Bagian - 5

470 85 0
                                    

Dara ditelepon oleh nomor ayahnya, tapi bukan suara ayahnya yang terdengar di telinga. Melainkan seseorang yang memberi kabar tentang kecelakaan yang dialami oleh ayahnya. Posisi ayahnya kini sudah berada di rumah sakit dekat lokasi kejadian. Si pemberi kabar sempat memberitahunya untuk tidak perlu panik karena kondisi ayahnya tidak terlalu serius. Dan anehnya, Dara merasa mengenal suara orang asing tersebut.

Dunia benar-benar sempit. Ternyata, polisi yang mengurus ayahnya adalah Raga. Tampak dari jauh lelaki yang masih mengenakan baju dinas dan atribut lengkap itu sedang terlibat komunikasi dengan seorang dokter di depan ruang rawat inap ayahnya. Dara mengayun langkah gegas mendekati.

"Hai!" Sapa lelaki itu setelah menyadari kehadirannya.

Dara tersenyum. "Raga, terima kasih sudah nolongin Bapakku." Ujarnya tulus.

Lelaki itu membalas senyum. "Sama-sama."

"Aku mau masuk dulu!" Dara masuk ke dalam.

Raga mengekorinya.

Terlihat ayahnya masih terlelap. Meski tidak terlalu parah, tapi Dara cukup terenyuh mendapati luka memar di area wajah, tangan bagian siku, dan lututnya.

"Bapak tadi pasti nggak pakai helm ya?" Tanya Dara lirih, takut jika suaranya bisa mengganggu tidur nyenyak ayahnya.

"Betul, Bapak nggak pakai helm." Jawab lelaki itu.

"Kejadiannya tadi itu tepatnya di mana sih?" Tanyanya lebih lanjut.

"Di perempatan dekat jalan raya. Bapak bilang kalau lupa tengok kanan kiri, pas mau nyebrang. Untungnya orang yang nabrak bisa ngindarin, meskipun tetap nyenggol dikit." Raga menjelaskan duduk perkaranya.

"Aduh, Bapak!" Gerutu Dara. "Itu Bapak pasti mau ke apotek. Tadi pagi sebelum aku berangkat ke rumah sakit, Bapak sempat bilang mau beli Counterpain buat dioleskan ke lutut dan kakinya yang terkadang suka ngilu karena kolesterolnya tinggi. Karena nggak pakai helm, biasanya Bapak potong kompas lewat jalan-jalan sempit. Tembusannya pas jalan raya depan apotek."

Lelaki itu manggut-manggut mendengarkan cerita Dara.

"Tapi, bagaimana dengan pelanggaran yang Bapak buat? Bapak kan nggak pakai helm. Dan gimana kondisi yang nabrak? Ya Allah, aku sampai lupa nggak nanyain karena fokus sama keadaan Bapak." Dara menampilkan paras menyesal.

"Kondisi yang nabrak baik-baik saya. Dia terburu-buru mau berangkat kerja. Tenang, sudah diatur damai." Raga terdiam sejenak. "Motor Bapak masih di kantor. Jadwal sidang untuk pelanggaran tidak memakai helm akan diantar nanti sama temanku."

Dara mengangguk, mengerti. Kembali ia lepaskan tatapan matanya pada sosok yang terbaring di ranjang rawat. Ayahnya adalah pensiunan TNI, dua tahun yang lalu. Dulu, Dara melihat ayahnya seperti sosok paling gagah sedunia. Sosok super hero yang saat Dara berada di dekatnya, maka tidak akan ada bahaya yang berani mendekat. Tapi, seiring berjalannya waktu, Dara harus siap melihat perubahan dalam diri sosok kebanggaannya itu. Kesehatan fisik yang semakin menurun. Ayahnya jadi sering mengalami gangguan kesehatan seperti asam urat, kolesterol dan penyakit keju linu lainnya.

"Dara, gimana kabar ibu? Tadi Bapak langsung minta aku buat hubungi kamu." Mungkin Raga merasa aneh karena Dara datang tidak bersama ibunya. Meski dulunya mereka bertetangga, puluhan tahun tak bersua tentu banyak kejadian yang terjadi. Salah satunya termasuk Dara harus kehilangan ibunya, sepekan sebelum ia mengucap sumpah dokter. Harapan Dara untuk disaksikan kedua orang tua di acara pentingnya harus pupus.

"Ibu sudah meninggal, Ga. Sekitar lima tahun yang lalu. Pas aku baru lulus kuliah. Saat itu Bapak bahkan belum pensiun." Sebelum lelaki di depannya menanyakan penyebab ibunya meninggal, Dara sudah lebih dulu memberitahu. "Ibu terkena kanker payudara. Untung saja ibu seorang bidan yang melek soal medis. Saat merasa ada sesuatu yang aneh di dadanya, ibu langsung gerak cepat periksa ke dokter. Akhirnya Ibu divonis kanker payudara stadium satu. Kami bersyukur mengetahuinya lebih awal sehingga banyak harapan ibu untuk sembuh. Lalu ibu menjalani operasi, dan serangkaian terapi kesehatan sampai dinyatakan sehat. Ibu menjalani aktivitasnya sebagai seorang bidan seperti biasanya. Hingga beberapa tahun ke depan, dan ibu kembali drop. Setelah diperiksa, tahu-tahu kankernya muncul lagi dan sudah fatal."

Hening sejenak. Dara mencoba tersenyum, suasana berubah sendu. "Tapi nggak apa-apa. Sekarang ibu sudah nggak ngerasain sakit lagi." Lanjutnya.

Raga menyodorkan sebuah sapu tangan. "Masih bersih. Belum dipakai."

"Sori, ya!" Dara berusaha terkekeh sambil menerima uluran sapu tangan lelaki di sampingnya. "Astaga, cengeng banget aku!"

Setelahnya, Dara baru sadar sudah terlalu banyak omong dengan orang asing. Tentu saja Dara harus menganggap Raga orang asing, sebab meski saling mengenal, keduanya lama tak bertemu. Bisa saja, Raga yang Dara kenal dahulu kala, sudah berubah seiring berjalannya waktu. Tapi, anehnya, saat meluapkan keluh kesahnya tadi, Dara merasa sangat tepat. Padahal, selama ini, hanya dengan orang-orang tertentu yang benar-benar dekat ia bebas terbuka.

"Eh, gimana kabar Mama-Papamu? Kamu kapan sih pindahnya?" Sekarang giliran Dara yang bertanya. Posisi keduanya sudah sama-sama duduk di sofa yang tersedia di ruangan ini.

"Mama-Papa sehat. Aku masih satu bulanan ini pindah ke sini. Kalau Mama-Papa sudah cukup lama." Lelaki ini hanya berubah di fisiknya saja. Cara ngomongnya masih sama seperti Raga kecil. Sangat irit. Jika tidak ditanya pasti akan memilih diam.

"Mama-Papamu tinggal di mana sekarang?" Tanya Dara lebih lanjut.

"Kembali ke rumahnya yang dulu." Jawab Raga. "Saat kami pindah, bulikku yang menempatinya. Adeknya Mama baru nikah, daripada ngontrak, mending tinggal di situ."

"O iya, bagian itu aku ingat banget. Tapi akhirnya Tante Susan juga pindah kan? Katanya waktu itu rumahnya Tante Susan sendiri sudah selesai dibangun." Dara bahkan masih mengingat beberapa nama sanak famili lelaki ini.

"Iya, betul. Setelah itu akhirnya rumah orang tuaku disewakan." Imbuhnya.

"Nggak lama akhirnya aku juga pindah. Rumah yang aku tinggali dulu itu masih ngontrak. Terus Bapak-Ibu bisa beli rumah di perumahan. Eh, apa kabarnya Mbak Aina? Pasti sudah nikah dan punya anak."

Raga mengangguk. "Mbak Aina baik. Anaknya satu, cewek, umur lima tahun."

"Ya ampun, pasti cantik dan lucu banget!" Celetuk Dara, sambil mengingat-ingat wajah kakak perempuan Raga.

Lelaki itu tersenyum. "Dia sedikit cerewet. Persis seperti Maminya."

"Hahahaha, Mbak Aina versi kecil banget kalau gitu!" Sahutnya.

"Kapan-kapan aku kenalin ya? Rania sedikit mirip sama kamu. Sama-sama bercita-cita menjadi dokter."

Tiba-tiba saja Dara merasakan sesuatu yang tidak benar. Berarti setelah ini mereka akan bertemu lagi? Karena Raga bermaksud akan mengenalkan keponakannya? Atau ada tujuan lain yang membuat mereka harus bertemu? Kenapa Dara harus berpikir keras untuk ini? Wajar bukan, mereka sudah saling kenal dari semasa anak-anak, dan takdir telah mempertemukan kembali di usia keduanya sudah sama-sama dewasa. Anggap saja ini sebuah reoni bersama teman lama. Dara tak perlu khawatir akan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang