something went off

298 37 35
                                    

Budayakan vote sebelum membaca!

☘ — 🆂︎🅾︎🅾︎🅽︎ 🆃︎🅾︎ 🅱︎🅴︎ — ☘

Raka gusar, dia masih berdiri di depan kamarnya yang pintunya tertutup. Di dalam sana ada sang istri yang lagi nangis sama Bunda. Tadi setelah berhasil Raka kejar, Acha ga mau ngomong sama dia.

Apa dia salah? Dia bingung.

"Acha udah tidur, kamu jangan ganggu dulu. Ayo ngomong sama Bunda di ruang tengah."

Bunda keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah ruangan yang telah disebut sebelumnya. Raka mendadak cemas kuadrat, ini rumah tangganya baru diresmiin kemaren, tapi udah ada aja masalah yang dateng. Dia ga bisa ngebayangin besok sepuluh taun lagi bakal kaya apa jadinya.

"Raka mau ngomong dulu ngga?" tanya Bunda.

Pemuda itu menelan ludah. Dia tidak terbiasa dengan suasana serius seperti ini dengan Bundanya. Anak bungsu yang selalu disirami kasih sayang, ga pernah dibentak, selalu diturutin apa maunya. Tiba-tiba dihadapkan pada kondisi kaya gini, apa ga tremor sampe pankreas dia.

"Raka mau minta maaf, Bunda. Maaf udah bikin Ayah dan Bunda kecewa. Raka nggak bisa banggain kalian. Sebenernya Raka juga ga berani mau ngomong ini ke Bunda, tapi jujur.." ia kembali menelan salivanya, "Raka emang udah pernah itu sama beberapa cewek.."

Bunda tampak diam, wajahnya enggak menunjukkan raut marah atau apapun, beliau hanya diam dan diam.

Tapi Raka tau, di balik diamnya Bunda pasti ada kekecewaan yang besar dan mendalam. Mungkin kalau Ayahnya masih hidup, Raka udah dibogem sampe remuk sih karena menyakiti banyak wanita, Bundanya dan cewek cewek yang sudah dia tiduri.

Anjas, baru imajinasi aja Raka udah merinding. Ngilu kalau dibayangin.

"Raka belajar seperti itu dari mana?" 

Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Bunda. Mungkin sangking kecewanya, Bunda sampe ga bisa mengungkapkannya ke dalam barisan frasa. Kepala lelaki itu menunduk dalam, asli dia ga kuat natap wajah Bundanya. Wanita no.1 yang paling pertama Raka sayangi dalam hidupnya. Bodoh banget, bagaimana bisa dia mengecewakan Bunda? Tapi sesal tinggal sesal, ga ada yang bisa dilakukan dengan itu.

"Maaf, Bunda.." suaranya tercekat, "Raka yang salah, Raka nggak mikir kemungkinan terburuk yang bakal terjadi."

"Solat taubat, Raka. Bunda mau istirahat dulu," ucap Bunda kemudian beranjak dari sofa kuning yang ada di sana. Pria muda itu mengangguk pelan, masih menatap lantai seolah tak lagi kuasa menunjukkan wajahnya ke dunia. Ia pantas dihukum, ia rela, siapapun tolong hukum dia. Relung hatinya terasa dicabik cabik, samar-samar ia mendengar suara isakan sang ibu dari dalam kamarnya. 

Sungguh, itu adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan dalam hidupnya, membuat Bunda meneteskan air mata kesedihan. Dan dia malah membuatnya terealisasi, Raka merutuki segalanya, ingin dia memukuli sisi kelamnya hingga babak belur tak bersisa. Raka benci perasaan ini.

Raka merasa gagal untuk kesekian kalinya.

"Bunda, maaf.." lirihnya dengan suara sepelan angin yang berhembus.

-

"Jasmin, dengerin aku dulu-" Di sebuah ruangan beraksen Eropa modern itu tampak ada dua insan yang tengah berdebat hebat. Sang lelaki berusaha menenangkan dara yang sedang kalap itu. Berbagai perabotan mahal yang diimpor dari Cina dan Milan dengan harga fantastis yang awalnya terjejer rapi di lemari pajangan pun kini telah hancur lebur dengan menyisakan puing puing kaca yang berceceran di lantai seolah sampah tak berharga. 

Keadaan diperburuk dengan adanya botol wine seharga ratusan dolar yang baru saja dibanting ke tembok oleh sang perempuan dan cairan kemerahannya tumpah mengaliri lantai yang dingin. Sosok dengan wajah ayu yang telah dibanjiri air mata dan membuat sebagian maskaranya luntur itu masih enggan berhenti melampiaskan amarahnya. Ia kini memegang tongkat golf dan siap menghantam apapun yang menghalangi langkahnya, termasuk televisi selebar 21 inch yang melengkapi desain interior ruangan itu.

Tapi sebelum barang itu menjadi korban amarah sang perempuan, laki-laki dengan postur tinggi tegap itu telah sigap mengambil tongkat golf itu dan membantingnya jauh dari jangkauan gadis itu.

"Apalagi sih?! Lo juga mau belain jalang yang udah ngerebut pacar gue itu?! Gue muak sama kalian semua! Bajingan!" 

Jasmin hampir kembali mengamuk, memmberontak dengan berusaha melepas cekalan lelaki itu. Namun tentu tak semudah itu, apalagi lawannya adalah seorang pandai bela diri. Tubuhnya dihempaskan hingga jatuh di atas pecahan kaca tadi, membuat substansi merah kental mengalir dari sobekan luka di tangan dan betisnya yang tertancapi kaca.

"Sialan! Brengsek, lo gila ya?!" hardik perempuan itu meringis kesakitan.

"Aku udah bilang, dengerin aku dulu." Nada lelaki itu mendadak dingin, dan suasana kini mendadak berubah, seperti ada aura hitam yang mengelilingi tubuh berbalut kemeja  dan celana kain khas pekerja kantoran itu, Jasmin mendengus, masih tetap angkuh. 

"Mikhayla Jasmin Tiahahu!" geram lelaki itu, "Kalau sampe dalam hitungan ketiga kamu nggak natap aku pas aku lagi bicara, aku pastiin kamu bakal tidur di kandang anjing selama 3 hari kedepan."

"Lo gila," kesal Jasmin yang lantas menatapnya masih dengan amarah membara di matanya,"Dari semua laki-laki yang ada, lo yang paling gila di dunia ini."

Seringaian sadis muncul dari sudut bibir lelaki itu, dalam satu sekon selanjutnya, ia mengangkat tubuh ramping Jasmin dan dibawanya perempuan itu ke master bedroom  untuk diobati. "Sebut aja aku gila, dunia bahkan nyebut aku iblis berwajah tampan."

༺ 𝙩𝙤 𝙗𝙚 𝙘𝙤𝙣𝙩𝙞𝙣𝙪𝙚 ༻

Soon to be.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang