Budayakan vote sebelum membaca.
☘ — 🆂︎🅾︎🅾︎🅽︎ 🆃︎🅾︎ 🅱︎🅴︎ — ☘
Surya merangkak kembali ke peraduannya ketika keduanya mengikuti arus lalu lintas menuju pulang. Pikir lelaki itu tertuju pada arah dimana rumah bunda berada, sedangkan perempuan itu, Acha, matanya tampak mengelana menyasat di sela-sela punggung pengendara motor di depan sana.
Sepanjang jalan tak banyak percakapan dibuka antara kedua insan itu. Hanya dua kali saat Raka menanya perempuan itu perihal ngidamnya tadi pagi dan juga maksudnya untuk menawari Acha untuk beli sesuatu buat dimakan di rumah. Mana tau istrinya pengen cimol, batagor, atau malah bakso.
“Mikir apa?” tanya Raka yang berdiri di sampingnya.
Mereka berakhir membeli sate karena Lesmana tadi chat Raka nitip makan gitu. Karena mereka udah nyampe depan kompleks dan di situ ga terlalu banyak yang jualan makanan— cuma ada gorengan sama sate doang, ya udah Raka milih beli sate aja daripada ribet puter balik.
“Ngga, cuma capek aja.”
Jawaban singkat perempuan itu justru bikin Raka khawatir. Lelaki itu menurunkan tinggi badannya hingga berhadapan dengan Acha yang duduk di kursi plastik yang sisa satu. Tangannya bergerak buat menggenggam telapak tangan Acha yang ukurannya tak seberapa.
“Maaf ya, tadi nongkrongnya kelamaan. Kamu pegel pegel? Apa mual lagi? Nanti aku panggilin tukang urut ke rumah deh ya?”
“Engga pegel, cuma perutku agak ga enak aja.”
Raka menunduk menatap perut Acha yang lumayan menebal, diusap usapnya lembut sambil mencoba berkomunikasi dengan buah hatinya yang masih ketjik itu.
“Anak Papa kenapa? Kamu nggak lagi jedag jedug kan, Dek? Papa ga suka ya kalo adek jadi anak yang kalo makan oreo pake dipisahin krim sama biskuitnya—”
“Mending kamu diem deh, Mas. Aku makin eneg.”
Raka lantas memundurkan wajahnya dari depan permukaan perut Acha. Dia was was. Ga mau kalau Acha merasa ga nyaman atau tertekan karena itu bisa aja berpengaruh pada anak mereka.
“Maap, Cil.”
Nggak ada jawaban verbal, Acha cuma mengangguk saja. Males banget bahkan sekedar buat bilang iya. Perempuan itu mengusap perut ratanya yang kini engga kosong, ada kehidupan yang tumbuh di dalam sana.
Bunyi ponsel Acha mengalihkan atensi, ia menatap nama yang tertera. Dahinya mengernyit. Tumben ada apa nih tiba-tiba si Selma telepon.
Sang suami yang ikut kedistrak otomatis nanya, “Siapa?”
“Selma,” jawab Acha kemudian mengangkat panggilan itu.
“Cha, lo kemana?! Gue barusan ke kost lo katanya lo udah lama ga balik kost! Lu kok ga bilang bilang ama gue? Lo ada masalah ape?!”
Rentetan pertanyaan itu mampu membuat Acha terdiam. Ia menelan salivanya, lupa kalo punya temen modelan begini.
“Dengerin penjelasan gue dulu, Sel..”
“Kaga! Gue ga mau! Bilang dulu lo sekarang dimana?! Gue butuh ngomong sama lo sekarang! Ga suka gue kalo lo diem dieman gini!”
“Gue ga di kost lagi, Sel. Gue pindah,” jelas Acha tapi bagi Selma itu malah makin rumit dan bikin dia sebel karena khawatir sama temennya yang satu itu.
“Bilang aja alamat lo sekarang dimana, Cha!”
“Ga bisa!” sergah Acha panik. “Ceritanya panjang, gue bakal cerita kalo waktunya udah tepat.”
“Apaan sih, Cha? Lo tinggal bilang kost lo dimana sekarang! Lo ngekost apa ngontrak?”
Acha mendengus, “Ngontrak! Pokoknya besok gue ceritain kalo kita ketemu. Jangan marah-marah mulu, ntar cepet tua lu anying!”
Setelah itu Acha menutup sambungan, Raka yang nyimak kelihatan ketawa. Sebenernya yang bikin rumit itu bukan apa apa—tapi jawaban Acha yang makin memperburuk keadaan. Padahal tinggal bilang dia balik rumah sebentar atau cukup bilang lagi nginep di kost temennya yang lain, masalah selesai. Kenapa pake bilang ribet? Dengan wajah bersungut-sungut, Acha membuang muka, “Jangan ketawa dong! Susah nih bilangnya ke Selma! Gue harus boong pake alasan apa?”
Raka menghela napas, masih ada seperempat senyum di wajahnya, “Ga usah bohong. Kan mending ga usah dikasih tau sekalian.”
“Tapi—” “Ssh, dengerin ya.. Semua orang bakal tau cepat atau lambat. Nggak perlu buat pengumuman, mereka bakal tau sendiri. Tenang, oke?”
Perempuan itu mengangguk. Dia agak ngerasa bersalah ke Selma. Tapi ya mau gimana? Dia belum siap buat membuka aibnya sendiri. Acha nggak siap kalau semua orang menjauhi dirinya, menganggapnya rendah.
“Udah, ayo pulang. Satenya udah aku bayar.”
Dengan lembut, Raka mengambil tangan Acha dan menggenggamnya. Hangat.
“Semuanya bakal baik-baik aja.”
Sampe di rumah, Lesmana ternyata masih nungguin di ruang depan sambil nonton TV. Biasa cowok, nonton bola. Raka juga sama aja, pas tau abangnya lagi nonton timnas, tanpa basa-basi dia langsung join dan jadilah mereka nobar.
Acha mendengus, dia berlalu ke kamar Raka setelah menaruh sate di meja makan. Nggak lupa dia bersih bersih dulu sebelum naik ke kasur. Sebelum memejamkan mata dia berdoa walau agak menggerutu sih.
Dahlah, kehidupan tak semulus ekspektasi.
༺ 𝙩𝙤 𝙗𝙚 𝙘𝙤𝙣𝙩𝙞𝙣𝙪𝙚 ༻
KAMU SEDANG MEMBACA
Soon to be.
Fanfiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA AGAR TIDAK KETINGGALAN UPDATE] --- "Pokoknya ini salah Mas Raka!" - Well, ga ada yang ga mungkin di dunia ini. Dan kehidupan yang penuh teka-teki, Raka aslinya masih pengin seneng seneng dulu. Tapi namanya ekspetasi, pasti se...