restu

332 47 15
                                    

Biasakan vote sebelum membaca.

☘ — 🆂︎🅾︎🅾︎🅽︎ 🆃︎🅾︎ 🅱︎🅴︎ — ☘

Hiruk pikuk terlihat tak mengenal waktu, subuh hari stasiun sudah ramai dipadati para penduduk yang akan berpergian dengan kendaraan yang dijuluki kalung itu. Dunia belum bangun dengan sempurna, tapi Acha sudah duduk di salah satu gerbong dengan Raka yang berada di sampingnya.

Momen pertama mereka melakukan perjalanan jauh bersama. Mungkin seharusnya kedengaran asik dan menyenangkan, tapi sungguh, yang keduanya rasakan cuma deg-degan. Apalagi Raka yang bakal bicara dengan orangtua Acha.

Dia sudah merangkai narasi sedemikian rupa malam tadi, niatnya biar lancar saat berorasi di depan Papa Mama Acha. Rajin pangkal pandai kan katanya?

"Bang Raka gemeteran banget," Acha berkata sambil memperhatikan tangan Raka yang sedang memegang ponsel. "Ada gue, Bang. Tenang aja, gue bakal bantu jelasin ke orangtua gue. Ini kan insiden tak terduga."

Lelaki di sebelahnya menghela napas panjang, ia menurunkan ponselnya. Raka sebenernya lagi baca ulang catatannya, poin poin apa yang harus dia ungkapkan dan siasat yang harus dia lakukan supaya semuanya lancar.

"Ya gimana ga gemeteran sih? Lucu banget Lo!" Gemas Raka sambil mengusak kepala perempuan itu.

"Bang!"

Raka terkekeh kecil melihat wajah kesal perempuan itu, ia menyampirkan lengannya ke bahu Acha yang sempit lalu menghela napas berat, "tadi udah sarapan belum?"

Merasakan berat di pundaknya, Acha menoleh dan tatapan mereka bertemu, ia mengangguk atas tanya Raka. Pemuda itu lanjut menanya, "Makan apa? Jangan bilang mi?"

Tatapan Acha yang semula tenang berubah menjadi tatapan sinis, "Yeh! Gue mah setipis-tipisnya juga bakal usaha makan nasi kali, Bang! Makan nasi sayur tadi. Beli di warteg depan kost. Untung jam 3 udah buka, jadi sebelum azan gue dah selesai makan."

"Susunya?"

"Udah, Kanjeng Raka!" Sebalnya.

Tawa Raka terdengar mengalun, kembali ia gerakkan tangannya untuk memberi usapan di kepala perempuan itu, "Udah pinter ye sekarang!"

"Dari dulu kali anjir! Lo kira masuk Univ ga pake kepinteran apa? Ya walaupun gue jalur non test gagal dua kali, gue juga ujian anjir!" Sewot Acha memberikan tatapan tajam pada Raka.

Kembali, Raka tertawa mendengar suara sebal Acha. Walau engga ada inti pembicaraan yang jelas, seenggaknya Acha berhasil bikin Raka engga setegang tadi. Well, sedikit mendingan walau ngga sepenuhnya hilang rasa gugupnya.

Jalur kereta yang mereka tumpangi melewati banyak area persawahan yang kebanyakan ditanami padi. Hijaunya menyejukkan mata. Acha tersenyum, rautnya tenang dan damai.

Walau ia tak tau apa yang akan terjadi kedepannya akan baik atau buruk, Acha percaya itu yang terbaik menurut Tuhan.

Tak terasa panjangnya perjalanan telah mereka lalui, kini Acha dengan tangan digandeng Raka, berdiri di depan pagar rumahnya. Ia menghela napas, memantapkan hati. Apapun yang terjadi, ia akan teguh.

Acha mendorong pembatas berbahan besi itu dan berjalan masuk dengan Raka yang membuntutinya. Mereka sampai di pojok dekat bambu kuning yang ditanam sebagai hiasan ketika Acha mendadak membeku di tempat.

"Neng Acha? Ini Neng Acha beneran?" Sosok dengan daster rumahan itu melangkah cepat mendatanginya, mengamatinya lamat-lamat dengan mata berkaca-kaca karena gembira, "Ya Allah, Neng. Bibi kangen! Neng Acha kuliahnya lama pisan."

Soon to be.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang