Hari itu telah tiba. Di mana Dara sudah menggunakan kebaya manten adat jawa warna putih dan di sebelahnya terdapat sosok lelaki yang sedang menyalami ayahnya untuk mengucap ijab kabul. Semua Dara rasakan begitu cepat. Saat keluarga Raga berkunjung ke rumah Dara untuk melamar satu bulan yang lalu, lantas keduanya hanya memiliki setengah bulan berikutnya untuk mempersiapkan acara pernikahan.
Sebenarnya Dara sama sekali tidak repot. Ia bahkan masih bekerja dari pagi hingga sore di rumah sakit. Perihal pesta yang diselenggarakan di gedung hotel berbintang sudah diurus WO dan calon ibu mertuanya. Berikut dengan katering, dan suvenirnya sekaligus. Dara hanya diperintah ke sana kemari untuk menjalankan fitting baju, cek menu prasmanan, dan lokasi resepsi.
"Sepupuku yang cantik ini akhirnya nikah juga!" Bisik Ninis yang ikut membersamainya pada acara akad yang dilakukan di masjid terdekat. "Nggak usah nunda, Mbak! Nanti malam langsung gas aja! Aduh, kalau aku punya suami ganteng kayak Mas Raga, bakalan aku kurung di kamar, nggak aku bolehin keluar. Takut diembat sama janda gatel."
Rasanya Dara ingin menginjak kaki bocah di hadapannya ini jika tidak banyak orang berada di sekelilingnya. Setelah melakukan foto bersama dengan para kerabat, keluarga inti dan sahabat, satu persatu dari mereka mendekat dan mengucapkan selamat.
"Selamat, ya!" Hayu memeluknya dan menepuk-nepuk punggung Dara pelan. "Kamu sudah membuat keputusan yang tepat. Jangan pernah ragu sama yang sudah Tuhan takdirkan, Nyonya Raga Dewandaru Himawan." Wanita hamil itu mengurai pelukannya, menatap Dara sejenak dengan senyum memberi semangat, sebelum beralih pada lelaki yang sudah berstatus suami Dara. "Jagain bestieku ya, Ga! Awas aja kalau kamu sampai berani macem-macem, aku suntik kamu biar tahu rasa!" Ancamnya yang lantas membuat kedua mempelai tertawa kecil.
Bersamaan dengan itu, seseorang muncul memberitahukan kepada para tamu agar bergegas menuju gedung untuk mengikuti acara selanjutnya. Dara dituntun oleh dua perempuan dari pihak rias memasuki sebuah mobil yang sudah disiapkan di depan masjid. Tak berapa lama, mini bus itu melaju membelah kota.
Dara menatapi tangan kanannya yang sejak tadi meringkuk di dalam genggaman seseorang. Cukup erat, hingga membuatnya tak bisa berkutik. Senyum yang menghiasi paras eksotis itu berarti kebahagiaan. Tentu saja berbanding terbalik dengan yang Dara tengah rasakan. Bodohnya sampai detik ini hati Dara belum juga tertawan.
Ini gila, keputusannya ini benar-benar gila! Petuah-petuah bijak dari orang terdekatnya masuk di telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri, alias tidak mempan sama sekali baginya.
Sesampainya di tempat tujuan, Dara langsung menjalani upacara temu manten dengan iringan gending-gending jawa hingga beberapa menit ke depan. Ruangan gedung yang luas dan sudah didekorasi dengan sangat mewah sudah dipadati dengan banyaknya tamu undangan.
Acara selanjutnya, ceramah agama yang dibawakan oleh seorang ustaz muda fenomenal yang beberapa waktu lalu sempat mengutarakan penyesalannya karena tidak bisa hadir. Dikatakan bahwa anak bungsunya yang sedang dirawat di rumah sakit karena diare tidak mau ditinggal oleh ayahnya. Tapi bersyukur beberapa jam sebelum acara, beliau mengabarkan bahwa kondisi putranya sudah membaik dan siap untuk hadir.
Satu jam ke depan Dara memiliki waktu untuk mengistirahatkan kakinya. Mendengarkan nasihat-nasihat pernikahan dari seorang pemuka agama. Tubuh Dara seperti baru saja diperciki sesuatu yang dingin dan membuatnya menggigil.
Mungkinkah Dara bisa menjalani pernikahan tanpa cinta dengan tulus ikhlas? Berapa lama Dara harus menunggu perasaannya bisa luluh, agar rasa bersalah yang mengetuk-ngetuk dadanya segera berakhir?
"Broku, akhirnyaaaa!" Teman seprofesi Raga yang bernama Gilang, kalau Dara tidak salah mengingat namanya saat berkenalan sebulan yang lalu. "Selamat ya, Pak. Akhirnya! Piye? Wes seneng? Wes puas? Semoga cepat dikasih momongan. Dokter Dara, selamat, kalau Pak Raga nakal, dijewer saja!"
"Terima kasih, sudah berkenan hadir, Pak Gilang." Sambutnya ramah.
"Dokter Dara dan Pak Raga, selamat atas pernikahannya. Semoga samawa. Langgeng sampai maut memisahkan." Direktur rumah sakit tempat Dara bekerja mendekat, mengucapkan selamat serta doa kebahagiaan pada pasangan mempelai.
"Terima kasih atas kehadirannya, Prof Asga." Balas Dara sopan.
Selanjutnya, ia masih harus meladeni para tamu yang akan naik ke atas panggung untuk bersalaman. Dengan antrian yang cukup panjang.
Huh!
Desahan Dara mungkin terdengar sampai ke telinga Raga, sehingga membuat sosok tersebut menoleh seketika.
"Capek, Sayang?" Tanya lelaki itu. Entah sejak kapan Raga mulai mengganti panggilannya pada Dara. Yang pasti Dara tidak bisa protes atau menolaknya. "Sambil duduk aja yuk!"
Raga sudah mengapit pinggang Dara untuk duduk, tapi Dara mencegahnya. Akan sangat tidak elok menyambut tamu dengan posisi duduk. Dara akan berusaha menekan rasa lelah di tumitnya. Toh, acara seperti ini tidak dilakukan setiap hari. Seharusnya Dara tidak perlu mengeluh.
"Kalau capek nggak perlu dipaksain. Mereka pasti ngerti kok." Lanjut Raga membujuk.
"Aku nggak apa-apa kok." Dara menatap lelaki itu seraya tersenyum meyakinkan, bahwa semua aman terkendali. "Beneran, aku nggak apa-apa. Ekspresi wajahmu jangan gitu dong!"
"Kalau kamu capek, nggak apa-apa kita duduk dulu. Nanti berdiri lagi kalau sudah nggak capek." Ulang lelaki itu dengan suara paling kalem yang tidak pernah Dara dengar dari makhluk adam lainnya.
Dara menggeleng. "Nggak apa-apa. Cuma sekali. Aku harus strong!"
Raga menghela napas. "Baiklah kalau begitu."
Satu hari terasa bertahun-tahun. Tiba di penghujung acara, kondisi gedung mulai sepi. Hanya diisi dengan kerabat dekat dan lalu lalang petugas dekor juga katering. Suara penyanyi electone mengiringi langkah sang pengantin baru turun dari panggung.
"Kami makan di kamar saja!" Ujar Raga saat seorang dari pihak katering menawarinya makan. "Tolong bawa ke kamar, ya."
"Baik, Pak." Sahutnya patuh.
"Gih, kalian istirahat!" Ibu Raga yang kini sudah resmi menjadi ibu mertua Dara menyuruh keduanya segera masuk kamar. "Pasti Dara sudah nggak betah pengin ganti baju. Sanggulnya juga terlalu berat itu."
Tidak banyak protes, Raga langsung menarik pinggang Dara untuk dituntunya ke sebuah kamar pengantin yang sudah dihias sedemikian rupa. Serba putih dengan wangi romantis yang membuat perut Dara mulas seketika.
Demi Tuhan, Dara tidak memperkirakan bagian ini akan terjadi. Dara mungkin terlalu polos, atau justru bodoh. Sekarang ia sudah miri perempuan ketakutan hanya dengan melihat betapa ranjang itu terlalu besar untuk keduanya.
"Yuk, masuk!" Raga mengulurkan tangannya saat Dara berhenti di ambang pintu. Entah mengapa kaki-kaki Dara susah untuk digerakkan. Seperti dipaku di tempatnya berdiri. "Sayang?"
Suara Raga berhasil membuyarkan lamunannya. Dara kembali melangkah. Sedangkan Raga menutup dan mengunci pintu. Dara sempat tersentak kecil, sebelum berusaha menguasai diri dan menempatkan pantat di kursi meja rias. Lalu dengan perlahan ia mulai mempreteli aksesoris yang melekat.
Astaga, Dara tidak siap dengan apa yang akan terjadi setelah ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Janji (TAMAT)
RomanceSebuah kisah yang menceritakan tentang pengorbanan seorang lelaki untuk gadis yang dicintainya, tapi tidak mendapatkan balasan yang sepadan.