IV.

317 35 18
                                    

Budayakan vote sebelum membaca.

☘ - 🆂︎🅾︎🅾︎🅽︎ 🆃︎🅾︎ 🅱︎🅴︎ - ☘

Di waktu subuh, pagi buta kala itu, tiba-tiba saja hujan turun deras. Acha yang udah bangun tentu saja mengernyit, masih bulan kemarau loh. Ada aja cuaca pagi ini.

Pelan pelan ia melangkah ke dapur, udah ada suara kompor nyala, berarti Bunda udah berkutat duluan di sana. Acha mengusap pelan perutnya yang mulai membesar.

“Bunda?” panggilnya.

Ibunya Raka udah balik brader, baliknya semalem dijemput Lesmana di stasiun. Bunda menoleh, senyum melihat menantunya yang udah bangun.

“Udah bangun aja, Cha.” Bunda kembali mengiris sayuran.

Acha tersenyum masih menggerakkan tangannya dengan gerakan memutar di atas perutnya, ia menghampiri wanita paruh baya itu. Dengan cekatan Acha mengumpulkan rambutnya dan menguncinya dalam bentuk bun.

Selesai dengan itu, dia mengambil spons dan mulai mencuci perkakas kotor yang ada di wastafel.

“Gimana cucu Bunda sehat?” tanya Bunda sambil tersenyum.

Dibalasnya senyum perempuan itu dengan yang sama, Acha mengangguk, “Iya, Bunda. Adeknya sehat. Maaf ya, Bunda. Semalam Acha ga bangun pas Bunda sampe rumah.”

Dengan lembut, perempuan paruh baya itu menggeleng, “Ga apa apa. Sengaja Raka Bunda suruh biar ga usah bangunin kamu. Kan kamu perlu istirahat, capek kan seharian beraktivitas.”

Perempuan muda berstatus istri Raka itu mengangguk saja, dia tau omongan orangtua itu ada benarnya. Jadi dia iyakan saja.

“Sudah cek ke dokter lagi belum?”

Acha menggeleng, Minggu ini sih kalau ga salah hitung udah masuk bulan ke empat. Dianya malah hampir lupa karena sibuk ngerjain UAS— atau lebih tepatnya nyicil sih biar besok engga repot.

“Belum sih, Bun. Tapi mungkin Minggu ini juga bakal konsul ke bidan langganan Acha.”

“Hoaam!” suara seseorang yang menguap membuat kedua perempuan itu menoleh sekejap, Raka berjalan ke arah dapur dengan wajah yang masih ngantuk, “Pagi, Brader..”

“Anak Bunda yang ini emang spesial sih,” ujar Bunda sambil menghela napas, Raka terkekeh dengan matanya yang masih sipit. Ia melangkah ke arah Bunda dan membubuhkan satu kecupan di pipi perempuan yang sudah dimakan usia itu kemudian berlalu ke dispenser buat ambil minum.

“Acha dicium juga dong, Dek!“ kata Bunda, lebih ke godain sih jatuhnya.

Raka yang lagi minum terus mengangguk dan bangun dari kursi sebelum mengecup pipi Acha yang terus memerah setelahnya. Bunda terkekeh geli, “Ciye pengantin baru!”

Laki-laki yang masih berada di antara Acha dan Bunda itu ikutan ketawa kecil melihat Acha yang salbrut— salah tingkah brutal.

"Lucu bener deh,” kata Raka sambil ngusak kepala Acha.

Raka duduk di kursi makan, nunggu kedua perempuan kesayangannya itu berkutat dengan berbagai peralatan di dapur. Pintu kamar di ujung ruangan kebuka dan menampilkan sosok kakaknya yang masih lusuh dan kucel.

Kentara Lesmana itu baru banget bangun. Matanya masih sipit dengan rambut yang awul awulan.

“Nggak kerja, Kak?” tanya Bunda.

Raka mendengus, “Libur dia Bunda, habis ngelembur 2 hari ga balik.”

Lesmana cuma mendengus terus duduk di kursi seberang Raka. Bunda menghela napas, “Jangan suka maksain diri dong, Kak. Nanti drop gimana?”

Soon to be.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang