"Hei, kamu kenapa menangis?"
"Raga jatuh karena aku, wajar kalau aku sedih lihat lutut Raga terluka." Gadis kecil yang membuat Raga mengambil langkah besar, rela turun dari sepedanya, untuk menangkap temannya yang belum mahir menggunakan sepeda pancal agar tidak jatuh dan terluka.
"Sudah jadi tugas laki-laki menjadi pelindung. Ini cuma luka kecil. Nggak sakit kok. Kamu jangan nangis, ya." Setelah berhasil melindungi gadisnya agar tidak terjatuh dari sepeda, sekarang Raga masih harus menenangkan tangis si gadis yang sedih saat melihat darah di lututnya.
"Tunggu di sini dulu, ya. Aku ambilkan obat-obatan. Aku akan rawat lukamu biar cepat sembuh." Si gadis segera melesat ke dalam rumahnya.
Sambil tersenyum, Raga mengangguk patuh.
"Aku pengin jadi dokter yang hebat supaya nanti kalau Raga terluka, aku bisa mengobatinya." Ujar gadis itu yang masih sibuk membubuhkan betadine, setelah membersihkan lukanya dengan cairan pembersih. "Aku janji akan mengobati luka Raga, karena Raga sudah selalu melindungiku." Gadis itu terdiam sejenak sebelum berbisik. "Hem, Raga juga mau berjanji untuk terus melindungiku sampai nanti kan?"
Raga mengangguk yakin. "Tentu saja. Tanpa dimintapun, aku akan terus melindungimu, Dara."
Gadis itu mengulurkan jari kelingking. "Janji?!"
Dengan senang hati Raga menyambutnya. "Janji!"
Lamunan Raga akan peristiwa puluhan tahun yang lalu terganggu saat suara dan tepukan rekan satu profesi yang sedang mengatur lalu lintas. Persis di depan rumah itu peristiwa yang membuat Raga tidak bisa lupa hingga detail-detailnya. Tapi sayangnya, rumah itu sudah berpindah kepemilikan oleh orang yang tidak Raga kenal.
"Aku perhatiin kamu selalu ngelamun lihatin rumah itu. Memangnya di rumah itu ada siapa sih? Cewek yang lagi kamu taksir?" Rekan yang baru ia kenal dekat satu bulan terakhir ini menggodanya.
"Tapi dia sudah pindah." Ujar Raga pendek.
"Jadi benar tebakanmu? Ada cewek yang kamu sukai tinggal di rumah itu? Ah, dari dulu aku emang jago menebak. Hem, berarti dulu kalian bertetangga dong? Sebelum kamu pindah karena komandan ditugaskan di luar jawa?"
Raga mengangguk. "Iya, dulu kami bertetangga. Kami selalu menghabiskan waktu bersama. Bermain sepulang sekolah. Bersepeda bersama." Tidak ada kenangan paling indah di hidup Raga selain daripada saat bersama Dara.
"Gila! Itu umur berapa sih? Aku baru ini lihat orang gagal move on sampai segitunya."
"Aku pindah ke luar jawa kelas dua SD. Saat terakhir aku melihatnya, dia menangis karena aku harus pindah dan nggak tahu kapan kami bisa bertemu kembali. Itu yang membuatku tidak bisa melupakannya. Aku sudah berjanji untuk selalu melindunginya."
Rekannya yang biasa dipanggil Iptu Galih itu melongo. "Ya ampun, Bro, kamu akan lupa sama dia saat nanti sudah nikah dan ngerasain enaknya main-main di tempat tidur daripada mengingat teman kecilmu. Kalian seumuran kan? Berarti cewek itu sekarang umurnya sudah dua puluh sembilan tahun. Mustahil cewek umur segitu belum kawin, Bro! Dia sudah move on. Bahkan mungkin sudah ganti-ganti pacar berkali-kali. Tapi kamu masih berdiri di tempat. Oh, ayolah!"
Raga sudah memperkirakan semuanya saat memantapkan diri untuk tetap setia pada gadis itu. Sehingga saat nanti Raga menemukan Dara dan mendapatinya sudah menjadi milik lelaki lain, Raga akan menerima risiko itu. Meski ia harus melalui patah hati terpanjang dalam hidupnya.
"Mas ganteng berbadan atletis dengan perut kotak-kotak. Nasi padangnya sudah datang. Monggo, segera disantap!"
Raga melotot saat lagi-lagi polwan satu ini memanggilnya dengan cara yang tidak semestinya. Posisinya sekarang sedang di kantor, dan banyak orang di sekitarnya. Ada atasannya juga yang bisa mendengar dengan jelas.
"Sudah, kawinin saja, Pak! Sama-sama single kan?" Celetuk salah seorang dari mereka yang langsung melempar kalimat-kalimat godaan.
"Kamu belum punya pacar, Ga?" Tanya sosok yang memiliki pangkat perwira tinggi POLRI, yang juga berstatus kakak dari Gladis, polwan yang berulah tadi. "Nggak mungkinlah Raga belum punya pacar."
"Memangnya kalau belum punya kenapa, Pak? Mau dijodohin sama Gladis? Tuh, Ga, sudah direstuin langsung karo Mas-e!" Sahut yang lainnya.
"Kalau sama-sama mau kenapa nggak?!"
Raga memilih pamit ke toilet karena merasa tidak nyaman. Tanpa disadarinya, si cewek pembuat ulah tadi mengekor di belakangnya.
"Sori, Mas! Jangan ngambek dong!" Ujarnya.
"Aku sudah melarangmu memanggilku dengan sebutan Mas." Raga berhenti melangkah. "Gladis, kita ini lagi di tempat kerja. Sudah seharusnya kita profesional."
"Iya, iya, soriiiii." Dengus Gladis tak benar-benar menyesal. "Aku pikir karena Pak Raga masih muda jadi nggak cocok dipanggil Bapak." Gladis menekan kata Pak Raga di ucapkannya.
"Kita sedang di tempat kerja, tunjukkan sikap sopanmu!" Raga kembali melanjutkan langkahnya. Menghadapi polwan yang belum genap satu bulan kenal saat ia harus dipindah tugaskan ke tempat ini, benar-benar membuat kesabarannya menipis.
"Bro! Aku cariin ke mana-mana ternyata kamu di sini!" Iptu Galih mendekatinya. "Jadi mau bareng ngebesuk ke rumah sakit nggak?" Kemarin Jenderal Polisi yang bernama Wiratama Jadmiko terkena serangan jantung dan langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Hari ini Raga beserta rekan-rekannya berniat untuk menjenguk.
"Sekarang?" Raga buru-buru menghabiskan kopinya dan menekan putung rokok di asbak. "Yuk!"
Kedatangan Raga rupanya bersamaan dengan dokter visit yang sedang memeriksa atasan mereka. Akhirnya Raga dan ke empat rekannya melipir ke sofa tunggu. Beberapa detik yang lalu Raga belum menyadarinya, namun sekarang jantungnya terasa akan lepas. Dokter perempuan yang tengah memeriksa Jenderal Wiratama adalah sosok yang sangat ia kenal dan ia cari-cari keberadaannya selama ini.
Raga beranjak dari tempat duduknya dan melangkah mendekat. Dr. Dara Audi Pramudita Sp.JP. Sebuah nama yang tercantum di Name Tag sang dokter.
Tidak salah lagi. Raga menghabiskan seumur hidupnya untuk terus mengingat gadis itu, bahkan tahi lalat yang bertengger di dagunya sebelah kiri sekalipun. Astaga, Raga tidak bisa memercayai ini. Dara benar-benar hanya berjarak dua meter darinya. Raga tidak bisa lagi membendung luapan perasaan yang mengumpul di dadanya.
Dara yang dewasa terlihat semakin memukau. Terdapat banyak perubahan dari segi fisik maupun gaya bicaranya. Raga tidak melepas tatapannya barang sejenak, hingga Dara pamit undur diri, dan secara reflek Raga mengikutinya keluar ruangan.
"Hai, apa kamu masih mengingatku?" Hadang Raga tepat di depan sang dokter.
Dara menatapnya dan tersenyum. "Maaf?"
"Aku Raga. Anaknya Bapak Kusuma Wirawan." Raga tidak ingin membuat Dara kesusahan untuk mengingatnya.
"Oh, astaga, Raga?!" Jerit gadis itu. "Kamu apa kabar?"
"Aku baik!" Senyum Raga mengembang. "Kamu akhirnya benar-benar menjadi dokter. Hebat!"
Dara membalas senyum itu. "Begitulah! Cita-citaku dari sejak kecil. Kamu juga sudah jadi polisi?"
Raga mengangguk. "Berkat seorang gadis yang membuatku harus membuat janji untuk terus melindunginya."
"Sayang!"
Belum selesai Raga dan Dara saling melepas rindu, seseorang yang juga berprofesi sama seperti Dara mendekat. Sesuatu yang Raga takutkan terjadi di depan matanya. Gadis yang ia cintai puluhan tahun lamanya ternyata sudah menjadi milik orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Janji (TAMAT)
RomanceSebuah kisah yang menceritakan tentang pengorbanan seorang lelaki untuk gadis yang dicintainya, tapi tidak mendapatkan balasan yang sepadan.