Prank judul 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Author bersabda, "Siapa yang ibu jarinya pelit like, besok bangun tidur pantatnya kutilan." 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Happy reading, gaes.... 🗿
***
Malam semakin larut. Gemuruh terdengar dari balik atap rumah kontrakan. Hujan bersiap turun. Keisya mendongak, melihat ke langit-langit kamar. Ada bekas-bekas noda air yang tertinggal di sana. Genteng di atasnya sepertinya bocor.
"Satu koma dua juta untuk sebulan, dek," pemilik kontrakan yang berdiri di dekatnya menyebutkan harga sewa, mengakhiri lengang ruang tengah rumah kontrakan itu. "Eh, mbak ya, maksud saya."
Keisya menghela napas. Jika bicara harga memang sudah sesuai dengan dana yang ia punya. Tapi masalahnya, atapnya bocor. Juga kamarnya yang terlalu sempit. Jika sendiri mungkin tidak masalah, tapi jika ditempati bersama anak-anaknya, aduh kasihan mereka.
"Mending ambil tahunan aja, Neng... Saya korting, deh." ibu pemilik kontrakan bicara lagi.
Keisya meminta pendapat seseorang yang berdiri di dekatnya. Yang sejak sore tadi mengantarnya keliling mencari kontrakan.
Seseorang itu mengangkat bahu. Menyerahkan keputusan padanya.
Keisya menghela napas.
"Saya cari-cari lagi dulu aja ya, Bu, nggak apa-apa kan ya, Bu." muka ibu pemilik kontrakan langsung terlipat. Keisya tidak enak hati, harus ia luruskan agar tidak terjadi salah paham. "Anak saya soalnya nanti kembar, Bu. Ini ukuran kamarnya terlalu kecil, kasihan anak-anak saya. Kalau saya sendiri pasti saya ambil rumah ini."
Dan tetap, muka ibu pemilik kontrakan itu masih kecut setelah dijelaskan. Dewa menghela napas, melepas sandaran lengannya di bingkai pintu kamar.
"Terima kasih banyak atas pengertiannya ya, Bu." cowok itu berinisiatif menutup negosiasi di antara mereka. "Kalau begitu, kami berdua pamit dulu."
Ibu pemilik kontrakan mengangguk, masih dengan muka tidak ramahnya. Tidak berniat bicara sepatah kata pun.
Keisya sedikit membungkuk, lalu bergegas menyusul Dewa yang lebih dulu keluar dari rumah. Ini kontrakan kelima yang mereka datangi sejak sore tadi. Dewa sampai-sampai harus meminta izin tidak bekerja di cafe malam ini karena memilih menemaninya.
"Maafin aku, Wa. Gara-gara aku hari ini kamu jadi repot. Maaf banget, Wa." ia mengatakannya sambil menyambungkan kait helm di bawah dagu.
Dewa menghidupkan motor bututnya. Sejenak memperbaiki posisi kaca spion yang sedikit bengkok. "Kamu udah bilang maaf empat kali hari ini, Keisya."
"Aku nggak mau ngeropotin orang, Wa... Nggak enak. Apalagi kamu harusnya malam ini kerja. Nanti pasti kena potong gajinya." Keisya beringsut naik ke atas motor.
Dewa melirik lewat kaca spion. Sekali lagi memastikan seseorang di belakangnya telah duduk dengan nyaman. Soal maaf itu, ia tidak mau membahasnya. Sejak dulu, memang Keisya begitu, sedikit-dikit minta maaf. Membuatnya sering bingung, apa yang sebenarnya harus dimaafkan.
"Kita cari kontrakan yang dekat rumah aku aja, gimana?" Kepalanya menoleh. "Mau?"
"Deket rumah kamu emang ada yang kosong, Wa?" Keisya bertanya.
Dewa menatap langit. Gemuruh terdengar dari balik awan-awan hitam yang bergelayut. Soal itu, belum tahu. Tapi yang jelas mereka harus segera mendapatkan rumah kontrakan atau terpaksa meneduh di tengah perjalanan.
"Semoga ada." Dewa menginjak gigi satu.
Keisya menatap pantulan wajahnya di helm Dewa. Ternyata, sekeras apapun berusaha mandiri, ia tetap butuh orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense Of Belonging (TAMAT)
Romansa(Adult Area 21+) (Karya 3) Namanya Keisya Wilhena. Usianya hampir 22 tahun alias sebentar lagi ia akan menjadi seorang sarjana. Hidupnya seperti anak muda pada umumnya. Kuliah--nongki-nongki bareng sahabat--ngereong tugas-tugas puisi bersama-sama. I...