"Aku mencintaimu, istriku."
Dara merasa tubuhnya ditindih dan suara seseorang bergumam di samping telinganya. Saat ia sudah berhasil membuka mata yang sarat kantuk, Dara cukup terkejut, wajah yang membayang di atasnya begitu dekat. Setelah jeda beberapa detik, Dara baru sadar akan statusnya telah bersuami.
Semalam, usai membersihkan diri dan melakukan santap malam bersama, Raga membiarkannya langsung tidur. Dara yang sudah kalang kabut akhirnya bisa bernapas lega. Tapi rupanya, sekarang, di tengah malam yang hening, lelaki itu sengaja membangunkannya dan membuat Dara lagi-lagi kebingungan mencari cara untuk menolak.
"A-aku ... nggak bisa!" Tahan Dara terbata, saat lelaki itu sudah berniat meloloskan kancing piyamanya.
Lelaki itu langsung berhenti dan menatapnya diam, tak paham.
"Aku mens. Semalam aku cek belum bersih." Lanjut Dara memperjelas. Seumur hidup, Dara hampir tidak pernah berbohong. Ia berharap suara dan tarikan napasnya tidak terdengar gugup saat mengatakannya. Sehingga Raga bisa langsung memercayai tanpa perlu lagi menaruh curiga. Tidak untuk malam ini, Dara belum siap!
"Oh, maaf aku nggak tahu!" Beo Raga, sebelum berguling ke samping, mengisi ruang yang kosong.
Dara menoleh. Jantungnya masih berdebar tak karuan. "Aku yang harusnya minta maaf, semalam langsung tidur gitu aja, dan nggak sempat ngasih tahu kamu."
Lelaki itu bergerak miring, menghadap Dara, lalu tersenyum manis. "Nggak apa-apa. Aku jadi malu karena kelihatan nggak sabaran banget. Sampai bangunin tidurmu yang nyenyak tengah malam begini. Harusnya aku bisa sabar nunggu sampai besok subuh, dan tahu sendiri kalau kamu masih mens."
Dara tahu, tidak akan selamanya keberuntungan memihaknya. Sekeras apapun ia mencari cara untuk menghindar, kontak fisik antara dirinya dan Raga pasti akan terjadi. Semua hanya tentang waktu sampai Dara benar-benar melakukan tugasnya sebagai seorang istri yang utuh.
Susah payah Dara memejamkan matanya kembali. Banyak kekhawatiran yang berseliweran di dalam kepalanya. Memikirkan kenyataan bahwa hatinya belum beranjak dari sosok di masa lalu, membuat Dara kembali bimbang. Terlebih, saat tadi ia mengecek ponselnya dan mendapati pesan dari seseorang yang selama ini ditunggui kabarnya. Sosok yang mengabarkan akan pulang minggu depan, Dara semakin panik. Demi Tuhan, Gabriel belum tahu status kekasihnya sekarang sudah menjadi istri orang.
Keesokan paginya, Dara bangun lebih awal. Di depan cermin kamar mandi, Dara berdiri. Terpaku. Dara tidak sedang mendapat tamu bulanan. Alasan yang dilontarkan pada suaminya di malam pengantin hanyalah sebuah kebohongan untuk mencegah lelaki itu agar tidak menyentuhnya. Dara bahkan sempat melakukan salat isya terlebih dahulu sebelum merebahkan badan di kasur untuk beristirahat, saat Raga sedang tidak berada di kamar. Sekarang, sudah masuk waktu subuh. Dara tidak mungkin melakukan ibadah di tempat ini dengan disaksikan oleh sosok yang berhasil dikelabuhi.
Astaga, Dara baru sadar, ternyata berkata bohong itu tidak mudah. Ia bahkan sudah merencanakan sebuah kebohongan lagi untuk menutupi kebohongannya yang lain. Sampai kapan Dara akan bertingkah bodoh seperti ini? Hayu pasti akan menertawai dan tidak segan-segan mengatainya bodoh.
"Sayang, masih lama? Aku sudah kebelet nih. Pintunya kamu kunci dari dalam, ya." Suara-suara dan gedoran pintu membuyarkan lamunannya.
"Bentar, ya. Ini sudah selesai kok." Sahutnya. Dara buru-buru menyelesaikan urusannya mencuci muka dan sikat gigi. Beberapa menit kemudian, Dara keluar dari kamar mandi. Raga berdiri di depan pintu sambil meringis menepuk-nepuk perutnya.
"Kemarin nggak sempat makan siang, akhirnya malamnya aku rapel mumpung banyak banget makanan. Sekarang perutku nggak tahan mules." Ujar lelaki itu sembari bergegas masuk. Dara tidak bisa menahan tawanya.
"Kan aku sudah ingetin kamu. Tapi kamu nggak mau dengar. Rakus banget sih." Cibirnya saat teringat cara makan lelaki itu yang seperti orang kesurupan.
Pintu kamar mandi tidak ditutup, Raga masih bisa menanggapi ucapan istrinya dari dalam. "Soalnya aku lapar banget, Sayang. Wajar kalau makanku jadi bar-bar gitu. Yang penting kamu nggak ilfeel kan?"
Dara yang duduk di depan meja rias sedang mengoles sunscreen di wajah menoleh sejenak ke asal suara. "Mau gimana lagi, sudah terlanjur jadi suami." Sahutnya berkelakar. "Masa belum genap sehari jadi suami sudah mau tuker tambah? Apa kata orang nanti?! Bisa-bisa aku dihujat!"
Gelak tawa terdengar. "Tenang, mulut netizen nggak sejahat itu kok. Yang penting kamu harus kuat mental. Yaaaa, syukurlah kalau istriku bisa menerimaku apa adanya. Ke depannya bakalan ada keanehan-keanehan lagi di dalam diri suamimu. Semoga kamu betah."
"Ew, apaan tuh?"
"Ada ajalah pokoknya."
"Bisa-bisa aku mulai berubah pikiran nih." Entah kenapa, Dara tersenyum geli sendiri.
"Jangan dong! Masa gitu aja nyerah." Suara dari dalam terdengar makan lucu.
"Kalau banyak yang ganteng di luar sana, mau gimana lagi?! Soalnya iman ini nggak sekuat power rangers." Dara menutup mulut dengan telapak tangan.
"Tapi kamu harus ingat, di dunia ini nggak akan ada pangeran tidak berkuda putih yang sabarnya ngalahin suamimu, Sayang."
Dara tergelak kencang. "Cukup ih! Kamu ini bisa-bisanya lagi buang air besar tapi ngelawak!"
"Kamu terhibur kan? Eh, kamu butuh ke bawah nggak?"
Dara mengerutkan kening tak paham.
"Kalau kamu butuh pembalut atau apa gitu." Lanjut lelaki itu. "Swalayan di bawah dua puluh empat jam kok."
Kesempatan ini akan Dara gunakan dengan semaksimal mungkin. Buru-buru ia menyambar alat salatnya untuk keluar kamar hotel, menuju ke musala terdekat.
Orang tuanya selalu mengajarkan jangan pernah meninggalkan ibadahmu meski dalam kondisi tidak memungkinkan. Mengadu kepada Tuhan, meminta petunjuk, adalah yang terbaik untuk menyelesaikan masalah hidup.
Dara terisak. Larut dalam suasana doa yang hening. Dara rindu ibu. Rindu belaiannya. Tak ada tempat paling nyaman selain pangkuan ibu. Saat ini Dara butuh ibu. Andai ibu masih ada, dunia pasti tidak sekeras ini. Tapi Dara juga tidak boleh egois, ibunya sudah lama menderita karena penyakitnya. Dan satu-satunya cara untuk mengobati yaitu dengan melepaskan. Ibunya sudah bahagia di surga, Dara tidak perlu risau.
Sampai di swalayan hotel yang terletak di lantai bawah, Dara bergegas mengambil barang yang dibutuhkan. Dara butuh minum kopi. Kemarin sibuk seharian sampai tidak sempat merasakan pahitnya kopi yang tidak pernah absen masuk ke perutnya. Dara suka kopi yang diracik dengan tangannya sendiri menggunakan mesin kopi. Takarannya akan selalu pas, berbeda dengan kopi sachet yang ada di rak di hadapannya ini. Meski begitu, Dara tetap akan membelinya. Hitung-hitung untuk mengisi kantong belanjaan yang belum penuh.
Raga tidak ada di dalam kamar saat Dara kembali. Dara bahkan sudah mengeceknya hingga balkon, lelaki itu tetap tidak menunjukkan batang hidungnya. Dara mulai was-was.
Mungkinkah Raga menyusulnya ke bawah, dan melihat apa yang dilakukan Dara di musala? Dan sekarang, lelaki itu kecewa padanya karena mengetahui istrinya sudah berbohong? Astaga, astaga!
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Janji (TAMAT)
RomanceSebuah kisah yang menceritakan tentang pengorbanan seorang lelaki untuk gadis yang dicintainya, tapi tidak mendapatkan balasan yang sepadan.