datangnya bebala

232 33 40
                                    

Budayakan vote sebelum membaca!

☘ — 🆂︎🅾︎🅾︎🅽︎ 🆃︎🅾︎ 🅱︎🅴︎ — ☘

Sekejap, hanya dalam sekejap, Acha merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak. Lidahnya kelu bahkan hanya sekedar untuk mengatakan satu kata saja.

Pipinya memerah dengan rasa panas yang menjalar cepat. Acha menahan napasnya untuk beberapa sekon.

"Lo murahan!" teriakan itu menggema di depan rumah.
.
.
.

10 menit lalu Acha masih sibuk menyiangi rumput yang tumbuh di sela-sela pot bunga milik Bunda. Dia ga lupa menyirami dan memupuk tanaman bunga-bungaan yang terlihat makin segar itu.

Dia hanya sendiri di halaman rumah, suaminya masih sibuk dengan tugas kuliahnya di dalam kamar. Sedangkan iparnya masih di alam tidur.

Awalnya semuanya baik baik saja. Bahkan beberapa ibu-ibu kompleks lewat dan menyapanya. Gini-gini dia udah berani unjuk muka, ya mau gimana, dia juga ga bisa terus-terusan di dalem rumah kan?

Lagian kabarnya udah kesebar. Acha bisa apa selain menerima takdir dan usaha buat melanjutkan hidup?

Hingga suara seorang ibu yang di dahului suara motor berhenti membuatnya menoleh, "Iya, itu mbak. Rumah Mas Raka yang cat putih."

Mendengar nama suaminya disebut, Acha lantas berdiri dari posisinya dan menoleh. Keheningan tercipta saat ia melihat sosok yang ia kenali betul, tengah menghentikan motornya di tepi jalan kemudian berjalan cepat ke arahnya. Dan setelah itu,

PLAKK!!

Selma mengayunkan tangannya keras ke pipi Acha, hingga sang empu tertoleh.

.
.

Telinga Acha panas, seperti tersengat bara api. Air matanya menggenang tanpa di suruh. Dia memegang pipinya yang terasa perih. Orang yang dia sebut sebagai sahabatnya itu tengah berdiri dengan muka memerah dan raut penuh emosi.

"Lo jalang! Acha, lo jalang!" sentaknya, menancap di ulu hati perempuan itu.

Acha terdiam di tempatnya, tubuhnya melemas pasca tamparan yang dihantamkan Selma di pipinya tadi. Air matanya luruh, Acha memilih diam.

Dia tau dia salah, tapi apakah memang seperti ini seharusnya dia diperlakukan?

Untuk apa? Ini ga akan merubah keadaan!

Karena suara ribut-ribut tadi, membuat si punya rumah keluar dari kamar. Raka yang awalnya setengah berlari kemudian memelankan kinetisnya melihat sosok Selma yang berdiri di sana dengan tatapan nyalang.

Napas perempuan itu menburu.

Raka dengan jantung berdentum-dentum lantas melangkah lebih dekat. Acha menangis di sana. Tentu ada yang tidak beres. Saat dilihatnya perempuan berstatus istrinya itu tengah memegangi pipinya yang sedikit kelihatan merah, Raka tau, ada suatu hal yang ia lewatkan.

Lelaki itu melangkah, dan melepas pelan-pelan tangan Acha. Hatinya berdesir sakit melihat merah yang kentara di sana. Dia meraih Acha ke pelukannya.

"Oh, ini dia keluar orangnya," tawa Selma mengejek, "Lo bayar dia berapa, sampe mau jadi jalang lo?"

Mendengar kata kata menyakitkan itu bukan hanya Acha yang merasa tersakiti, tentu saja Raka juga tersinggung. Tapi pribadi Raka bukanlah pribadi yang akan menghakimi sesuatu dalam sekejap. Dia ga mau gegabah dan menyesali perbuatannya di kemudian hari.

Beberapa ibu-ibu yang masih di luar tampak menonton. Raka tau itu buat Acha ga nyaman, dia menghela napas dan membawa perempuannya masuk ke rumah. Di belakang punggung lebarnya, Selma masih saja memaki-maki Acha tanpa belas kasih.

“Lo menjijikkan, Cha! Kaya belatung!”

Cklek!

Raka meninggalkan perempuan itu di balik pintu. Acha masih menangis, tanpa suara. Dan Raka tau hal itu rasanya lebih sakit dari menangis sambil meraung-raung. Di dalam rumah, dia menemukan kakaknya yang tampak linglung, tengah duduk dengan rambut acak-acakan.

“Kenapa?” tanya Lesmana melihat Acha menangis. “Lo apain?” lanjutnya pada Raka.

Raka menggeleng, mengisyaratkan pada Lesmana buat ga nanya-nanya dulu. Dia membawa Acha ke dalam kamar dan memeluknya hingga tangis perempuan itu reda.

“Maaf aku ga bisa ngapa-ngapain,” sesal Raka. “Sakit ya?”

Acha masih dengan sisa tangisnya mengangguk. Pipinya masih panas dan perih. Tenggorokannya sakit sekali bagai menelan batu sebesar gaban.

“Sa-kit,” isaknya.

Sang suami menghela napas, nggak ngira pagi pagi begini udah dapet tamu tak diundang kaya begini. Dia dengan ragu-ragu mengecupi pelipis perempuan itu. Biasanya sih manjur. Dulu sih dia sering begini, belajar dari pengalaman.

Dapat dirasakannya, Acha beringsut memeluknya lebih erat. Tangisnya mereda digantikan gerutunya dengan suara bergetar,“Jahat banget.”

“Mungkin dia cuma lagi marah aja, Cha. Selma temen deket kamu, mana mungkin dia sengaja kaya gitu?”

But she did.”

Mendengar cicitan Acha, lelaki itu cuma bisa mengusap punggung Acha lembut. “Just let it out, and calm down. I'm here, okay? You're not alone.”

Anggukan perempuan itu didapatnya, “Thank you, hubby.”

༺ 𝙩𝙤 𝙗𝙚 𝙘𝙤𝙣𝙩𝙞𝙣𝙪𝙚 ༻

Soon to be.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang