Bagian - 21

526 63 6
                                    

"Bisa kamu jelasin ini maksudnya apa?"

Dara mencoba mengulur waktu. Meletakkan tas dan iPadnya di atas meja, lalu mengecek arlogi yang sebentar lagi jam prakteknya akan dimulai. "Sudah sarapan belum? Mau sarapan dulu? Setengah jam lagi aku mulai praktek."

"Kamu belum jawab pertanyaanku." Ujar lelaki itu sambil melangkah mendekat. Dara masih belum bergerak dari tempatnya berdiri. "Bethari kirim gambar acara resepsimu dua hari lalu. Apa-apaan ini, Yang?! Bilang kalau ini semua nggak benar!"

Dara memberanikan diri untuk menatap sosok di depannya. Selama hampir enam bulan tidak bertemu, rasa rindu yang usang terasa menyesakkan dada. "Kamu pergi nggak ada kabar. Hubungan kita nggak ada kejelasan. Aku nggak bisa terus-terusan mengatasi keinginan Bapakku yang memintaku untuk cepat nikah. Nggak ada yang bisa aku lakukan, selain nurut."

Gabriel tampak terkejut mendengar perkataan Dara yang blak-blakkan. Sejenak, lelaki itu kehilangan suaranya. Menatapnya dengan cara tak biasa, seolah tak percaya dihadapannya adalah wanita yang dia kenal.

"Kamu nggak pernah ada kabar, Gab. Ponselmu mati. Kamu nggak pernah bisa dihubungi. Kamu nggak pernah baca pesanku sampai berbulan-bulan lamanya. Itu bukan waktu yang sebentar. Aku nggak bisa terus-terusan bersabar dan nurut sama cara kamu memaknai hubungan kita. Aku sedih, aku nangis, aku hancur, aku sakit, aku butuh kamu, tapi kamu nggak pernah ada."

"Astaga, di sana nggak ada sinyal. Aku sudah ngasih tahu hal ini ke kamu kan? Kamu juga sudah membacanya."

"Jujur aku nggak percaya ini." Dara menggeleng sembari memalingkan wajah. "Banyak tenaga medis yang dikirim ke sana tapi masih bisa kontekan sama keluarganya. Meskipun tidak setiap hari karena kami semua tahu kondisi di sana. Tapi setidaknya, mereka masih berkabar. Sementara kamu, nggak sama sekali, Gab. Enam bulan bukan waktu yang sebentar. Banyak kejadian yang sudah aku lalui, dan yang nggak kamu tahu."

Tatapan mata Gabriel yang penuh amarah berubah sendu. "Kamu kenal aku, Yang, gimana aku kalau sudah sibuk sama pekerjaan. Aku bisa nggak menyentuh ponsel seharian penuh karena harus mengurus pasienku yang nggak sedikit. Kamu sudah paham kekuranganku yang satu ini. Aku nggak bisa mengabaikan pasien-pasienku. Aku akan tetap kepikiran kalau mereka nggak segera ditangani. Tapi kamu bisa bertahan di sisiku karena aku masih memiliki kelebihan yang bikin kamu yakin sama aku. Lalu kenapa sekarang berubah? Apakah cinta kita sudah sangat rapuh untuk diperjuangkan? Kamu nggak percaya aku bisa membuat hubungan kita berhasil?"

Mendengar nada getir yang keluar dari mulut lelaki di depannya membuat tenggorokan Dara semakin tercekat. Semua yang terjadi bukan tanpa sebab, ketidakhadiran Gabriel di masa-masa krusial hidup Dara, susahnya berkomunikasi untuk menunjang terbentuknya sebuah hubungan tidak pernah terlaksana. Lantas, sekarang Gabriel merasa tersakiti karena kondisi ini? Apa kabar dengan yang Dara rasakan? Apakah Dara tidak boleh menyerah?

"Apa laki-laki itu pilihan Bapakmu? Kamu dipaksa nikah sama dia? Kamu nggak akan secepat itu jatuh cinta lagi kan, Yang? Aku kenal kamu. Ini sama sekali bukan karaktermu."

Secara tidak langsung, tebakan Gabriel benar. Namun, sebenarnya, Dara sendirilah yang memutuskan untuk menerima lamaran Raga. Dara bukan anak kecil yang bisa dipaksa. Kebaikan dan kesabaran Raga selama beberapa bulan ini membuatnya yakin akan jodoh. Terkadang bukan yang bertahun-tahun menjalin hubungan dengan kita, tapi bisa jadi sosok baru yang tiba-tiba muncul dan berniat serius. Tuhan lebih paham yang terbaik. Dara hanya perlu menjalani takdir yang digariskan.

"Kenapa diam?! Jawab!" Sekarang, kedua telapak tangan Gabriel sudah mencengkeram sisi lengan Dara. "Tujuh tahun, apakah akhirnya begini? Kamu mau menyerah begitu saja? Iya?"

Dara menunduk. Air matanya tumpah. Andaikan Gabriel paham, hingga detik ini bahkan Dara masih mengharapkan keajaiban itu datang. Bisa memiliki akhir yang indah dengan pria yang dicintai, wanita mana yang tak menginginkannya.

"Berapa kali aku ngomong sama kamu, tunggu aku. Tunggu aku, Dara! Aku akan mengusahakan yang terbaik untuk hubungan kita. Aku butuh waktu yang nggak sebentar untuk ikut kamu."

"Sudah nggak ada waktu lagi, Gab!" Sentak Dara di sela-sela isaknya. "Kamu tetap ngotot pergi, padahal aku sudah mohon-mohon banget waktu itu. Kamu benar, tujuh tahun bukan waktu yang sebentar. Makanya wajar kalau Bapakku menganggapmu nggak serius pada hubungan ini. Selama ini kamu belum pernah mengutarakan apapun padanya. Niat masa depan yang akan kita jalani, apa pernah kamu berusaha untuk mendiskusikannya dengan Bapak?"

"Setelah apa yang terjadi, apakah kita masih pantes mendebatkan hal ini?" Tanya Gabriel dengan mata memerah. "Kamu nggak akan bisa kembali menjadi Dara seperti yang aku kenal enam bulan yang lalu kan?"

Dara menggeleng. Air matanya membanjiri pipi. "Aku sudah menahanmu untuk nggak pergi, tapi kamu nggak mau dengar. Sebelum pergi kamu bahkan masih sempat mengejek Bapakku, karena kamu terlanjur sakit hati ditolak. Padahal, andai kamu mau berpikir baik tentang Bapakku, dan bisa menganggapnya wajar. Naluri seorang Bapak sebagai pelindung untuk anak-anaknya akan terus ada sampai kapanpun." Dara menghela napas lelah, sebelum melanjutkan kalimatnya. "Bapakku nggak pernah nolak kamu, Gab. Bapak hanya butuh diyakinkan secara konsisten. Dan kamu nggak ada di sisiku saat Bapak membuka kesempatan itu padamu. Kamu menghilang, nggak bisa aku hubungi sama sekali. Komunikasi kita yang nggak lancar, yang membuat kita jadi begini."

Hening.

Keduanya saling mengeja bola mata. Menuangkan isi hati melalui sebuah tatapan. Gabriel menarik Dara ke dalam dekapan erat. Wajahnya ditenggelamkan pada ceruk leher sang kekasih. Ungkapan rindu bertubi-tubi digaungkan. Sementara Dara hanya bisa pasrah. Dara tak cukup kuat untuk melawan. Cinta dan perasaannya masih menjadi milik lelaki ini sepenuhnya.

Dara tidak menolak saat Gabriel melabuhkan bibirnya dan mulai memagut lembut. Sebuah sentuhan yang lama tidak dirasai. Dara justru terbuai dan memberi akses sosok tersebut untuk lebih berani. Kewarasan seakan hilang begitu saja. Status yang disandang tak lagi dihiraukan. Keduanya hanya ingin menuntaskan rindu yang terpendam sekian lama.

Semakin panas. Semakin tak terkendali.

Lupa tempat, lupa bahwa kapan saja akan ada orang yang memergoki aktivitas tabu tersebut. Dara dan Gabriel telah menjelma seperti sosok yang rakus. Ciuman Gabriel menjalar hingga ke tengkuk leher Dara, dan tangan-tangan terampilnya masuk ke dalam blus. Dara menikmati dan tidak berniat mundur.

Keduanya semakin terperosok jauh. Terlena, terbuai akan sentuhan yang memabukkan.

Keduanya tak pernah sadar ada seseorang yang mengintainya dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Sosok yang Dara coba tepis hadirnya. Sosok yang tidak ingin Dara pikirkan, karena untuk saat ini hanya kepada Gabriel hati dan perasaannya dijatuhkan.

"Apa-apaan ini?!"

Dan benar, sosok yang tiga hari lalu telah resmi menjadi suami Dara, tiba-tiba sudah berada di ruangan yang sama.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang