Waktu cepat sekali berlalu. Hubungan Dara dan Raga semakin dekat seiring bertambahnya komunikasi yang keduanya jalin. Berbeda dengan Gabriel, yang entah harus bagaimana Dara menyebutnya. Gabriel sama sekali tidak menghubunginya. Pesan terakhir Dara tiga bulan yang lalu belum juga terbaca. Sudah berulang kali Dara menanyakan kabar kekasihnya itu pada adik-adik Gabriel, namun mereka juga lebih khawatir karena tidak memiliki jawaban yang pasti.
Tidak jarang Dara menangisi nasib hubungannya yang menggantung begitu saja. Sedang ayahnya kemarin sudah mendesaknya untuk melancarkan misi yang dibuat. Dara semakin kelimpungan. Jika dalam dua bulan ke depan Gabriel tidak pulang, artinya Dara harus menuruti keputusan sang ayah dalam menentukan sosok yang akan menikahinya
Sejauh ini, Raga tidak paham dengan motif kedekatan mereka yang sudah direncanakan sebelumnya. Raga terlalu baik, membuat Dara cukup tertekan karena rasa bersalah. Tapi, jika Dara tidak melakukan ini, ayahnya tidak akan memberi kesempatan pada hubungannya dengan Gabriel. Semua memang serba salah. Maju salah, mundur salah. Tidak ada yang bisa Dara lakukan selain menurut.
"Kapan rencananya Gabriel ke rumah ketemu Bapak? Apa dia terlalu sibuk sampai nggak sempat banget ke sini?" Untuk yang kedua kalinya ayahnya menanyakan tentang Gabriel. Jika awalnya Dara masih bisa beralasan dengan kesibukan kekasihnya yang padat, kali ini Dara tidak lagi bisa berbohong.
"Sebenarnya Gab nggak ada di Surabaya, Pak." Dara meletakkan peralatan masaknya dan berangsur mendekati ayahnya yang duduk di kursi meja makan. "Pak, Gab itu laki-laki baik yang memiliki sifat kemanusiaan sangat tinggi. Posisi dia sekarang lagi jadi relawan di daerah yang terserang wabah penyakit kulit. Di luar jawa, Pak. Sudah tiga bulan ini. Kami nggak bisa kontekan untuk sekedar tanya kabar. Aku sudah konfirmasi ke adek-adeknya pun juga begitu. Dia laki-laki baik kan, Pak? Orang lain saja yang nggak memiliki ikatan apapun diperhatikan sama dia, Pak. Apalagi aku, yang kelak jadi pendampingnya. Bapak nggak perlu khawatirkan aku lagi. Karena aku sudah bersama laki-laki yang tepat."
Ayahnya menatap Dara lekat. "Bapak tahu Gabriel baik. Bapak nggak pernah kok ngomong Gabriel itu nggak baik. Kamu nggak akan bisa berpacaran lama kalau dia nggak baik. Jelas, dia baik dan membuatmu nyaman. Kamu pintar, kamu sudah dewasa dan bisa membedakan mana laki-laki yang baik dan nggak. Tapi satu yang membuat Bapak berat, yaitu keyakinan kalian. Itu saja, Dar."
Seberapa keras Dara memperjuangkan hubungannya dengan Gabriel, ujungnya Dara pasti akan tetap kalah.
"Sebagian negara mungkin ada yang melegalkan pernikahan beda agama, tapi kamu pasti tahu jika di dalam islam itu tetap tidak sah. Kamu juga pernah ngaji. Kamu juga salat. Kalau kamu tetap nekat, itu namanya kamu salah kaprah." Sudah sering ayahnya berpetuah tentang ini. Ayahnya benar, sehingga Dara tidak bisa membantah. "Gimana hubunganmu sama Raga? Sudah satu bulan lebih kan? Kalian juga cukup sering ketemu."
"Raga baik. Sangat baik malah. Tapi nggak segampang itu pindah ke lain hati, Pak. Apalagi aku sudah terlalu lama sama Gabriel. Sekarang, aku pengin negosiasi sama Bapak. Tolong kasih Gab perpanjangan waktu. Aku yakin dia bakalan seneng banget dapat kesempatan untuk dekat sama Bapak."
Ayah Dara terlihat menghela napas. "Bapak sudah pernah bilang ke Gabriel, tentang apa yang Bapak harapkan dari hubungan kalian, jauh sebelum kalian mulai serius. Rentang waktu yang panjang itu seharusnya Gabriel bisa mempersiapkan diri untuk segera ambil keputusan. Dia pacarin anak orang sampai tujuh tahun lamanya, apa kamu pikir ini benar?"
Laras buru-buru mengelak. "Pak, Gabriel sudah sejak lama ngajak nikah loh. Tapi kan Bapak nggak ngasih restu. Dia sudah cukup usaha untuk meluluhkan hati Bapak."
"Kamu ini memang keras kepala, Dar. Kalau Bapak lepasin kamu ke dia, dengan keadaan dia belum satu keyakinan dengan kita, terus bagaimana? Di islam nggak memperbolehkan nikah beda agama. Lalu, keputusannya gimana, kamu mau berpindah ke keyakinan dia? Yuk, silakan kamu putuskan sendiri. Kalau memang maumu begitu, terserah! Bapak nggak akan menghalangimu lagi. Bapak sudah menemanimu hingga dewasa, sudah mengarahkanmu dalam menentukan pendamping, jadi cukup. Bapak kembalikan semua kepadamu."
Dara merasakan sesak yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Rasa sakit yang familier tapi tidak cukup membuat Dara kuat menanggungnya.
"Kemarin Raga ngomong ke Bapak kalau bulan depan kamu mau diajak ketemu orang tuanya. Dia bilang ingin lebih serius sama kamu. Dan Mamanya pengin ketemu kamu. Raga juga bilang kalau selama kalian berpisah puluhan tahun, dia terus memikirkanmu. Bapak nggak melihat tanda-tanda dia bohong. Dari awal Bapak melihat Raga, Bapak merasa memang dia punya perasaan sama kamu. Dari caranya menatapmu, atau perlakuan dia saat menolongmu keluar dari masalah kemarin."
"Aku nggak meragukan Raga sama sekali, Pak. Tapi apa nggak salah kalau aku nikah sama dia, tapi hatiku masih condong ke laki-laki lain? Apa dia nggak sakit hati kalau sampai mengetahui ini?"
"Witing tresno jalaran soko kulino." Ujar ayahnya. "Percaya aja sama pepatah jawa itu. Dulu Bapak dan Ibumu nggak pernah pacaran, buktinya hidup bahagia setelah nikah."
"Beda dong, Pak ...." Dara mendesah, dan beranjak dari tempat duduknya untuk menyelesaikan urusan masak sebelum berangkat ke rumah sakit. "Aku harus yakin dulu dengan perasaanku sama Raga, sebelum memutuskan nerima dia sebagai suami."
"Umurmu sudah nggak muda lagi, Dar. Ingat itu." Ayahnya lalu pergi meninggalkan dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Janji (TAMAT)
RomanceSebuah kisah yang menceritakan tentang pengorbanan seorang lelaki untuk gadis yang dicintainya, tapi tidak mendapatkan balasan yang sepadan.