BAB 28 MENIKAH?

271 22 8
                                    

Setelah kemarahan Prabu hari itu, ia tidak lagi menampakkan diri di permukaan. Keisya menduga, kakek tua sialan itu sedang membuat rencana baru. Atau pusing kehilangan cara mencapai tujuannya karena Dipta yang terlanjur mengetahui siapa identitasnya.

Ngomong-ngomong tentang Dipta, pria itu tidak berhenti-berhentinya membujuk, dalam artian bertanya kapan sekiranya ia bisa bertemu Prabu. Atau, bertemu Herlambang. Dan, Keisya dilanda kebingungan setiap kali menjawabnya.

Mau menjawab apa memangnya?

Prabu tidak akan mau bertemu, kecuali pria tua itu memiliki rencana lain. Dan, Keisya sangat berharap, Wisnu Reksadinata tidak terlibat dalam situasi ini. Karena bila itu terjadi, Prabu akan marah besar. Dan, Dipta bisa saja menjadi sasaran amarahnya.

"Kamu kebanyakan ngelamun belakangan ini."

Keisya menoleh--- memutus lamunan. Teguran pria yang duduk di sampingnya berhasil membangunkannya dari padatnya pikiran buruk tentang kisah mereka.

Pernikahan mereka nanti, apa masih bisa terjadi?

"Hey," Dipta mengangkat kakinya. Duduk bersila di atas sofa. Telah ia beli sofa empuk agar mereka bisa menonton dengan nyaman. "Lagi mikirin apa, sih?"

Keisya mengusap rambutnya.

"Pusing." ia menjawab asal.

"Pijetin, mau?"

Keisya nyengir.

"Serius...." Dipta menepuk-nepuk pahanya sendiri. "Sini, aku pijetin."

Keisya langsung merebahkan kepalanya di atas pangkuan Dipta. Dengan lembut, pria itu mulai memijit dahinya perlahan.

"Itu, Ta. Iya. Bener, itu." dia suka. "Wah, enak bet pijetan lu."

Dipta tersenyum bangga.

"Cocok dah lu jadi tukang pijet keliling."

Senyum itu langsung lenyap.

"Aing cuma bercyandaaa..." Keisya tertawa. "Ambekan lu!"

Dipta terus memberi pijatan lembut. Sambil menatap wajah menyebalkan Keisya. Yang anehnya sering singgahi pikirannya beberapa bulan ini.

"Lu kangen nggak sama orangtua lu, Ta?"

Dipta melipat dahi. Tidak menduga hal ini yang akan mereka bahas.

"Kangen." ia menjawab.

"Gue juga kangen sama nyokap gue." Keisya memejamkan mata. Pijatan itu membuatnya mengantuk. "Walaupun dari kecil gue cuma tahu dia dari fotonya aja."

Dipta tersenyum.

"Kadang gue ngerasa Tuhan nggak adil, Ta." Keisya menghela napas. "Nyokap gue bisa lihat gue dari atas sana, tapi gue gak bisa lihat dia. Waktu kecil, cita-cita gue itu mau cepet-cepet sampe surga biar ketemu nyokap gue."

Dipta menyimak.

"Eh, waktu udah gedenya, nggak jadi." Keisya masih terpejam. "Soalnya gue tahu, gue masih banyak dosa. Ntar bukannya ketemu emak gue, eh malah ketemu setan di neraka."

Dipta reflek tertawa. Keisya membuka matanya.

"Gue pengen di sini aja. Masih ada bokap gue, soib-soib gue, dan-" Keisya menatap.

"Dewa?"

"Dan, lu." gadis itu tertawa cekikikan. Buru-buru menutup mukanya yang kadung malu.

"Belajar gombal darimana kamu?"

Keisya menangkup pipi. "Dari soib-soib gualah."

"Skripsi kamu gimana? Ada kendala?" Dipta berhenti memijit, berganti menyisir rambut megar calon istrinya.

Sense Of Belonging (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang