BAB 21 DIPTA CEMBURU?

290 14 5
                                    

Apa ya kira-kira yang Keisya bicarakan di parkiran siang tadi?

Apa bocah ingusan itu telah resmi menjalin hubungan dengan cowok idamannya?

Kenapa harus peluk-pelukan seperti itu?

Bila diingat-ingat, mereka memang akan lulus kuliah sebentar lagi, atau jangan-jangan itulah alasan mereka berpelukan?

Tapi, harusnya bisa nanti saja, kan? Skripsi belum selesai, kok sekarang peluk-pelukannya?

Itu deretan pertanyaan yang mengisi kepala Dipta sejak di perjalanan hingga tiba di apartemennya. Ia sampai lebih dulu. Hambar. Maksudnya, siaran bola yang ia setel sejak awal kedatangan. Tidak ada menariknya sama sekali.

Tidak pernah sekalipun dalam kamus hidupnya menggilai seorang wanita. Merebut wanita. Apalagi, memikirkan kaum rumit seperti mereka. Tapi kali ini, hanya bocah keribo, hitam, dan kurus yang merajai isi kepalanya.

"Ck, krempeng. Apa bagusnya?" ia tekuk satu lututnya di atas ranjang. Membolak-balik chanel tv yang menjenuhkan. "Soleh? Ck, taksir aja kiyai di pesantren. Lebih soleh kemana-mana."

Kejenuhan itu nampaknya memuncak saat samar-samar suara terdengar dari balik dinding. Dipta tahu siapa itu. Ia telah bersumpah di perjalanan tadi, tak akan sudi menyambutnya.

"Heh! Kok lu di sini, Ta?!"

Dipta menekan tombol remot. Menganti channel TV. Jangan tanya soal menanggapi seruan itu, melirik saja ia tak mau.

"Bukannya balik ke rumah lu," gadis keribo itu menghampirinya. "Ini udah malem tahu, bro. Maen mulu kerjaan lu."

Dipta hanya mendengus.

"Aing ajak ngomong malah mingkem. Kaya bebek lagi sariawan." gadis itu terkekeh, duduk di tepi ranjang, melepas ranselnya.

"Ini jam berapa?" Dipta mengendus.  Mencium samar aroma maskulin di dekatnya. Eh, jangan bilang ini berasal dari sisa-sisa pelukan tadi siang? Matanya seketika membesar.

"Jam sembilan kali, lu nggak lihat itu jam berapa di dinding, Malih?" Keisya  kali ini melepas jaket yang sejak tadi melindunginya di perjalanan pulang.

"Kamu abis pacaran, ya?"

"Pacaran?" Keisya mengernyit dahi.
"Apaan dah, aing mana pernah pacaran, sih."

"Terus dari tadi ke mana aja?" Dipta mengamati penampilan Keisya yang agak berbeda. Tidak lagi mengenakan kaos longgar seperti tadi siang, melainkan blouse ketat yag membentuk lekuk tubuhnya.

"Dari tadi sore gue di rumah si Sisil. Maen lah biasa anak muda." Keisya memeriksa chat di group sejenak. Tara kembali kumat dengan kebiasaannya. Membagikan tebak-tebakan.

Tara:
Bahasa Jepangnya obral apa, gaes?

Sisil:
Daripada ngejawab, gue lebih nunggu kapan lu tobat bikin tebak-tebakan, Atun ... Atun.

Keisya:
Tak kasih murah, hai!
🙏😂

Tara:
Nah, kan, Keisya kibouw, pinter jawabnya! Tolong anda Pricilla yang otaknya ketinggalan di kolem lele balik ke aer. Hus~ Hus~ Hus~

"Keisya," Dipta menegur.

"Apa?" Keisya masih seru membalas chat-chat lucu. Sesekali tertawa.

"Kamu pake baju siapa itu?"

Keisya menoleh.

"Kenapa emang? Ini bajunya si Sisil. Tadi di sono maen ciprat-cipratan, terus kaos gue kena aer, basah kuyup."

Sense Of Belonging (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang