BAB 8 BERTEMU

238 17 6
                                    

Di perjalanan menuju restoran, Keisya duduk di kursi depan, sedang ayahnya yang duduk di samping terus saja mengoceh sepanjang jalan. Sejak kemarin Faisal memang tidak bisa berhenti menyuarakan protesnya atas niatan donor ginjal itu. Dan, Keisya semakin merajuk mengetahui kalau ayahnya tak lagi sejalan dengannya.

"Ayah tetap nggak setuju, Keisya. Berapa kali Ayah bilang itu berbahaya." Faisal menatap jalanan dengan wajah masam. Merutuki apa yang telah diniatkan putrinya. "Kamu kenapa sih nggak berpikir panjang dulu sebelum menawarkan bantuan ke orang lain."

"Keisya tuh niat tulus mau nolong orang lho, Yah. Kan Ayah sendiri bilang kalau membantu orang itu pahalanya besar." Keisya menatap keluar jendela dengan wajah tak kalah masamnya.

"Ayah tahu," Faisal membelokkan
setir, memasuki area parkir restoran. "Tapi ini membantu orang yang risk-nya bisa saja merugikan kamu di masa depan. Itu yang membuat Ayah nggak setuju."

Keisya menekuk bibirnya.

"Nanti ayah yang coba cari donor untuk Ibunya Dewa." Faisal menawarkan solusi lain.

"Kalau nggak dapet?"

"Mau bagaimana lagi, yang pasti bukan kamu yang mendonorkannya. Kamu masih terlalu muda untuk hidup dengan satu ginjal."

"Bukannya nggak masalah?" Keisya melirik ayahnya yang lebih dulu melepas sabuk di kursi. Mobil mereka telah berhenti menderu setelah mengambil posisi parkir. "Banyak kok orang yang bisa hidup tanpa dua ginjal. Sebenarnya satu aja cukup untuk kita bertahan hidup."

Faisal menghela napas.

"Ayah inget nggak?" Keisya ikut melepas sabuk. "Waktu ibu butuh donor sumsum tulang belakang, Ayah cerita kalau sesusah apa cari donor untuk ibu waktu itu. Sampai akhirnya Opa Prabu dan keluarganya membantu Ayah. Dewa juga sekarang lagi ada di posisi Ayah. Kalau ada yang bisa bantu dia, kenapa nggak?"

"Tapi-"

"Aku nggak tega lihat adiknya Dewa, Yah. Dia sedih karena takut kehilangan ibunya." Keisya buru-buru memotong. "Aku nggak tahu rasanya punya ibu, tapi aku bisa rasain gimana perasaan adiknya Dewa. Dengan aku donorin ginjal, aku bisa ngembaliin harapan hidup orang lain. Harapan ibunya Dewa, harapan adiknya Dewa, bahkan harapannya Dewa."

Faisal meremas setir. Menatap restoran di depan matanya.

"Aku butuh cepat donornya, Yah. Kalau Ayah nggak bisa dapat donornya, aku tetap akan donorin ginjal aku." pungkas Keisya.

"Kamu keras kepala. Persis ibu kamu dulu."

Keisya menekuk lagi bibirnya.

"Ayah akan usaha cari donornya. Kapan ibunya Dewa harus di operasi?"

"Secepatnya!" kali ini Keisya tersenyum lebar. "Hari ini kan aku ada uji tes kelayakan, kalau disetujui aku akan donorin ginjal aku beberapa minggu ke depan."

Faisal bukan kepalang terkejutnya. Sampai menggedikan kepala.

"Astaga, Keisya! Kita baru bahas perihal ini dua hari lalu, dan kamu sudah bertindak sejauh ini?"

Keisya terkekeh. Menyisir rambutnya dengan jemari. "Aku mau cerita waktu itu lho sebenarnya, tapi Ayah bahas Dipta terus jadi aku nggak mood. Yaudah deh aku nggak jadi cerita."

Faisal mendengus dengan wajah kesal. Bila dilarang putrinya ini bisa-bisa menolak lagi untuk dijodohkan. Itu bisa lebih berbahaya lagi. Prabu tidak akan pernah main-main dengan ancamannya.

"Ayo, Yah, kita turun." Keisya menyampirkan tas selempangnya. "Bapak-bapak bangkotan itu pasti udah nungguin kita, nih."

"Kamu yang sopan, Dipta itu belum setua yang kamu-"

Sense Of Belonging (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang