Bagian - 6

528 91 4
                                        

"Kamu bilang ketemu siapa?! Dara?!" Tanya Kakaknya, saat Raga membagi informasi perihal pertemuannya dengan Dara. "Yang kamu maksud si Dara temanmu SD itu?"

"Iya, Mbak. Dara yang itu." Ulangnya.

"Ya ampun, Raga, masih aja ya kamu ingat-ingat teman bocilmu. Heran deh!" Pasti Kakaknya akan selalu begitu tiap Raga membahas tentang Dara.

"Dia sudah bukan bocil, Mbak. Dia sudah jadi dokter spesialis jantung." Beritahunya.

Aina yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas sketsa di hadapannya, berhenti sejenak untuk menatap sang adik. "Dokter? Sudah nikah belum? Atau sudah jadi janda kayak aku? Hahahaha."

"Enak saja!" Sambar Raga. "Dia belum nikah. Tahun lalu baru lulus spesialis. Kerja di rumah sakit dr soetomo."

"O belum janda." Kakaknya manggut-manggut. Sudah kembali fokus pada pekerjaannya.

"Dia nggak akan jadi janda. Karena aku yang akan menikahinya." Lanjut Raga.

Tawa Aina pecah. "Hanya ada dua pilihan, kalau kamu yang setia, berarti istrimu yang akan selingkuh."

"Apaan sih, Mbak?! Jangan dipukul rata gitu dong sama kasusmu!" Raga mulai kesal. Setiap malam, atau sepulang kerja, ia memang sering bertandang ke rumah kakaknya yang hanya berjarak beberapa rumah dari tempat tinggal orang tuanya. Alasannya juga karena ia ingin bertemu Rania. Perceraian yang terjadi pada orang tua sang keponakan, membuat Rania tidak mendapat figur seorang ayah. Sehingga, sebisa mungkin Raga mengisi peran itu agar keponakannya tidak merasa kurang kasih sayang.

"Mbak, kebaya Mama gimana?" Ibunya tiba-tiba muncul menanyakan sesuatu pada anak sulungnya yang berprofesi sebagai desainer.

"Masih bulan depan kan, Ma? Santai lah! Aku masih ngerjain punya klien banyak banget." Aina sudah cukup sukses di bidangnya sebagai perancang busana. Melihat semakin banyaknya tim baik di rumah ini dan di butik yang sekaligus juga sebagai pabrik konveksi.

Setelah digembleng dengan perselingkuhan suaminya yang berujung dengan perpisahan di saat Rania masih di dalam kandungan, kakaknya ini bisa bertahan hingga detik ini. Menurut Raga, kakaknya pantas dilabeli sebagai wanita tangguh. Perceraiannya dengan mantan suaminya, tidak membuat Aina hilang akal dan justru semakin bersinar di dunia bisnis.

"Tim kamu nggak bisa bantuin kamu gambar?" Ibunya mengambil duduk di sebelah Raga.

"Ya nggak bisa dong, Ma. Bagian ini harus aku sendiri yang kelarin." Sahut Aina, kali ini sedang menggerakkan apple pensil di layar iPad.

"Katanya kamu mau nge-hire sarjana Tata Busana. Biar kamu ada yang ngebantuin mikir. Dan bisa berkembang sama permikirannya anak zaman sekarang." Ibunya mengingatkan.

"Iya, Ma. Nanti." Aina benar-benar sibuk dan tidak bisa diganggu. Tapi ibunya terus mengoceh.

"Awas saja kalau nanti punya Mama kelupaan karena kamu sibuk megang pesanan. Bisa gagal lagi Mama pakai rancanganmu di acara kondangan anak teman Mama." Ibunya merajuk karena pernah dibuat kecewa dengan Aina yang tidak menyelesaikan baju kebaya. Pada dasarnya Aina yang sering menggampangkan, berurusan dengan ibunya yang cerewet.

"Mending Mama omelin tuh Raga! Yang dingat-ingat cuma anaknya Jumhur muluk!" Celetuk Aina.

"Mbak!" Raga melotot kaget.

Ibunya menoleh. "Kamu jadi ketemu sama Dara?"

"Kata Raga sekarang sudah jadi dokter spesialis, Ma! Berarti sekarang, sudah bagus dong keuangan keluarganya. Kalau gitu suruh balikin dong duit Papa yang dipinjem bertahun-tahun!"

"Mbak Aina!" Aliran darah di dalam tubuh Raga rasanya mendidih seketika.

"Jumhur bisa sekolahin anaknya sampai spesialis? Masa? Kok rasanya Mama nggak percaya." Ibunya menatap Raga heran.

"Dara itu pinter banget, Ma. Dulu di sekolah selalu ranking satu. Wajar kalau akhirnya dia dapat beasiswa karena dia pinter." Raga berusaha untuk membela.

"Temanmu yang pinter dan selalu dapat ranking satu pas SD itu namanya Hayu. Sekarang dia jadi dokter spesialis anak. Rania sebenarnya cocok periksa di dia. Tapi sayang tempat prakteknya jauh."

Raga sudah hendak beranjak dari tempat duduknya, tapi berhasil ditahan oleh ibunya.

"Duduk lagi!" Titah ibunya. "Mama belum selesai ngomong!"

"Apa lagi sih, Ma? Kalau Mama pengin aku dengerin Mama sama Mbak Aina ngolok-olok keluarganya Dara mending aku pergi saja. Aku punya perasaan. Aku nggak terima."

Ibunya menggeleng. "Nggak kok. Sori kalau bikin kamu kesel. Gih, duduk dulu!"

"Mbak Aina sudah nggak sopan manggil Bapaknya Dara!" Tegur Raga kembali melempar pantatnya di sofa.

Aina sudah hampir mengeluarkan kalimat belaan, tapi ibunya lebih dulu mencegahnya.

"Kamu beneran ketemu Dara?" Ibunya mengulangi pertanyaannya. "Di mana?"

"Aku sudah beberapa kali ketemu Dara, dan semua secara nggak sengaja. Pertama, dia jadi dokter visit pas aku lagi jenguk atasanku di rumah sakit yang dirawat karena serangan jantung. Aku yang nyapa dia lebih dulu. Dia nggak ingat sama aku. Yang kedua, aku lihat dia di kafe. Yang ketiga kemarin, pas Bapaknya ketabrak motor, dan kebetulan di situ aku yang lagi ngatur lalu lintas."

"Biar aku tebak ...." Aina menyahut.

"Diam, Mbak!" Tegur ibunya. "Nggak usah ikut-ikutan. Lebih baik kamu diam."

"Bapaknya Dara pasti nggak pakai helm. Dia kan jadi TNI hasil nyogok. Namanya juga troublemaker." Lanjut Aina tidak peduli dengan mata tajam ibunya.

Menghadapi mulut pedas Aina, membuat Raga hilang sabar. "Memangnya berapa sih hutang Bapaknya Dara ke Papa? Berapa, Ma?"

"Sudah, sudah, sudah!" Geram ibunya. "Kamu bisa diam nggak, Aina?! Nyerocos terus dari tadi! Ini Mama lagi ngomong sama adekmu. Kamu diam!"

Hening sejenak. Ibunya kembali fokus menatap Raga. "Mama dengar, ibunya Dara sudah meninggal. Itu benar?" Ibunya bahkan mendengar kabar itu.

"Mama tahu?" Beo Raga. "Kok Mama nggak bilang ke aku? Kemarin aku sampai tanyain ibunya, karena nggak muncul pas Bapaknya dirawat."

"Mama cuma dengar sekilas. Mama nggak tahu pastinya. Berarti benar, ibunya Dara sudah meninggal?"

Raga mengangguk. "Ibunya meninggal sebelum Dara melakukan sumpah dokter. Ibunya terkena penyakit kanker payudara."

"Ga, aku kasih tahu, ya!" Aina kembali berulah.

"Aku nggak mau tahu!" Potong Raga cepat.

"Bapaknya Dara itu tukang selingkuh, makanya ibunya Dara ngenes. Terus sakit-sakitan." Lanjut Aina.

"Anak Mama yang janda ini sebenarnya dapat gosip kayak gini dari mana sih?!" Raga tidak bisa untuk tidak sewot. Kesabarannya sudah habis.

Ibunya hanya menghela napas. "Pesan Mama cuma satu. Kalau kamu memang sudah yakin sama Dara. Sebelum ke arah yang serius, kamu harus cari tahu betul-betul tentang Dara. Kalian kan puluhan tahun terpisah. Yang kamu kenal baik itu kan pribadi Dara saat masih kecil. Selama puluhan tahun nggak ketemu ini, belum tentu Dara masih sama dengan yang dulu. Jadi kamu harus selidiki baik-baik. Jadikan masalah Mbakmu sebagai pelajaran, supaya nanti rumah tanggamu bisa berhasil. Mama nggak masalah sama siapapun pilihanmu. Yang penting dia baik dan bisa menghargaimu sebagai suami. Meskipun Bapaknya banyak hutang sekalipun, yang penting anaknya nggak begitu."

"Bapaknya Dara punya hutang ke Papa berapa sih?" Raga menjadi penasaran.

"Kenapa sih tanya-tanya? Mau kamu bayarin?" Todong Aina sinis. "Sudah berapa banyak sih tabunganmu? Gaji polisi nggak seberapa juga! Kecuali Papa, ya. Yang selain polisi juga pengusaha. Lha, kamu?!"

Raga menurut, saat ibunya menyuruhnya pergi sebelum terjadi perang dunia antar saudara.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang