Bagian - 27

621 65 7
                                    

Masa cuti tiga hari telah usai. Dara kembali dengan aktivitas sedia kala. Seperti yang telah ditetapkan oleh sosok di samping Dara, keduanya harus berangkat dan pulang kerja menggunakan satu kendaraan. Dan untuk menghindari konflik berkepanjangan, Dara memilih tidak mendebat. Meski tidak dipungkiri, ada hal-hal tertentu yang membuat keduanya repot. Mereka tidak satu profesi. Sedangkan acara mendadak sering kali terjadi.

Setelah menurunkan istrinya tepat di depan teras rumah sakit, Raga segera tancap gas, sudah ditunggu untuk patroli siang. Dara membuang napas pendek. Masih hari pertama, tapi dampaknya sudah sangat terlihat.

"Serena?!" Dara terkejut mendapati adek bungsu Gabriel yang selama ini menjalani pendidikan di luar negeri berdiri di hadapannya. "Kapan kamu pulang?" Terakhir kali keduanya bertemu saat Dara masih berstatus kekasih kakaknya.

"Aku nggak nyangka Mbak Dara bisa setega itu sama Mas Gab." Ujar gadis itu langsung. Ekspresi wajahnya terlihat tak bersahabat.

Dara terlalu kaget, sehingga belum mengeluarkan sepatah katapun untuk membela diri. Dulu, saat masih menjadi kekasih Gabriel, Serena termasuk yang paling dekat dengannya. Berbeda dengan Bethari, Serena tipikal vocal dan manja. Tidak segan Serena menempel pada pacar kakaknya demi mendapatkan barang yang diinginkan. Selain daripada itu, Dara juga sudah menganggap gadis ini seperti adik perempuannya sendiri. Dara sangat memaklumi kekecewaan yang dirasakan Serena. Jangankan gadis ini, jauh di dalam lubuk hati, Dara masih menyesalkan takdir hidupnya.

"Mbak Dara pasti nggak tahu tentang Mas Gab yang rela pindah agama, sampai harus ganti nama segala. Tahu nggak apa yang kakakku perjuangkan demi bisa bersama Mbak Dara?!" Serena terengah-engah. Dara melotot terkejut. "Mbak Dara tahu apa sih?! Ditinggal Mas Gab sebentar doang sudah berpaling kok."

Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna segala informasi yang dilontarkan gadis di depannya. "Kamu bilang apa, Ser? Gabriel pindah agama?" Tidak, ini tidak mungkin. Demi Tuhan, katakan bahwa ini semua bohong.

"Nggak usah pura-pura kaget gitu deh, Mbak." Tembak Serena meremehkan. "Nggak usah sok polos kalau pada kenyataannya Mbak Dara berhasil nusuk dari belakang. Wih, keren banget omonganku. Mbak Dara sudah bikin aku kehilangan kendali. Sebelumnya aku nggak pernah ngomel panjang, terlebih ini di tempat umum. Tapi karena kelakuan Mbak Dara yang sudah keterlaluan banget, aku jadi kelepasan ngamuk. Semua ini memang salahmu, Mbak!"

Ingin rasanya Dara menyangkal semua, tapi bibirnya seakan terkunci rapat. Ia hanya bisa menggeleng pelan dan menunduk. Dara sadar, keputusannya menikah membuat beberapa pihak kecewa, termasuk gadis di hadapannya ini. Tapi mau bagaimana lagi, Tuhan sudah menentukan kuasa. Manusia hanya sebagai wayang yang harus patuh menjalankan skenario dalangnya.

"Kenapa diam, Mbak? Nyesel? Ck, mustahil." Serena mengibaskan tangan. "Perempuan seperti Mbak Dara mana perduli sih sama perasaan orang. Cowoknya lagi melakukan kerja mulia di tempat terpencil. Lagi mempertaruhkan hidup dan mati, eh ceweknya di sini malah asik main hati. Siapa lagi kalau bukan Mbak Dara?! Duh, malangnya Mas Gab. Selama ini tertipu mentah-mentah sama penampilan luar yang kalem."

Serena berhasil mengulutinya. Namun, Dara tetap membiarkan bocah ini menumpahkan segala unek-uneknya. Memojokkan seolah ini semua memang sepenuhnya salah Dara. Tidak perlu membela diri bahwa keputusan ini terjadi atas dasar campur tangan Gabriel yang menghilang dan tidak memberikan kejelasan tentang hubungan keduanya berbulan-bulan lamanya. Sekeras apapun Dara mencoba mentolerir sikap tersebut, tetap saja Dara tidak menemukan alasan yang logis.

"Nggak usah nunjukin wajah melas gitu deh, Mbak." Suara gadis di depannya kembali mengudara. "Kami memang bukan terlahir dari keluarga pengusaha yang tajir melintir sampai tujuh turunan. Tapi kami adalah orang-orang berpendidikan. Kami serba berkecukupan, meski tidak semewah keluarga baru Mbak Dara. Kami punya harga diri. Aku pastikan, nggak lama, Mas Gab akan cepat move on dan dapat mengganti yang lebih baik."

Dangan tulus Dara mengaminkannya. Dara yakin Gabriel akan mendapatkan pendamping hidup yang sempurna. Tuhan sudah menjanjikan di dalam kitabnya. Bahwa yang baik akan bersama dengan yang baik, begitu sebaliknya. Dara sudah berada di titik penerimaan takdir. Sikap ingin memberontak, putus asa, dan menganggap semua tak adil, sudah berhasil terlewati. Sejatinya, begitulah hidup. Kita akan digembleng dengan berbagai permasalahan, sebelum menemukan solusinya dan membuat kita semakin tangguh.

"Dokter Gab sejak jadi mualaf, masya Allah, aku perhatiin tiap dengar azan langsung bergegas ke musala. Benar-benar nggak nunggu nanti dulu gitu. Definisi salat di awal waktu banget." Suara salah seorang perawat yang tengah membicarakan Gabriel bersama rekannya tertangkap di telinga Dara. Setelah meladeni kemarahan Serena, Dara memutuskan untuk tidak langsung ke ruangan, tapi sengaja menyambangi kantin untuk mendapatkan camilan basah.

"Dengar-dengar, Dokter Gab mualaf karena mau ngelamar Dokter Dara. Eh nggak tahunya, Dokter Dara malah nikah sama orang lain. Agak nyesek sih di posisi Dokter Gab. Tapi gimana lagi, kalau aku jadi Dokter Dara, pasti juga bakalan milih yang seiman." Mereka belum menyadari keberadaan Dara di sekitarnya. "Seiman, bonusnya ganteng dan kaya. Hahahaha."

"Tapi mereka sudah pacaran lama. Gila saja, tujuh tahun. Ngapain aja cobak? Betah banget nggak nikah-nikah." Sahut yang lain. "Aku sih rasanya nyesek banget jadi Dokter Gabriel. Kelihatan cintanya ke Dokter Dara nggak main-main. Sampai dibela-belain pindah agama supaya tetap bisa bareng."

"Menikah itu bukan tentang chemistry dua sejoli. Tapi juga menggabungkan dua keluarga yang sama-sama memiliki keyakinan yang kuat. So, nggak semudah itu. Kalau aku sih dari awal sudah menduga mereka bakalan putus. Bentengnya terlalu tinggi, tentang iman seseorang yang sudah dipupuk dari lahir. Nggak mudah. Terbukti, Dokter Gab butuh tujuh tahun pacaran sampai benar-benar yakin untuk pindah agama. Niat yang harus dipikir mateng, karena kalau sampai salah, semua hanya akan sia-sia." Perawat yang mendominasi obrolan ini bisa dikatakan sebelas dua belas dengan Ninis, sok tahu.

"Aku yakin sih keputusan Dokter Gabriel mualaf karena memang mendapat hidayah Allah. Bisa saja selama ini dia diam-diam mempelajari islam. Lalu menemukan sesuatu yang membuatnya yakin untuk pindah agama. Seperti kebanyakan cerita perjalanan mualaf, biasanya sih begitu. Dokter Gabriel itu pinter banget loh. Pasti lebih mengedepankan otak dan logika ketimbang cuma urusan hati ...."

Suara-suara itu menghilang seiring dengan langkah kaki Dara yang melewati meja berisi gerombolan perawat rumpi. Terkadang, manusia memang lebih berani berbicara di belakang ketimbang harus berterus terang. Lagi-lagi Dara mencoba maklum. Kisah hidupnya dijadikan topik pembahasan dan diberi sedikit bumbu-bumbu penyedap agar lebih dramatis. Dara justru ingin menertawainya.

Dara meletakkan barang bawaannya di atas meja. Melepas sneli dan menggantungnya di stand hanger. Dilirik arlogi, masih memiliki waktu setengah jam untuk mengudap camilan yang baru saja didapat dari kantin. Tadi saat di rumah, Dara tidak berselera untuk memasukkan apapun ke dalam mulutnya. Raga sempat menanyakan keanehannya yang satu ini, dan bersyukur Dara bisa menjawabnya dengan logis.

Dara bukan tidak ingin memberitahu ayah dari calon anaknya. Ia hanya perlu sedikit waktu. Hubungannya dengan lelaki itu belum juga mencair sampai detik ini. Untuk mengabarkan berita sebesar ini, pasti membutuhkan obrolan panjang dan intens.

Saat Dara sudah menyelesaikan kerja poli, tiba-tiba saja Gabriel masuk ke dalam ruangannya dan memintanya untuk berbicara sebentar. Dara tidak menolak, karena ada hal penting juga yang ingin ia bahas dengan lelaki ini.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang