Bagian - 28

356 48 3
                                    

"Aku nggak tahu Serena datang ke sini. Tadi aku masih sibuk visit." Ujar Gabriel saat keduanya sudah cukup lama berbincang-bincang. "Anak itu sekarang jadi tambah pinter ngomong. Aku juga kaget saat kemarin dia sampai rumah dan mengomeli semua orang. Tujuan kedatangannya kemari pasti karena ingin menemuimu. Semua kata-kata yang dilontarkan Serena nggak bisa aku tarik kembali, tapi aku berharap kamu nggak masukkan ke hati." Tatapan Gabriel pada Dara tidak pernah berubah, masih teduh dan hangat. Dara segera memalingkan wajahnya.

"Aman kok." Sahutnya. "Kalau sama Serena, aku tuh sudah anggap dia seperti adik sendiri. Secara otomatis aku maklum gitu aja. Aku anggap dia anak lima belas tahun seperti pertama kenal."

"Dia kalau lagi kesel ngomongnya suka ngawur dan nyelekit. Aku aja yang kakaknya, dari kecil hidup bareng, terkadang masih sering sakit hati. Makanya dia jarang akur sama Bethari. Sifat mereka bertolak belakang. Bethari kalem. Nggak kayak Serena yang ceplas-ceplos."

Dara tertawa kecil. "Dia bilang aku selingkuh di belakangmu."

"Tuh kan ...." Gabriel berdecak dan menggelang. "Aku sudah jelasin ke orang rumah tentang permasalahan kita, tapi cuma Serena satu-satunya yang nggak bisa menerimanya. Kalau kata Mami, dia cukup keras hati."

"Remaja, Gab, maklum. Emosi dan ego masih jadi yang paling utama." Sambung Dara menengahi. Mengingat saat seusia Serena, Dara juga pernah melakukan kesalahan fatal yang membuat orang tuanya marah besar. Saat itu ia pergi ke acara ulang tahun temannya tanpa izin, dan pulang tengah malam dalam kondisi mabuk.

"Kupikir, sampai tua nanti, Serena nggak bakalan berubah. Yang namanya watak jarang bisa diperbaiki." Dulu, saat keduanya masih berstatus sepasang kekasih, sering membahas sifat Serena yang keluar jalur. Dara sempat menyarankan Gabriel untuk membawanya ke Psikolog. Tapi tidak terlaksana karena Serena bersikeras menolak.

"Dia masih dua puluh satu tahun. Aku juga sebebal itu saat di usia remaja." Dara menatap lawan bicaranya. "Keputusanmu benar-benar bukan karena aku kan?" Kembali Dara mengulang topik yang sudah selesai dibahas. Omongan para perawat di kantin tadi cukup mengusiknya.

Gabriel tersenyum, balas menatapnya. Khas caranya menenangkan. "Siapa sih yang sudah sembrono ngomongin kita? Sini, biar aku tegur langsung."

Dara menggeleng lemah. Berasa seperti bocah yang tengah mengadu pada ayahnya karena baru saja dijahili oleh temannya.

"Paling juga Mita and the gank." Lanjut Gabriel sambil tergelak di ujung kalimat.

"Kok kamu bisa tahu sih?!" Dara melotot tak percaya.

"Lia pernah kena bully sampai nggak konsen kerja." Disebutkan nama perawat yang selama ini membantunya.

"Dibully Mita and the gank?" Sentak Dara.

"Iya, mereka bertiga." Jawab Gabriel. "Awalnya Lia akrab sama mereka. Tapi, ternyata mereka sering omongin di belakang. Lia sampai kena mental dibuatnya."

"Astaga, ke mana aja aku?! Bisa ketinggalan gosip begini."

"Ditegur langsung sama Prof Asga." Lanjutnya. "Ditegasin, kalau tetap berulah, mereka bakal kena sanksi."

"Prof Agsa sampai turun tangan?!" Berita tidak berfaedah yang Dara tidak ketahui. "Sekarang Lia gimana? Sudah legawa kan? Dinyinyiri teman sendiri itu pasti rasanya nggak enak. Seperti dikhianati sama orang kepercayaan." Dara lumayan akrab dengan perawat yang selalu membersamai Gabriel selama ini.

"Dia sudah nggak bergaul lagi sama Mita. Itu akibatnya kalau nggak nurut sama omonganku." Gabriel mengecek arlogi. "Kamu dijemput jam berapa? Kalau masih lama, aku bisa anter. Maksudnya, sekalian pulang bareng."

Dara melakukan hal yang sama, sudah hampir sore. Ponselnya belum berbunyi, itu tandanya Raga masih sibuk dengan pekerjaannya. Dan Dara harus memupuk kesabaran untuk menunggui sang suami yang kini merangkap sebagai kang sopir.

"Kenapa?" Tanya sosok di hadapannya, saat tak kunjung mendapat respon.

"Belum dichat nih." Tunjuk Dara pada benda pipih yang teronggok di atas meja.

"Jadi kamu harus tunggu sampai dihubungi?" Tatapan Gabriel menyiratkan protes. Dara menjawabnya dengan anggukan. "Nggak coba kamu chat duluan gitu? Seenggaknya kalau dia memang masih sibuk, dia bisa minta kamu pulang duluan. Jadi kamu nggak perlu nungguin."

"Nggak apa-apa, Gab. Aku tungguin aja." Dara berkeras. Meski di dalam hatinya menyetujui saran tersebut.

"Jam kerja kita itu fleksibel. Kalau kelar lebih cepat, kita bisa pulang awal. Beda sama PNS yang sudah ditentukan jamnya." Yang dikatakan Gabriel tidak salah. Itu sebabnya Dara sempat kurang setuju dengan aturan baru suaminya. "Pulang bareng aku aja yuk? Kamu nggak lapar? Dulu kita sering mampir beli soto dulu sebelum pulang."

Astaga, apakah Gabriel sengaja menggodanya dengan mengingatkan momen-momen kebersamaannya dulu? Dara tidak bisa jika terus ditatap dengan cara sendu dan membujuk. Perasaannya pada Gabriel masih mendominasi, sudah pasti ia akan luluh.

"Yuk?" Tawar lelaki itu lagi.

Dara berusaha mempertahankan diri. "Nggak, Gab. Nanti Raga bingung nyariin."

"Kamu bisa chat dia. Kasih tahu kalau pulang duluan. Dia nggak mungkin marahin kamu cuma karena kamu tinggal pulang. Daripada kamu nunggu lama. Dia pasti bisa ngerti." Entah sejak kapan Gabriel berubah menjadi cerewet?!

Sekeras apapun Dara coba menolak, tak kuat juga ia akhirnya. Dianggukkan kepalanya sebagai tanda setuju.

Di perjalanan menuju warung soto langganan, tidak lupa Dara mengetikkan pesan pada suaminya agar tidak perlu menjemputnya. Tidak disangka, Raga langsung membalas. Kebetulan lelaki itu juga masih ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan.

Tapi, Dara justru menemukan sosok tersebut berada di dalam warung soto. Bersama seorang wanita berambut sebahu, dengan seragam dinas yang sama.

Dara mengikuti langkah Gabriel yang mengambil tempat di pojokan. Matanya tidak berhenti menyorot ke arah dua sejoli yang sibuk menyantap lahap hidangan.

"Itu Raga?" Beo Gabriel, saat menyadari arah pandang Dara yang dibalas anggukan. "Mau gabung di sana?"

Entahlah, Dara belum bisa memutuskan. Terakhir kali Raga bersitegang dengan Gabriel, Dara tidak yakin keduanya bisa berkumpul di satu meja. "Kayaknya kita nggak bisa makan di sini deh, Gab. Sebelum ketahuan Raga, kita harus pergi sekarang." Dara lebih dulu melangkah menuju pintu.

Gabriel tidak membantah. "Kamu nggak ngomong kalau lagi sama aku?"

"Nggak mungkin ngomong, Gab. Dia bisa ngamuk kayak waktu itu." Raga memang tidak secara langsung melarangnya bertemu Gabriel, tapi dengan segala peraturan yang sudah dibuat, itu berarti sebuah peringatan.

-INFO-
Sudah tamat ya, Ges. Silakan baca kelanjutannya di Karyakarsa. Terima kasih.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang