Dara mengemis seperti ini?! "Seharusnya kamu sibuk ngeyakinin Bapak buat kasih restu kita! Kamu mikirin keselamatan orang lain, tapi nasib masa depanmu sendiri sengaja kamu abaikan!"

Gabriel menggeleng, lalu berbalik, kembali ke kursinya. "Cukup, Dar. Jangan sekarang kalau mau ngebahas soal Bapakmu." Tegas lelaki itu, sudah kembali menekuri buku-buku di hadapannya, seolah kehadiran Dara di ruangan ini tak terlalu penting.

"Kenapa?! Kamu sudah capek berjuang, hah?!" Tubuh Dara bergetar. Hatinya benar-benar sakit.

"Sekarang ini bukan waktu yang tepat untuk ngebahas Bapakmu. Entar kita malah jadi berantem. Kamu tahu sendiri besok aku berangkat. Harusnya sekarang ini kita gunakan waktu sebaik-baiknya buat quality time bareng. Bukan malah berantem."

Dara mencoba mengendalikan diri dengan cara menarik napas panjang dan membuangnya cepat. "Setengah tahun kamu akan pergi, Gab. Di sana juga nggak mudah sinyal. Kamu mikir tentang ini nggak? Gimana kita bisa berkomunikasi untuk tahu kabar satu sama lain?"

"Memang nggak mudah, Yang! Itu sudah risiko."

Hening. Dara kehabisan kata. Keduanya saling tatap.

"Jadi kamu sudah siap nggak dengar suaraku dalam sehari, dua hari, bahkan berhari-hari?" Perih sekali saat mendengar kita harus mengemis untuk dimengerti oleh lelaki yang kita cintai. Gabriel, please, bisakah kamu tetap tinggal saja? Sebuah permohonan yang hanya menggantung di lidahnya, tanpa berani Dara ungkapkan.

"Siapa tahu, dengan begini, Bapakmu akan bangga padaku. Dan mau nerima aku jadi menantunya. Kerikil di hubungan kita ini cuma Bapakmu, Dar. Bapakmu nggak pernah percayakan anaknya padaku. Aku bukan nggak berusaha kan? Selama ini kamu sudah lihat sendiri. Sebaiknya kita akhiri saja topik ini. Aku butuh kondisi yang baik untuk persiapan besok."

Entah dengan cara berlari, atau berjalan tenang seperti biasanya, Dara tidak terlalu ingat. Namun yang pasti, sekarang, Dara sudah menemukan dirinya sedang berada di ruangannya sendiri. Terduduk dengan tatapan kosong. Air matanya sudah mengering dari beberapa saat yang lalu. Jujur, Dara bingung harus bersikap. Komunikasinya dengan Gabriel yang terakhir tidak bisa dikatakan baik.

Saat terjadi cekcok, keduanya mungkin akan mengalami fase tidak saling menyapa selama satu hari, lalu hari berikutnya keduanya akan sama-sama mengungkapkan penyesalannya untuk mencari solusi. Tapi, tentunya beda dengan yang sekarang. Besok keduanya sudah harus terpisah. Dara gagal menahan kekasihnya itu untuk tetap tinggal. Lantas, bagaimana cara keduanya nanti menyelesaikan masalah?

Tubuh Dara terasa menggigil. Jantungnya berdegup kencang. Yang Dara takutnya seperti menari-nari di depan matanya. Tuhan, apakah hubungannya dengan Gabriel telah menemui titik akhir?

***

"Aku juga nggak tahu harus berbuat apa kalau seandainya ada di posisimu." Ujar Hayu, usai Dara menumpahkan unek-uneknya. "Bertahun-tahun kenal Gabriel, aku nggak pernah melihat tanda-tanda cowok pengecut ada di dalam diri dia. Setahuku, Gabriel dokter yang cerdas, baik, ramah, sabar, beberapa kali aku merhatiin cara dia menghadapi sifat manjamu. Makanya, aku masih ngerasa aneh kalau dia tiba-tiba bersikap seperti itu ke kamu."

Dara masih memainkan tisu di wajahnya. Sejak tadi air matanya tidak berhenti keluar.

"Dar, ini bukannya aku nggak percaya, ya. Tapi, yang lagi kita bahas ini seperti bukan Gabriel banget. Dia nggak mungkin setega itu sama kamu."

"Apa ini akhir dari hubunganku sama dia ya, Yu? Ternyata Gab bukan jodohku? Tujuh tahun nggak berarti." Saat mengatakannya, Dara bahkan antara sadar dan tidak.

"Justru hubungan yang makin banyak rintangannya itu yang berbobot. Begini saja deh. Tekan egomu, sekarang kamu coba hubungi dia. Ajak dia ketemu. Bicarakan baik-baik."

Dara buru-buru menggeleng. "Nggak bisa, Yu. Aku sama dia masih sama-sama emosi. Yang ada nanti bukannya kelar, tapi malah nambah masalah. Tiap kami tengkar, minimal kami ngasih waktu satu hari untuk intropeksi diri. Baru kami bisa sama-sama cooling down."

"Tapi besok dia sudah berangkat, Dar. Kalau masih harus nunggu emosi reda, kapan kalian bisa kelarin masalah? Kalian bahkan nggak tahu kapan akan bertemu lagi. Astaga, aku ikutan pusing!"

"Itulah yang sejak tadi aku pikirkan! Itu yang bikin aku nggak berhenti nangis." Dara kembali mengeluarkan air matanya.

"Makanya itu! Kamu mau nangis sampai air matamu kering juga nggak akan bisa nyelesaiin masalah, Beb. Ayo deh, coba telepon dia sekarang. Perkara dia mau angkat nggaknya, itu urusan belakang. Yang penting kamu sudah usaha untuk ngajak dia baikan."

Dara tetap tidak setuju. Sekarang ini, antara dirinya dengan Gabriel masih sama-sama panas. Jika dipaksakan untuk bertemu dan membahas hal yang sama seperti tadi siang, sudah dipastikan masalah mereka tidak akan menemui solusi.

"Balik, yuk?! Aku nanti ada praktek malam. Kalau nggak sempat rebahan dulu di kasur, merem-merem dulu gitu, ngadepin anak kecil bisa spaneng!" Hayu berdiri, Dara juga.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang