Bagian - 20

446 56 0
                                    

Pengantin baru hanya mengambil cuti dua hari dan sekarang mereka sudah kembali ke aktivitas masing-masing. Berhubung Raga pernah mengutarakan niatnya berbulan madu di luar negeri, yang membutuhkan cuti tidak sebentar dari pekerjaan, akhirnya mereka sepakat untuk menundanya, sampai urusan pekerjaan klir dan bisa ditinggal sejenak.

Setelah sarapan, Dara langsung membersihkan kembali dapur yang baru saja ia gunakan untuk memasak. Dara tinggal di perumahan yang didapat sebagai kado pernikahan dari ayah mertuanya. Sebuah hunian yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk ditinggali keluarga kecil. Terlebih, Dara sangat menyukai dapurnya ini. Arsitek dan desain teriornya sangat kreatif dalam membuat setiap bagian dari rumah ini terlihat estetik.

Ayah Raga juga melengkapi rumah ini dengan kendaraan roda empat terbaru. Yang sekarang digunakan Dara untuk pergi kerja. Tadinya, Raga mengajak berangkat bersama. Tapi ternyata jadwal kepulangan pasangan suami istri ini tidak sama. Dara masih ada praktek di sore hari sampai malam. Selain menjadi dokter spesialis jantung, Dara memiliki jabatan lain sebagai kepala unit rawat jalan. Pantang bagi Dara untuk pulang ke rumah sebelum menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu.

"Asiiiik, mobil baru nih!" Ninis muncul saat Dara baru saja keluar dari kendaraannya dan bersiap untuk membuka bagasi yang di dalamnya terdapat tumpukan nasi kotak yang akan dibagikan pada semua karyawan di rumah sakit ini. Raga yang mempunyai ide untuk memesan katering sebagai bentuk syukuran pernikahan. Selagi itu baik, Dara hanya bisa menurut pada suaminya. "Beruntung banget sih jadi kamu, Mbak! Bisa ngerasain pesta pernikahan yang mewah. Setelah nikah langsung punya rumah sendiri. Langsung dibeliin mobil baru. Suaminya ganteng dan baik."

"Diam kamu, Nis! Mending kamu panggil Nurdin, suruh bantuin angkut ini ke dalam!" Titah Dara yang langsung diangguki oleh perempuan berstatus perawat itu.

Tidak berselang lama, sosok yang dimaksud muncul dan segera menjalankan perintah.

"Gimana, Mbak?" Ninis menaik turunkan alisnya. Sejak dari rumah, Dara sudah menyiapkan diri untuk digoda banyak manusia, termasuk perempuan di hadapannya ini. "Bau-bau kasur berasa banget di hidungku. Pasti nggak mau berhenti kan? Berhenti cuma buat makan untuk memulihkan tenaga? Kebayang sih gimana strongnya Pak Polisi. Badannya saja keker begitu."

"Bau-bau kasur, kamu pikir aku nggak mandi?!!" Celetuk Dara bosan. Ia sudah cukup kebal dengan mulut sepanjang hayat seorang Ninis. Dari kecil sepupunya ini memang yang paling ceriwis ketimbang yang lain. "Mending kamu bantuin Nurdin angkat-angkat biar cepat kelar."

"Din, kamu cari teman sana gih! Biar cepat kelar. Banyak loh ini. Kamu nanti nggak kelar-kelar kalau sendiri." Bocah itu malah kembali menyuruh si OB untuk mencari teman lain.

"Gimana sih, Nis! Kamu itu loh yang aku suruh bantuin Nurdin. Disuruh kok malah ganti nyuruh sih!" Gerutu Dara.

"Nggak mau! Aku kan bukan OB. Ya kali disuruh angkat-angkat. Bisa luntur nanti make-upku kalau keringetan." Sahut Ninis. "Aku kan masih kepo sama kegiatan kamu setelah nikah sama cowok eksoris, keker, hot, pasti beda dari biasanya dong?! Yang biasanya di rumah cuma urusin kebutuhan pribadi, setelah punya suami pasti jobdesk-nya bertambah. Kalau kepentingan sendiri dikerjakan asal-asalan nggak akan ada yang protes. Tapi kalau sudah menyangkut orang lain, atau suami, pasti harus maksimal dong. Supaya mereka puas dengan kita."

"Kamu ini ngomong apa sih, Nis?!" Sentak Dara sebal.

Ninis meringis. "Intinya ya, Mbak. Kamu harus bisa memuaskan suami. Karena suamimu itu hot banget. Dilihat dari luar saja sudah kelihatan kalau Mas Raga berbeda dari laki-laki lain. Mungkin kata lainnya, maniak. Aw!"

"Hus! Nggak sopan!" Tegur Dara sambil menggeleng-gelengkan kepala heran. "Otak kamu ini minta dirukyah, ya. Pikirannya mesum terus. Pergi sana, kalau nggak mau bantuin!"

"Ini gara-gara Bu Tina tuh! Yang bikin otakku jadi gampang travelling. Kemarin pas acara, Bu Tina nggak berhenti muji-muji kamu. Katanya kamu pinter cari jodoh. Lebih ganteng ketimbang Dokter Gab."

"Enak saja! Gantengan Gab lah ke mana-mana!" Dara reflek membela.

"Eh, kok gitu sih!" Selidik Ninis kemudian.

"Ah, sudahlah! Nggak usah ngebahas itu!" Putus Dara. Tidak berniat mengklarifikasi omongannya.

"Curiga aku! Jangan-jangan Mbak Dara masih cinta sama Dokter Gab. Wah wah wah!" Mulut Ninis memang tidak semudah itu untuk dihentikan. "Gawat ini! Istighfar, Mbak. Nggak boleh gitu. Fokus ke suami dong. Kan sekarang sudah ada suami. Suaminya bukan kaleng-kaleng pula. Kurang apa cobak?!"

"Bisa diam nggak, Nis?! Bosen aku dengan suaramu terus!" Sembur Dara hilang sabar. Untung saja urusan mengangkut nasi kotak sudah kelar. Dara segera menutup kembali pintu bagasi, dan menguncinya.

Ninis mengiringinya masuk ke dalam. "Btw, Dokter Gab mau pulang, ya. Sudah dengar belum? Kalau nggak salah sih minggu depan. Dokter Irma aja sudah balik duluan, pasti nggak lama Dokter Gab juga bakal pulang."

Dara memilih tidak menanggapi dan terus melangkah menuju ruangannya.

"Mas Raga nggak ngajak honeymoon ke mana gitu, Mbak?! Pengantin baru masih anget-angetnya, harusnya kan enak-enakan di kasur. Kok sudah masuk kerja aja sih."

"Raga ngajak honeymoon ke Paris. Kamu pikir aku bisa ngambil cuti mendadak?! Kerjaan numpuk gini." Dara langsung sewot.

"Ah, sini, kasih ke aku aja jabatanmu. Biar aku sedikit ada pemasukan tambahan lah, Mbak. Kamu sudah punya suami kaya. Aku juga mau dong!"

"Kenapa nggak kamu minta aja Yudis nikahin kamu? Biar kamu mingkem dan nggak terus-terusan muji-muji suami orang." Dara menoleh.

"Ih, Mbak Dara! Mentang-mentang punya suami paket komplit jadi gitu sih!"

"Tuhkan, baru juga diomongin, sudah mulai lagi. Kumat. Ini tanda-tanda penyakit jiwa kayak begini nih."

"Amit-amit, Ya Allaaaah! Sembangan omong! Sumpah, jadi pedes banget mulutmu, Mbak. Padahal biasanya cewek kalau habis begituan bakalan lebih jinak loh."

"Terus aja ngelantur!" Dengus Dara lelah.

Keduanya masih beriringan melewati lorong-lorong rumah sakit, lalu pavillion, dan tibalah di deretan ruang poli. Ruangan Dara terletak paling ujung. Ninis masih terus mengekorinya. Mulutnya kembali mengoceh tak jelas.

"Dokter Gab sudah tahu tentang pernikahan kamu kan, Mbak?" Tanya Ninis yang tidak membutuhkan jawaban. "Kok aku jadi melow gini ngebayangin Dokter Gab ditinggal nikah. Eh, nggak ditinggal juga sih. Kan sudah putus toh? Jadi pastinya Dokter Gab sudah nyiapin mental. Hehehehe, terkadang imajinasiku suka berlebih. Sori ya, Mbak."

Pergerakan tangan Dara terhenti di gagang pintu ruangannya, saat Ninis memanggil nama seseorang.

"Panjang umur! Itu Dokter Gab!" Serunya.

Dara menoleh, dan benar saja, sosok yang setengah tahun tidak ada kabar berjalan ke arahnya dengan membawa nasi kotak di tangan kanannya. Dara hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Ninis yang paham situasi berujar tidak ingin ikut campur, dan lekas menyingkir.

Baiklah, akan Dara hadapi segala risiko yang telah ia buat.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang