Lift terus melesat naik. Menuju atap gedung. Dipta memastikan jam di pergelangan tangan. Ia tidak punya banyak waktu. Pukul sepuluh pagi ini sudah ada jadwal meeting yang menantinya. Tapi bertemu dengan Valencia tidak kalah pentingnya. Ia harus segera mendapat kejelasan agar setelah ini tidak lagi bersikap membingungkan di depan istrinya sendiri.
Dipta mengembuskan napas pelan. Di detik-detik ia bisa saja membatalkan perjodohan, atas nama tanggung jawab ia justru melanjutkannya.
Lift berdeting lembut. Sedetik pintu itu terbuka, ia bergegas melangkah keluar menuju rooftop--- lapangan kecil yang dialihfungsikan sebagai restoran khusus karyawan. Banyak meja-meja dengan kursi yang kosong. Sepagi ini, restoran belum buka. Tidak ada satu pun karyawan yang terlihat bekerja.
Hanya ada seseorang. Duduk, menatap langit pagi yang biru tanpa awan.
Kakinya melangkah ke sana.
"Hey," seseorang itu menoleh, menyapa.
Dipta menarik kursi tinggi dari bawah meja. Duduk. Dari ketinggian dua puluh lima lantai, mereka bisa melihat mobil-mobil yang melintas di bawah sana.
"Tadi kejebak macet?" Valencia bertanya.
"Sedikit."
"Restorannya belum buka." wanita itu mengeluarkan bekal dari dalam tasnya. Menggeser kotak makan itu ke tengah. Hendak menawarkan. "Roti. Mau?"
Dipta menggeleng. Ia tidak napsu makan.
"Bisa kita selesaikan ini? Aku nggak punya banyak waktu."
Valencia tersenyum masam. Mengambil sepotong roti selai buatannya.
"Malam itu bukannya aku udah ceritain semuanya sama kamu?"
Dipta menggeleng. "Tapi aku belum sepenuhnya percaya dengan apa yang kamu bicarakan malam itu."
Valencia menelan sejenak roti dalam mulutnya.
"Aku juga nggak tahu gimana caranya bikin kamu percaya, Dip." ia kembali bicara, santai. "Kenapa nggak kamu aja yang cari tahu sendiri?"
"Om Faisal udah nggak ada."
Satu menit lengang.
Dipta tahu, nama itu terlalu sensitif bagi wanita yang sedang ia ajak bicara sekarang.
Valencia menghela napas. Membuka lagi tasnya, mengeluarkan dua lembar pas foto berukuran kecil. Meletakkannya di atas meja.
"Kamu kenal dua orang ini?"
Dipta menatap kedua foto.
"Dua orang ini yang membantu Papa di perisitiwa kecelakaan itu. Satu orang dari mereka ditugaskan Opa membocorkan tabung rem mobil Ratama. Dan, satu lagi, dia ditugaskan meracuni Wisnu Reksadinata. Yang membocorkan tabung rem mobil Papa kamu adalah Ghani. Tapi naas, dia meninggal setelah kejadian."
Dipta mengambil satu foto.
Foto seseorang yang berkelebat dalam ingatannya selama dua puluh tahun setelah kejadian kecelakaan itu.
"Dia," Valencia menunjuk foto itu dengan gerakan kepalanya. "Dia adalah orang yang seharusnya melakukan simulasi meracuni makanan Wisnu Reksandinata. Dia datang bersama Papa ke kantor kamu hari itu. Tapi beruntung, dia gagal karena tanpa sengaja bertemu kamu di depan pantry."
Dipta menatap terkejut.
"Dia gagal di percobaan pertama. Dan, Opa nggak lagi menggunakannya sebagai pion untuk menghancurkan Wisnu." Valencia seperti mengerti ekspresi bertanya Dipta. "Fakta tentang kecelakaan Papa dan Mama kamu sebenarnya cukup buat Opa senang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Sense Of Belonging (TAMAT)
Romance(Adult Area 21+) (Karya 3) Namanya Keisya Wilhena. Usianya hampir 22 tahun alias sebentar lagi ia akan menjadi seorang sarjana. Hidupnya seperti anak muda pada umumnya. Kuliah--nongki-nongki bareng sahabat--ngereong tugas-tugas puisi bersama-sama. I...