push

273 36 38
                                    

Budayakan vote sebelum membaca.

☘ - 🆂︎🅾︎🅾︎🅽︎ 🆃︎🅾︎ 🅱︎🅴︎ - ☘

Dua hari setelah kejadian itu, Acha berangkat ke kampus. Bengkak pipinya udah mendingan banget berkat Raka yang setia mengompres pipi perempuan itu tiap malem.

Bahkan sekarang aja Raka dateng dengan gelas es teh —yang esnya sengaja dibanyakin, buat ditempelin ke pipi sang istri. Anak anak kelas sebenernya udah pada terbiasa melihat interaksi 'berlebihan' kedua manusia itu.

Bahkan jauh sebelum insiden itu terjadi, mereka emang berlaku ga selayaknya temen pada umumnya hahaha.

Because, they say we're just friends, but they know exactly, that friends don't ngepuk-puk kepala, ngusap paha pas duduk sebelahan, atau suap-suapan pas lagi makan bareng. Tapi itu hal wajar bagi lingkungan mereka.

Karena 75% anak kelas mereka yang rata-rata punya pacar pun berlaku demikian. So, itu bukan sesuatu yang baru dalam penglihatan mereka.

“Bang,” sapa Desta.

Mukanya tu agak gimana gitu. Raka menghela napas, “Paan?”

Dalam sejarah masuknya Raka di kelas ini nih, baru kali ini dia betmut sebetmut ini. Apalagi dengan ditambah beberapa anak yang ngelirik-lirik ke arah dia dan istrinya yang lagi sibuk ngutak-atik sesuatu di laptop.

“Ga jadi deh,” cengir Desta kemudian duduk di sebelah Raka.

Hari itu Acha pake jeans, engga ketat sih. Model oversized, tapi jadi muat gegara perutnya menonjol wkw. Tapi tenang, dia pake hoodie kebesaran punya Raka jadi ga kelihatan deh itu si kecebong.

Sedangkan Raka sendiri kelihatan fresh dengan kaos hitam yang di gulung sedikit lengannya dan jeans senada dengan milik Acha. Rambutnya yang udah agak kepanjangan dia biarin gitu aja, agak messy emang tapi jujur aja kelihatan ganteng. Malahan, makin ganteng.

“Eh jalangnya udah dateng,” suara yang ga asing buat keduanya terdengar.

Rahang tajam Raka mengeras, sedang sang perempuan cuma menghela napas panjang. Berusaha menulikan pendengarannya dari manusia yang satu itu. Masih segar dalam ingatannya ketika dia mendapat serangan dari Selma dua hari lalu.

Dia cuma ga habis pikir aja.

Sedangkan teman-temannya yang lain langsung terdiam. Mereka fokus menatap ke arah ketiga insan yang tengah dia dengan aura gelap itu. Suasana mendadak tegang.

“Masih punya muka Lo? Ga malu apa sama orang-orang? Udah jadi barang bekas masih aja Dateng ke kampus, dasar lacur!”

Plak!!

Bunyi tamparan itu kedengaran nyaring, nyaring banget sampe semua orang menjatuhkan rahang mereka. Ga nyangka dengan apa yang barusan terjadi.

Lagi.

Rasa kejut yang tiba-tiba menghampirinya membuat seluruh syaraf di tubuh Acha mendadak mati rasa. Lututnya mendadak lemas, tremor tangannya tidak bisa disembunyikan.

“Selma!” dengan rahang yang masih mengeras, Raka berdiri dan menutupi Acha dari pandangan perempuan dengan rambut diurai itu.

“Kenapa? Kenapa Lo belain dia hah?!”

Lelaki itu tak mengeluarkan satu katapun, karena menurutnya, apapun yang dia katakan ga akan digubris oleh Selma, dan mungkin malah akan memperburuk keadaan. Dan tentu aja dia ga mau itu terjadi.

Di belakangnya Acha cuma bisa menghela napas panjang. Jujur sakit sih, kemarin dia dapet tamparan di pipi kiri, sekarang gantian yang kanan. Kelas makin sepi dengan kejadian yang barusan terjadi.

Semua orang ngerasa ngeri dan menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mata mereka fokus mengikuti segala pergerakan ketiga insan itu.

“Harusnya Lo berdua malu! Harusnya kalian di drop out tau ga?! Sampah!” hardik perempuan itu.

Acha menutup laptopnya kemudian menyimpannya di tas, ga lupa dia menaruh es teh yang tadi dia pegangin ke kursi sebelah yang kebetulan masih kosong. Dia menarik lengan Raka lembut, biar suaminya itu duduk. Tapi Raka tetap keukeuh membentenginya.

Sebagai gantinya lelaki yang dalam hitungan bulan akan menjadi ayah itu menoleh ke arahnya, matanya menyorot keadaan Acha yang sebenarnya jauh dari kata baik-baik saja. Pipinya merah kanan kiri, tapi perempuan itu ga kelihatan akan menangis kali ini.

“Udah ga apa apa, duduk aja.”

Perempuan itu berusaha menenangkan, tapi Raka ga mau luluh gitu aja. Bagaimanapun juga, ini kali kedua Selma menyakiti istrinya, dan egonya tersakiti karena dia ga bisa melindungi Acha dari hal yang ga mengenakkan itu.

“Bang, duduk —” dengan helaan napas Raka memotong kalimat Acha yang belum usai itu, “Apa gue harus duduk dan diem aja ngeliat Lo disakitin?”

Napas Acha tercekat, dadanya berdesir sakit.

Raka mungkin belum lama mengenalnya, dan bahkan dia sendiri menyangsikan bahwa perasaan Raka untuknya itu ada. Karena selama ini ia berpikir bahwa hanya karena 'kesenangan' saja mereka bersama. Ga ada perasaan khusus yang terlibat.

Baginya, Raka mungkin hanya menganggapnya pelarian dari jenuhnya dengan hubungan yang dilalui lelaki itu dengan Jasmin. Kaya rokok, menyesakkan, tapi manis walau hanya sementara.

“G-gue ga apa apa.”

Selma berdecih, “Iya lah ga apa apa, rekening Lo udah penuh ya setelah jadi— HAHH!! BANG RAKA!!”

Acha melotot, dia berjengit mundur. Sedangkan, perempuan dengan setelan pink itu kini tampak menahan napasnya sebab rasa dingin menjalar di sekujur tubuhnya. Kelas jadi saksi insiden kedua yang terjadi di dalamnya.

Raka yang menjadi dalang atas kuyupnya Selma berkat es teh yang barusan dia siramkan ke arah perempuan itu ga tampak menyesal sama sekali.

“Gue kira Lo haus,” ujarnya dengan seringai sarkas, “haus pengakuan?”

Selma mencak-mencak ga karu karuan. Dia berteriak kesal sambil menghentak-hentak lantai yang juga basah di bawahnya. Cairan manis itu menggenang dan mulai membuatnya lengket.

Raka mengambil ranselnya, memakainya di bahu. Lantas di raihnya tas model Tote bag milik Acha dan dengan senyum tipis di tariknya perempuan itu ke deretan meja di depan.

“Maaf sepatu kamu jadi kotor.” Raka menatap perempuan yang masih terperangah itu, “Duduk depan aja ya?”

༺ 𝙩𝙤 𝙗𝙚 𝙘𝙤𝙣𝙩𝙞𝙣𝙪𝙚 ༻

Soon to be.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang