caught up

295 37 10
                                    

Budayakan vote sebelum membaca!

☘ — 🆂︎🅾︎🅾︎🅽︎ 🆃︎🅾︎ 🅱︎🅴︎ — ☘

Paginya Acha bangun kaya biasa. Jam 5 seperempat. Matahari udah agak naik, walaupun cahayanya belum kerasa hangat. Disingkapnya selimut bermotif kotak-kotak itu terus dia lipat dan ditata sekalian sambil menyapu kasur pake sapu lidi kecil yang dia bawa dari kost—aslinya dari rumah sih.

Abis itu dia subuhan, dan ga lupa buat buka jendela kamar supaya sirkulasi udara dalam ruangan jadi lebih baik. Ga lupa dia matiin lampu kamar sebelum keluar. Habit anak kos banget sih, kalo ga gini bisa digeprek ibu kost soalnya wkwk.

Di tengah perjalanannya menuju dapur, yang bisa dia temukan adalah dua raga laki-laki yang tidur ngorok di atas sofa, mana tidurnya sambil duduk. Pasti ntar bangun-bangun leher mereka sakit semua. Batin Acha.

Dia menepuk bahu suaminya lembut, padal pelan doang tapi udah berhasil bikin Raka kaget terus kebangun. Matanya kelihatan merah banget, pasti dia baru aja tidur.

“Udah bangun aja, Cha.." katanyaa sambil menguap. Acha mengangguk kecil, “Nanti ada kelas engga?"

Raka menggeleng dan memeluk bantal sofanya lagi. Tapi Acha mengusapi bahunya, membuatnya terpaksa melek lagi, “Apaaa?”

“Pindah kamar sana, sekalian kakak kamu juga suruh tidur di kamar aja.”

Laki-laki itu mengangguk kecil sebelum menggoyang-goyangkan bahu kakaknya yang udah tidur duluan. “Bangun, Kak! Pindah kamar sono!”

Bukannya bangun, Lesmana malah memeluk bantal sofanya dan meringkuk menghadap ke sandaran kursi. Raka mendengus, menatap ke Acha seolah ngadu karena ga berhasil.

“Ya udah, kamu aja yang pindah, Mas. Aku beresin dulu,” putus perempuan itu. Dia terlebih dahulu menanak nasi di magic com. Abis itu dia bersihin kulit kacang dan beberapa kaleng kopi yang udah peyot. Sambil nyapu, dia dengerin afirmasi pagi supaya semangat hidup.

Lama beberes di ruang tengah, dia mendengar ada suara ringtone hp yang lumayan keras. Dia menoleh dan mendapati ponsel suaminya menyala, dia mengambilnya dan membawanya ke tempat Raka beristirahat.

“Mas, ada telpon."

Tanpa membaca id user, Acha mengulurkan benda hitam itu ke sang empu yang kaya ogah ogahan nerima. Raka menggerutu terus menggeser ikon hijau itu. Bahkan yang punya aja kaga sempat baca dan langsung ngangkat telepon itu.

“Halo? Kenapa?”

Bang, lu ada sama Acha kaga?”

Dengan nyawa yang belum terkumpul, dia melirik ke arah Acha yang barusan melangkah menuju ke pintu —niatnya mo lanjut bersih-bersih, lagian mana tau telponnya butuh privasi. Suara lelaki itu masih serak, khas bangun tidur. Dia bahkan sempat menguap lagi. Raka mengiyakan, “Ada kok, Acha barusan keluar kamar —gue..”

Setelah beberapa kata keluar, dia baru mikir. Raka merubah posisinya jadi duduk dan menjauhkan ponsel itu darinya. Dia memicing untuk membaca id caller.

Kantuknya mendadak hilang kala menyadari kalau yang telepon itu Selma. Langsung deh dia melotot lebar. Napasnya tercekat sesaat.

Anjir bisa-bisanya dia keceplosan.

Share lok. Sekarang.”

Dengan nada panik dan canggung, Raka berusaha meralat ucapannya, “E–eh, maksud gue. Gue lagi di kamar, Sel. Ya kali gue tau Acha dimana. Emang gue siapanya?”

Gue tunggu sampe jam 6, share location. Gue mau kesana.”

Jantung Raka berdebar kencang, mendadak dia khawatir sama istrinya. Dia menatap kembali ke layar ponselnya yang kini sudah terputus dari panggilan.

Untuk beberapa saat dia tak mampu merangkum frasa. Otaknya beku. Apa yang baru saja dia lakukan?

Dari kamar tempatnya menetralkan detak jantung, dia mampu menangkap bau masakan istrinya yang menguar ke seluruh penjuru rumah. Dia tertegun sekejap, apa hal bodoh yang barusan dia lakukan bakal berimbas pada perempuan itu juga?

Diam-diam hatinya berdesir, khawatir.

Ia bangun dan menunaikan sembahyang. Kendati matahari sudah semakin naik, dia nekat.

Dasar manusia akhir zaman.

“Mikir apa, Mas?” tanya Acha saat melihat Raka makan dengan mata yang seolah sedang menyelami kedalam tembok yang berdiri kokoh di seberangnya.

Dia juga jadi lebih irit kata, tidak secerewet biasanya. Acha barusan meneguk susu ibu hamilnya. Walau agak mual, tapi seenggaknya sekarang udah engga separah bulan lalu.

Kepala Raka bergerak ke kanan dan ke kiri. Menggeleng sebagai jawaban.

Dia kemudian lanjut menikmati sarapan paginya bersama istrinya. Acha mengernyit. Tak biasanya gelagat Raka jadi terkesan serius begini.

Kendati begitu, dia ga mau memaksa Raka untuk cerita. Acha bangun dan mulai mencuci piringnya sendiri. Setelahnya, wanita muda itu menghampirinya Raka dengan air putih dingin di tangannya.

“Kalo kamu ga mau cerita ga apa apa. Tapi kalo kamu butuh telinga buat mendengar, aku ada.” Acha menepuk bahu suaminya lembut dan berlalu menuju ke ruang tengah untuk membaca buku.

Yang tertinggal di ruang makan hanya Raka seorang saat ini. Lesmana masih tidur, seakan tak terganggu oleh dunia yang sudah mulai sibuk dengan segala urusan di dalamnya.

Pikiran Raka mengelana, dia mendesah pelan. Ia mempercepat kunyahannya dan segera mencuci alat makannya sendiri. Setelahnya, ia berlalu ke kamar mandi.

Syukurnya Acha pengertian dan memberinya ruang pribadi untuk berpikir sejenak. Nggak kebayang kalo Acha tadi maksa dia buat cerita di saat pikirannya lagi cari celah buat bikin semuanya aman sesuai rencana awal.

Dia pikir dia perlu mandi pagi, Raka perlu menyegarkan tubuh dan otaknya.

༺ 𝙩𝙤 𝙗𝙚 𝙘𝙤𝙣𝙩𝙞𝙣𝙪𝙚 ༻

Soon to be.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang