"Seorang pemimpin di mana pun ia berada harus berperilaku seperti 'mata air' yang mengalirkan air sehat dan bergizi, sehingga kehidupan di sekitarnya bisa mekar dan berkembang. Perilaku seperti 'mata air' yang mengalirkan racun akan merusak kehidupan di sekitarnya."
Seluruh mahasiswa di kelas ilmu pengetahuan budaya itu menyimak materi yang disampaikan dosen di jam terakhir kuliah mereka hari ini. Era baru yang berharga mahal. Reformasi 1998.
Semua kericuhan itu bermula dari turunnya nilai mata uang Thailand-bhat. Negara yang termasuk bagian dari Asia tenggara tersebut mengaku tidak lagi sanggup membayar utang luar negeri mereka. Tutur bapak dosen beberapa menit lalu.
"Korupsi yang merajalela, kolusi, nepotisme, serta hilangnya hak rakyat dalam berpendapat menjadi landasan yang memicu kemarahan mayoritas bangsa." bapak dosen itu memperbaiki posisi duduknya sejenak sebelum melanjutkan lagi ceritanya. "Cerita reformasi adalah cerita paling mengesankan. Seperti kita sedang membuka lagi kotak pandora yang membangunkan kita dari kebutaan terhadap kacaunya sistem politik negara ini. Kalian pasti bertanya-tanya mengapa Soeharto dicap begitu otoriter? Jawaban paling sederhana, karena ia memang berkuasa. Golkar menguasai hampir 85% kursi di DPR pada masa itu. Tapi tahukah kalian bahwa ada alasan lain dibaliknya?"
Itu pembahasan yang menarik. Keisya menyimak dengan antusias, mengabaikan pesan yang tiga kali masuk ke ponselnya.
"Tiga ratus lima puluh tahun tercatat dalam sejarah, kita dijajah oleh kolonial Belanda. Mereka mengendalikan politik aparat pemerintahan kita. Lembaga-lembaga kebudayaan dan tradisional terus digerogoti demi kepentingan eksploitasi ekonomi. Lembaga perekonomian dirancang untuk menjamin aturan perdagangan sesuai kehendak mereka. Saat menuju proklamasi tahun 45, aparatur, lembaga administrasi dan birokrat belum bisa kita andalkan. Terlebih, rakyat kita belum terjamah dengan pendidikan yang mempuni. Lebih dari 95% rakyat kita kesulitan dalam berbahasa, dan membaca. Keterbatasan serta pemahaman itulah yang membuat pemerintah kita dengan terpaksa melaksanakan kepemimpinan yang bersifat otoriter.
Mulai tahun 1968, dibawah kepemimpinan Soeharto kita mulai bergerak menuju perbaikan. Kita Menciptakan serta menerapkan program pembangunan yang berkelanjutan. Kita tidak bisa mengabaikan hasil nyata dari kebijakannya selama menjabat. Itu berharga sangat mahal."
Beberapa mahasiswa ada yang wajahnya masam. Kurang setuju.
"Lihat anak muda zaman sekarang. Banyak sekali yang sibuk menyalahkan ini dan itu. Menyimpulkan sendiri potongan sejarah. Kita tengok debat pemilihan presiden tahun ini, tidak ada subtansi yang jelas akan dibawa ke mana negara kita di bawah kepemimpinan mereka. Yang satu bersikap defensif. Yang dua sibuk merundung. Pertanyaannya, apa itu akan bermanfaat untuk kita? Apa itu yang kita harapkan dari mereka bila menjadi pemimpin negara?"
Dosen menjeda ceritanya. Menatap satu per satu mahasiswanya.
"Kita kembali ke masa-masa runtuhnya Soeharto. Lebih dari 60 bank konvensional bangkrut pada saat itu. Penyebab terbesarnya adalah masalah likuiditas. Mesin penarikan uang dijarahi. Cabang-cabang bank dirampok secara membabi buta. Gubernur Jakarta melaporkan, dua ribu lebih rumah dibakar hanguskan. Para warga asing diminta segera meninggalkan Jakarta. Dampak melemahnya nilai tukar mata uang dunia itu membuat masyarakat jengah akan kepemimpinan Soeharto.
Obligasi hanya teronggok seperti selembar surat, harga saham di pasar sekunder pun terus merosot. Para konglomerat sibuk menyelamatkan uang mereka di bank. Yang miskin sibuk menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan. Kurs dollar dari 2000 naik jadi 5000, naik lagi menjadi 10.000, naik lagi ke 11.000. Perubahan itu terjadi sangat cepat, sehingga ekonomi menjadi sulit dikendalikan."
Mahasiswa menyimak takzim. Satu dari mereka yang gemas akhirnya mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Izin mau bertanya, Pak. Mengapa masa-masa itu bank tidak dilindungi oleh pemerintah?" tanyanya setelah diizinkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense Of Belonging (TAMAT)
Romance(Adult Area 21+) (Karya 3) Namanya Keisya Wilhena. Usianya hampir 22 tahun alias sebentar lagi ia akan menjadi seorang sarjana. Hidupnya seperti anak muda pada umumnya. Kuliah--nongki-nongki bareng sahabat--ngereong tugas-tugas puisi bersama-sama. I...