UAS, S-nya..?

171 28 26
                                    

Budayakan vote sebelum membaca!

☘ — 🆂︎🅾︎🅾︎🅽︎ 🆃︎🅾︎ 🅱︎🅴︎ — ☘

Mega serupa serabut tipis mengambang di cakrawala. Menjatuhkan serpihan air air dingin yang mencair terkena hangatnya Cahya mentari pagi. Hawa dingin merasuk, menjadi salah satu hal yang tertinggal setelah derasnya hujan semalam berlalu setelah singgah semalam suntuk.

Mata perempuan muda itu masih terpejam, dengan wajah damai dan tenang. Bergelung dengan kehangatan selembar selimut tebal yang melingkupinya. Ruangan bernuansa modern dengan sentuhan cat berwarna salmon itu tampak tak ada masalah.

“Sialan, gue hampir kesiangan!” keluhnya begitu mata perempuan itu terbuka.

Dia segera bersiap dan berangkat ke kampus. Ada sesuatu yang ga bisa dia lewatkan hari ini.

-
Di lain tempat, terlihat seorang perempuan dengan perut yang tidak rata terlihat bersolek tipis dengan cushion yang baru saja dia beli kemarin. Pas banget dapet diskonan, seneng banget Acha.

“Beneran mau berangkat?” tanya lelaki itu. Raka berdiri dengan kaus berwarna hitam dan celana ponggol selutut berwarna krem. Wajahnya sedikit khawatir.

Acha mengangguk, “Udah pertemuan terakhir jugaan, ga apa apa. Aku nanti cuma sampe jam 3 sore, Mas.”

Yang diajak bicara cuma bisa menghela napas, sebenernya mereka udah membicarakan tentang hal ini semalem. Raka mengusap wajahnya, berusaha tenang. Tapi bagaimana dia bisa tenang? Perut istrinya yang udah berisi itu udah bunder, dan tentu aja kelihatan.

Walaupun Acha bilang ga apa apa, Rakanya yang ngga tega. Apalagi kelas hari ini cuma Acha yang berangkat, dan cewek itu kekeuh ga mau ditungguin.

“Udah, ayo! Keburu telat.”

Saat itu Raka cuma bisa mengangguk pasrah. Dia segera mengambil kunci mobil dan mengantar sang istri ke kampus. Sepanjang perjalanan wajah Raka kelihatan nggak tenang. Walah matanya berusaha fokus melihat jalanan, dia ga bisa buat ngga melirik Acha sesekali. Padahal cewek itu ga ngapa ngapain.

“Apa sih?” tanya Acha setengah menggerutu.

Lelaki itu menggeleng, “Nanti kalo ada apa apa telepon.”

“Iya nanti kalo ada Wi-Fi, tau sendiri aku ga punya kuota.”

Raka menghentikan mobilnya di depan gedung kampus, dia melepaskan tangannya dari stir mobil dan menggunakannya untuk mengusap perut bulat Acha. “Udah aku isiin semalem, jangan dipake buat streaming. Ntar langsung abis.”

Rahang Acha mendadak jatuh, “Ih beneran?!”

Wajah perempuan itu sumringah, Raka mengecup kening Acha sekilas, “Kuliah yang bener. Jangan males malesan.”

Mendapati perlakuan manis itu Acha besemu, ia mengangguk dan menyalimi tangan sang suami. “Berangkat dulu, Mas.”

(Udah ah males, mereka soswit bener)

Setelah itu, Acha keluar dari mobil. Dia berdiri di depan pintu masuk. Menatap mobil Raka yang kembali berjalan menjauh.

Dengan wajah bahagia bak mendapat surat cinta di pagi hari, Acha berjalan masuk. Awalnya dia mau naik lift tapi karena banyak yang ngantri, jadinya dia lebih memilih naik tangga, toh cuma satu lantai ke atas. Aman lah.

“Eh, Acha!” panggil seseorang.

Perempuan itu menoleh, bukan suatu hal yang biasa baginya—well at least setelah kabar kehamilannya kesebar, ga ada seorangpun yang mau mendekatinya. Duduk saja, Acha selalu sendiri. Tapi ya udah, dia biasa ngapa ngapain sendiri lagi pula. “Loh, Desta?”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Soon to be.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang