rumah Bunda

395 43 7
                                    


Budayakan vote sebelum membaca.

☘ — 🆂︎🅾︎🅾︎🅽︎ 🆃︎🅾︎ 🅱︎🅴︎ —

Acha berdiri di depan pintu kayu jati yang kokoh menjadi sekat ruang tamu dan area luar rumah keluarga Raka. Ini bukan kali pertama dia menyambangi rumah dengan tampilan homey itu.

Kalau terakhir kali ia kemari ia hanya mengantar rantang makanan—yang belum Raka kembalikan juga sampai sekarang, mungkin mulai sekarang dia akan sering memasak makanan di sini. Dia menunduk, menghela napas dalam dalam, statusnya kini adalah seorang istri, bukan lagi seorang anak perempuan.

“Acha, sini masuk dulu. Bunda udah masak buat Acha loh." Seorang perempuan dengan rambut yang mulai memutih di beberapa bagian menghampirinya. Bunda datang dengan tangan terbuka, mengajak sang menantu untuk masuk. Acha merasa batinnya terenyuh dengan perlakuan itu.

Tak ayal perlakuan itu membuat bulir-bulir air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Acha mengangguk dengan satu bulir kristal bening lolos dari ujung matanya. Ia melangkah masuk dan di sana dia di sambut oleh Lesmana dan Raka yang sudah duduk dengan baju santai mereka.

“Ga nyangka ini bocah bakal jadi adek ipar gue,” gurau Lesmana membuat Acha makin menangis. Bunda mendekap tubuh perempuan itu, Acha sebenernya mau bilang dia ga apa apa, tapi yang ada malah dia makin terisak dalam pelukan hangat itu.

“Kak, lu pernah gue tonjok belom sih?!” Raka melempar bantal yang semula menjadi tempatnya senderan. Ia bergegas bangun dan menghampiri kedua perempuan itu. Tangannya bergerak untuk mengusap kepala Acha, “Ssh, kenapa nangis, Cha?”

Acha menggeleng, dan masih saja terisak. Bunda mengurai pelukannya dan menyerahkan Acha ke Raka. Kemudian ditinggalkannya ketiga manusia itu dan berlalu ke dapur. Sementara itu Lesmana malah tersenyum melihat adegan itu.

“Lo kalo emang mau mesra-mesraan bilang aja, Rak! Ga usah sok-sokan sebel sama gue!”

Godaan Lesmana itu berhasil membuat telinga Raka memerah, ia membuang muka sambil masih menyalurkan afeksi pada sang istri lewat elusan lembut sepanjang rambutnya.

“Diem lu, jomblo!”

“BACOT BENER!”

Raka tertawa keras mendengar umpatan Lesmana yang kini beranjak dari sofa dan menghilang di balik pintu kamarnya. Gitu aja pundung!

Ia beralih pada perempuan dengan tubuh minimalis dalam dekapannya yang mulai tenang, Acha mengusap pipinya yang basah oleh tangisnya sendiri. Laki-laki di hadapannya menuntunnya untuk duduk di sofa terdekat.

“Kenapa?”

“Ngga,” ujarnya masih parau. “Pengin muntah.”

Raka membuka mulutnya, bengong bentar, “Hah?”

Remasan pada lengan kanannya membuat Raka sadar, lantas ia mengantar Acha ke kamar mandi dan di sanalah ia menemani perempuan itu mengosongkan isi perutnya. Wajah Bunda muncul tak lama setelah suara Acha terdengar.

“Kok diem aja sih, Dek? Itu rambutnya Acha dikebelakangin dong!” gemas Bunda yang melihat putranya malah bengong di samping sang menantu.

Raka yang sadar kemudian langsung melakukan titah sang Ibunda. Nggak peka emang, dasar cowok.

Wanita paruh baya itu menghela napas kemudian hilang lagi di balik pintu kamar mandi meninggalkan pasutri baru itu. Acha berkumur dan mengguyur bekas muntahannya. Mandiri banget deh heran.

“Masih mual?” tanya Raka sambil menatap perempuan yang kelihatan tidak berdaya itu.

Rasa iba menjalar di relung hatinya, Raka meraih perempuan itu dalam dekapannya. Acha mendengus kecil, menyandarkan kepalanya di bahu Raka. Tiap habis muntah dia pasti lemes banget, kakinya kaya habis kesetrum, ga kuat berdiri. Makanya pas Raka narik dia buat pelukan dia ga nolak, toh dia juga udah sah. Ahahaha.

“Udah mendingan kok,” serak Acha masih lemas.

“Maaf ya," bisik Raka sendu, dia kembali mengusap lembut kepala perempuan itu. Terasa Acha menggeleng kecil, “Ga apa apa. Gue juga minta maaf, udah bikin semuanya jadi kaya gini. Kalo aja dulu—”

“Sstt! Udah, ngga usah diungkit-ungkit lagi. Hidup itu ke depan, Cha.” Sang Adam mengingatkan sembari menaruh telunjuknya di bibir Acha, membuat perempuan itu berhenti memproses kalimatnya.

Pernikahan mereka memang bukan sesuatu yang diinginkan keduanya. Bukan juga salah satu wish list yang tertulis di masing-masing milik mereka. Namun mungkin ini juga udah garisnya begini dari Tuhan, ya kalo dari pusat aja udah bilang begini, mau diapain lagi? Mau lari juga kalah cepet sama kekuatan pena-nya malaikat.

“Acha, Raka, Kakak! Makan dulu sini! Mumpung nasinya masih anget!” panggil Bunda dari arah dapur.

Akhirnya kedua manusia itu keluar dari kamar mandi. Di meja makan, makanan telah tersaji dengan sedemikian rupa, Acha tersenyum sendu, matanya menyiratkan sebuah perasaan sedih.

“Bunda, maaf ya.”

Kedengarannya emang cuma sebuah kalimat yang simpel memang, tapi makna di dalamnya begitu dalam. Sampai-sampai Bunda yang sedang mencuci tangan menghentikan kegiatannya, beliau menatap Acha yang menunduk berusaha untuk tidak memperlihatkan raut wajahnya yang mendung.

Dan saat bahu itu mulai bergetar, cepat cepat Bunda menyelesaikan acara membilas tangannya. “Eh, anak Bunda kok nangis?”

Raka yang sedang mencuri secuil jamur krispi dari piring lauk langsung memasukkan hasil colongannya ke dalam mulut dan hinggap di kursi samping Acha. Disibaknya rambut perempuan itu, dan terlihatlah tetes-tetes bening itu jatuh di atas pangkuan perempuan itu.

“Kalo nangis terus nanti adeknya sedih loh, Cha. Kamu mau anak kita jadi sad child bahkan sebelum dia lahir?”

“Bang! Malah ngelawak ih, hiks.. Gue la—”

“Aku-kamu, no lo-gue!” potong Raka cepat. “Terus, aku ga mau dipanggil Bang. Harus manggil Mas mulai sekarang. Oke?”

Acha memukul lengan Raka dengan kepalan ringan, “Apa sih! Biasanya juga Lo gue.”

Bunda tertawa mendengar perseteruan kecil itu, “Ga apa apa, Acha. Ga usah malu gara-gara ada Bunda. Emang kalo udah nikah biasanya emang suami dipanggil Mas sama istrinya. Kalo Abang sih ga papa sebenernya, tapi buat orang Jawa, Mas itu lebih menghormati. Dulu Bunda juga manggil Ayahnya Raka kaya gitu.”

Pipi Acha memerah mendengar penuturan ibu mertuanya, ia mengangguk paham. “I-iya, Bunda. Nanti Acha coba.”

“Tapi emang Raka ga pantes dipanggil Mas sih, Cha. Liat aja tuh, dandanannya aja kaya tukang ojek pengkolan.” Lesmana yang baru keluar dari kamarnya tiba-tiba bergabung ke dalam obrolan itu, membuat Raka yang dari tadi diam mendengarkan jadi sensi. “Maksud Lo ape?”

“Maksud gue, gue ganteng,” kata Lesmana dengan percaya diri.

“Produk trial aja bangga!” ejek Raka, membuatnya dihadiahi cubitan dari sang Bunda.

Lesmana tertawa kencang, Acha tersenyum canggung. Bunda melepaskan cubitannya, aksinya berhasil membuahkan bekas yang kelihatan memerah di kulit Raka yang putih, “Ngomongnya dijaga ya, Anak Bunda yang paling manis.”

“Bunda psikologi banget deh! Sakit tau!”

“Psikopat, Bodoh! Udah gede masih goblok!”

“Kakak, mulutnya!”

༺ 𝙩𝙤 𝙗𝙚 𝙘𝙤𝙣𝙩𝙞𝙣𝙪𝙚 ༻

Soon to be.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang