scared

183 30 22
                                    

Budayakan vote sebelum membaca!

☘ — 🆂︎🅾︎🅾︎🅽︎ 🆃︎🅾︎ 🅱︎🅴︎ — ☘

Malam mulai merangkak naik di langit, jingganya senja mulai melemah hingga semburat merah terakhir hilang ditelan kabut kelam di ufuk barat sana. Udara kota yang kotor dan panas perlahan mendingin dengan sendirinya. Bukannya menyepi, jalanan malah makin ramai di malam hari. Para pengendara saling adu kebolehan di atas aspal. Mereka semua sibuk, dengan pikirannya masing-masing.

"Cha, maafin lah." Raka mengusap tangan perempuan itu yang langsung ditepis oleh sang empu. Makanan mereka barusan datang tapi Acha masih ngambek padanya, "Marah sama suami lama-lama hukumnya dosa loh, Cha.."

Mata perempuan itu berkilat marah, "Suami yang bikin istrinya kesel juga dosa ya, sorry!"

Raka berjengit mundur mendengar omelan istrinya, kaget anjay. Dia terus menghela napas, "Iya, maaf, aku yang salah."

Acha memutar matanya, dia jelas-jelas kesal. Di tengah tengah acara perdebatan kedua manusia itu, tiba tiba Acha merasakan tendangan dari dalam perutnya, dia mendesis, tangannya reflek memegang perutnya. Raka melotot, "Kenapa? Udah mau lahiran?!"

Dengan raut yang masih kesal, Acha menggeplak kepala Raka pelan, "Kecebong kamu nih nendang-nendang!"

Penuturan sang istri barusan mampu membuat rahangnya jatuh. Buru-buru Raka pindah tempat duduk di sebelah perempuan itu, dia mendekatkan wajahnya ke perut Acha yang menonjol itu. Mengamatinya lekat-lekat. Merasa ga ada pergerakan, Raka mengerutkan keningnya dalam,"Mana kaga ada tuh—"

Hingga sebuah tendangan kecil ia rasakan di telapak tangannya yang barusan ia tempelkan ke permukaan kaos yang dikenakan sang istri. Matanya membelalak lebar. Jantungnya serasa berhenti berdetak untuk sepersekian sekon. Raka kehabisan kata kata. Dia bolak-balik menatap Acha dan tangannya sambil melongo. Plis dia emang kelihatan bego banget sekarang, Acha mengakui itu.

"Mingkem ih, kaya orang blo'on!" Dengan gemas dikatupkannya mulut Raka.

"I-itu tadi beneran gerak, Cha?" tanya laki-laki dewasa itu setengah ga percaya.

Acha terkekeh, lantas mengangguk, ia mengambil tangan Raka dan menempelkannya lagi ke perutnya yang kian membesar. Lagi lagi, gerakan yang lembut terasa dari dalam perut perempuan itu. Bulu kuduk Raka terasa meremang, udah berasa ngelihat setan aja, dan jantungnya berdesir hebat.

"Geli ga sih?" tanya Raka kepo-setelah sekian lama diem sambil ngerasain kinetik di dalam perut istrinya itu, Acha menggeleng. "Agak aneh tapi ga geli."

Ekspresi Raka melembut, dia dengan penuh perhatian mengusap perut perempuan itu. Kelihatan banget kalo dia sayang ke janin yang sedang bertumbuh di perut perempuan itu. Walau nggak diucapkan dengan lisan, siapapun yang ngelihat gelagat Raka saat ini pasti bisa menangkap apa yang tersirat di lukisan rupanya.

Penjual pecel lele yang dari tadi sibuk meracik masakan buat mereka akhirnya datang dengan beberapa piring dan air buat kobokan, beliau kembali ke balik meja dan beberapa saat kemudian balik lagi buat nganterin minuman yang jadi pelengkap paket makan mereka. Begitu meja mereka sudah terisi dengan paket Lele dan Paket Telur ditambah kulit ayam dan kobis goreng, wajah cantik itu tampak berseri sekarang. Raka menghela napas lega.

"Cobain deh, ini telornya favorit aku banget! Pas Maba aku sering beli sama temen-temen dulu." Dengan girang perempuan itu menyodorkan telur dadar spesial yang selalu jadi menu andalannya kalo tanggal tua, soalnya kalo makan di warung makan lele terbang itu nasinya boleh ambil sendiri jadi kadang dia ambil banyak terus yang separo diem diem dia bungkus buat makan paginya di kost wkwk. Kok sedih ya ngingetnya?

Padahal Acha bukan orang yang sering kehabisan uang loh, tapi ga tau kenapa kalo tanggal tua bawaannya hemat mulu. Dia suka banget menghemat, atau lebih tepatnya males sih, males masak dengan gaya. Biasanya kalo udah mulai tanggal 21 ke atas itu, dia bakal ikut-ikutan Selma menghemat uang makan di luar biar masih cukup buat beberapa hari ke depan.

Kadang malah mereka masaknya gantian. Misal Senin Selma yang masak, ntar dibagi dua. Pas hari selanjutnya Acha bikin lauk sama sayur buat mereka berdua. Gituu mulu. Sampe akhirnya jadi gini. 

Keinget hal yang udah terjadi, tiba tiba bikin moodnya mendung. Cahaya di wajahnya yang tadi teramat terang, kini berangsur-angsur meredup. Dan tiba-tiba aja Acha udah makan sambil nangis. Raka yang ga paham jadi bingung, ini ada apa gerangan kok ga ada angin ga ada halilintar, tiba-tiba istrinya mewek gini?

Raka lantas memperhatikan piring di depan Acha, atau gara gara sambel mateng itu ya istrinya nangis? Benak Raka mulai berspekulasi. Dengan inisiatif dan didasarkan pada pemikiran bahwa dia harus jadi suami siaga makannya dia terus ngambil piring itu dan menukarnya dengan nasi punya Raka yang sengaja ga dicampur sambelnya.

“Ngapain sih, Mas?!” Isak perempuan itu setengah kesal.

Di raihnya kembali piring berisi lele itu dan ditaruhnya di depannya. Ia melanjutkan makannya sambil nangis. Mana ingusnya udah meler gara-gara pedes.

“Kalo kepedesan, udahan makannya, Cha.” Raka menghela napas lalu menyodorkan air putih yang dia bawa dari rumah, pake Tupperware punya bunda hehe.

Tanpa menjawab, Acha mengambil botol itu dan minum dari sana. Raka diam-diam memperhatikannya sambil mengunyah nasinya. Kenapa Acha tambah cantik ya di matanya? Apa ini efek kehamilannya? Orang orang sering bilang kalo ibu hamil cantiknya beda.

Mendadak Raka buang muka, apalah apalah. Salting sendiri dia.

“Mas, aku mau cerita.” Acha memisahkan daging lele dari tulangnya, dia sesekali menarik ingusnya agar tidak meler. Masih dengan efek kepedesan dan sedih tadi, “aku tuh sebenernya takut.”

Sang suami yang mendengar nada serius dari perempuan itu mendadak pasang telinga. Dia mendengarkan dengan seksama apa yang diutarakan oleh Acha. Ekspresinya melembut, “Takut kenapa? Cerita coba. Aku dengerin.”

Perempuan yang masih berkutat dengan daging ikan itu menghela napas, sedikit terdengar berat, “Kehamilanku udah masuk trimester kedua, dan aku anxious kadang. Gimana kalo pas dia lahir, aku kena baby blues? Aku takut aku malah jadi orang yang mencelakai dia di saat seharusnya aku jadi ibu yang bisa melindungi dia..”

Mendengar penuturan panjang lebar perempuan itu, Raka mendadak mikir. Baby blues? Itu penyakit mental ibu habis lahiran kan? Kalo ga salah, Raka pernah baca di artikel jurnal beberapa waktu yang lalu kalau kondisi ini bisa terjadi karena mental ibu yang belum mateng dan ada perasaan/ pemikiran bahwa sang new mom ini ngerasa kurang diperhatiin dan yang jadi pusat perhatiannya tuh cuma anaknya doang.

Selain itu, baby blues juga bisa terjadi karena kehamilan ga diinginkan, which is actually happened to her, and Raka knows it well that actually she's struggling to accept the fate.

You won't..” Raka berucap sambil tersenyum lembut, tangan kirinya yang bersih meraih beberapa anak rambut Acha yang menggantung di sisi wajah perempuan itu, lantas diselipkannya helaian hitam itu di daun telinga perempuan kepunyaannya itu. “Inget, kamu ga sendirian sekarang. Ada aku. Kita balap laluin semuanya bareng. I'll try my best to be with you, to make you happy and to make you feel loved and cared.”

Setelah kalimat Raka dia jabarkan, Acha yang tadinya sudah agak tenang, kembali menangis. Ya selain faktor terharu, hormon kehamilan juga memberi andil dalam hal itu. Raka mengusap surai perempuan itu dengan lembut, sembari berusaha menenangkannya.

“Ga apa apa, nangis aja. Kamu bebas ngeluarin emosi kamu.”

Acha yang awalnya menunduk kini menatap Raka dengan wajah memerah bekas menangis, “Thank you.. Thank you so much. I don't that will I do if you weren't here.”

“Nggak, Cantik. Aku yang seharusnya berterima kasih ke kamu. Aku yang berhutang banyak ke kamu atas semua ini.” Raka mengusap air mata perempuan itu dengan ibu jarinya, “Kamu terlalu baik, y'know?”

Dan dengan itu, malam mereka terasa lebih ringan. Ternyata saling terbuka itu ga seburuk yang Acha bayangin.

༺ 𝙩𝙤 𝙗𝙚 𝙘𝙤𝙣𝙩𝙞𝙣𝙪𝙚 ༻

Soon to be.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang