Bagian - 9

456 71 2
                                    

Dara sudah didampingi oleh pengacara potensial kepercayaan Prof Asga yang tidak diragukan lagi kemampuannya dalam menangani kasus. Namun tidak menutup kemungkinan saat ada orang dalam yang Dara kenal untuk mau berada dipihaknya, maka proses kasus ini jauh lebih mudah terpecahkan. Dan benar, kehadiran sosok yang duduk di depannya ini sangat menguntungkan Dara. Oknum polisi yang menjadi teman dekat si pengadu akhirnya harus tunduk pada perintah atasannya yaitu mencabut laporan.

Sebenarnya Dara sudah berusaha untuk menutupi permasalahan ini agar tidak sampai ke telinga ayahnya. Toh semua sudah berhasil diatasi. Tapi entah dari mana asalnya, ayahnya tiba-tiba mengetahuinya. Bahkan sekarang ayahnya sedang melontarkan ungkapan terima kasihnya yang tak habis-habis pada Raga seolah lelaki ini adalah sosok serupa Spider-Man yang baru saja menaklukkan dunia dengan kekuatan supernya.

"Titip anak Om ya, Ga." Ujar ayahnya yang membuat Dara sontak menoleh kaget. Apa-apaan ayahnya ini?! Menitipkannya pada laki-laki yang bahkan tidak memiliki hubungan apapun dengan Dara. Wah, ayahnya benar-benar sudah berlebihan. "Nggak tahu apa jadinya kalau nggak ada kamu. Setelah pensiun, Om nggak lagi punya banyak power untuk melindunginya. Mungkin karena Om sudah semakin tua, jadi semakin rapuh dan kalau disuruh mikir yang agak berat terkadang malah pusing. Dengar Dara mendapat masalah seperti ini saja sampai bikin Om nggak bisa tidur semalaman."

Anehnya, Raga justru tersenyum dan malah mengiyakan permintaan tidak wajar ayahnya. Lalu, yang lebih membuat Dara kaget bukan main, adalah kalimat balasan yang dikatakan Raga sebagai berikut, "Siap, Om. Kalau Dara masih ingat, dulu waktu kami masih sama-sama bocah, saya pernah berjanji akan selalu melindungi Dara. Saya nggak pernah menganggap itu main-main, meski itu diucapkan dari mulut anak SD. Karena saya laki-laki yang akan selalu dipegang omongannya."

Tatapan Raga kini sudah mengarah pada Dara. Keduanya bahkan saling tatap. Sebuah tatapan mata yang menurut Dara terasa memiliki banyak arti. Orang bodohpun pasti langsung bisa menilai tatapan tak biasa itu. Lalu Dara disentak oleh kesadaran, bahwa keputusannya berurusan dengan lelaki ini bukanlah solusi. Raga memiliki angan-angan lebih untuk hubungan mereka. Sedangkan Dara sama sekali tak terbersit untuk ke arah yang sama. Hati Dara sudah dipenuhi oleh nama Gabriel sehingga tak akan mudah bagi orang lain bisa menggesernya.

Gab jantung hatinya. Gab belahan jiwanya.

Gabriel akan segera pulang dan meminangnya. Gabriel kekasihnya adalah yang terbaik, yang kelak akan menjadi pendamping hidupnya. Gabriel, nama yang selalu Dara sebutkan dalam doa-doa.

"Kalau dilihat-lihat, sepertinya Raga belum punya calon." Ujar ayahnya setelah tinggal mereka berdua yang berada di dalam ruang tamu. Raga sudah pulang dari setengah jam yang lalu.

Sebenarnya Dara malas menanggapi, tapi karena ayahnya sudah berkata seenaknya sendiri pada Raga, sehingga membuat ego Dara tidak terkendali. "Memangnya kenapa kalau belum punya? Bapak mau ngejodohin aku sama dia gitu? Nggak! Aku nggak akan nikah sama siapapun selain Gab. Bapak nggak usah aneh-aneh deh."

"O gitu." Ayahnya manggut-manggut. "Itu artinya kamu sudah nggak butuh Bapak jadi walimu? Ya baguslah kalau begitu. Bapak bisa nyusul ibumu kapan-kapan nggak masalah. Toh kamu sudah nggak butuh Bapak."

"Bapak ngomong apaan sih?!" Dara gusar. Sekesal apapun pada ayahnya, tapi Dara tidak akan pernah siap jika ditinggal pergi. Dalam arti kematian.

Dara tidak sanggup membayangkan harus hidup seorang diri di dunia ini. Tapi, tunggu dulu! Bukankah ia sangat memercayai bahwa kehidupannya mendatang akan bahagia bersama Gabriel. Lantas, mengapa Dara harus merasakan ketakutan seperti ini? Mungkinkah Dara sebenarnya tak cukup yakin dengan keberadaan Gabriel di sisinya? Mungkinkah jauh di dalam lubuk hati Dara masih meragukan masa depannya bersama Gabriel? Astaga, mengapa jadi serumit ini untuk dipikirkan?

"Harapan Bapak sekarang ini cuma satu, melihat anak Bapak menikah dengan laki-laki yang tepat dan bertanggung jawab. Tepat dalam hal beragama. Bertanggung jawab untuk hidupmu dan akhiratmu."

Gabriel jelas bukan orangnya untuk mengemban amanah sebesar itu. Gabriel jelas bukanlah kandidat yang pas untuk menjadi menantu ayahnya. Tapi, untuk hati yang sudah terlanjur jatuh, Dara akan terus mengusahakannya.

"Sekarang ini Bapak lagi punya rencana. Kamu Bapak kasih tahu supaya kamu nggak tersinggung karena merasa Bapak nggak omongin ini lebih dulu sama kamu. Jujur, Bapak srek sama Raga. Meskipun Bapak baru ketemu dia dua kali, setidaknya Bapak sudah paham seperti apa keluarganya. Raga sendiri juga tidak banyak berubah. Seingat Bapak dulu dia anak yang sopan, dan saat sudah dewasa dia menjadi semakin sopan dan berwibawa."

Dara berusaha memupuk kesabarannya sebanyak mungkin untuk meladeni ayahnya.

"Nanti Bapak akan coba ngomong sama dia, kalau memang dia belum punya calon, Bapak mau minta dia untuk mengenalmu lebih dekat. Jangan beranjak dari tempatmu, Dar! Bapak belum selesai bicara!" Ayahnya meminta Dara untuk kembali duduk. Dara sudah paham ke mana arah kalimat ayahnya, sehingga membuat Dara tidak ingin berlama-lama berada di tempat ini. "Bapak kasih waktu Raga tiga bulan untuk mendekatimu. Jangan kesal dulu! Begitu juga sebaliknya, Bapak akan kasih kesempatan pada Gabiel untuk meyakinkan Bapak, untuk memberi gambaran bagaimana pernikahan beda agama akan bisa kalian jalani dengan normal, membuat Bapak bisa menerimanya sebagai menantu dengan legawa, Bapak akan kasih kesempatan itu sampai akhir tahun."

Dara merasa tiba-tiba otaknya kosong. Empat bulan lagi merupakan akhir tahun. Sedangkan posisi Gabriel yang tidak berada di kota ini, membuat Dara kesulitan untuk menuntut kejelasan tentang hubungannya.

"Tahun depan kamu sudah dua puluh sembilan. Dan Bapak sudah semakin tua. Bapak pengin kamu sudah naik level ke tingkat kehidupan yang lebih jelas. Memiliki sebuah keluarga, menjadi seorang ibu. Kamu masih bisa menekuni karirmu sembari kembali ke kodratmu sebagai wanita, yaitu menjadi seorang istri dan melahirkan anak."

Untuk yang kesekian kali ayahnya berhasil membuat pikiran Dara kosong melompong. Yang ayahnya harapkan pada anaknya, adalah yang selama ini Dara semogakan. Tapi tidak semudah itu untuk bisa diwujudkan. Gabriel yang masih sibuk dengan misinya, dan Dara tidak mampu menahannya. Hubungan keduanya pun sempat menjadi pertanyaan bagi Dara, akankah lanjut atau harus berakhir nahas.

Dara menatapi layar ponselnya yang penampilkan pesan terakhinya pada Gabriel satu bulan yang lalu. Centang satu, yang artinya ponsel Gabriel belum terhubung internet. Dara sudah coba menghubungi secara manual, tapi tidak juga tersambung. Mungkin karena di tempat Gabriel terkenal susah sinyal.

Jujur saja, Dara cukup putus asa mengatasi kerinduannya pada makhluk adam satu itu. Tidakkah Gabriel juga merasakan hal yang sama? Mengapa kekasihnya itu seperti hilang ditelan bumi? Mengapa Gabriel tidak berusaha menyempatkan dirinya untuk menghubungi Dara? Apakah Dara sudah tidak lagi berharga baginya? Pertanyaan-pertanyaan itu akankah segera Dara temukan jawabannya?

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang