Deretan pesan masuk.
Yang pertama, dari Pricilla. "Kibouw! Suami lu ke rumah gueee.... Jawab apa ini????!" Pesan itu masuk kemarin sore--- lebih tepatnya pukul empat sore. Pesan kedua datang dari Nada. "Keisyaaaa, Dipta ganteng dateng nih, pamanku kira calonku. Hampir diarak ke KUA. Gas nggak, nih?" Pesan itu masuk dua jam setelahnya, pukul enam malam. Pesan lain masuk dari Dewa. "Kamu di mana?" Sepertinya Dipta mendatangi mereka satu per satu--- mencari ke mana-mana.
Keisya mengembuskan napas perlahan. Mematikan lagi telepon genggam setelah tidak ada satu pun pesan yang ingin ia balas. Sejak kemarin pagi setelah keluar rumah tanpa pamit, memang ia belum sempat pulang. Pria itu mungkin panik mencarinya. Puluhan telepon dan pesan masuk mengetarkan ponsel berkali-kali.
Semoga Dipta mengerti. Semua ini juga demi pria itu, agar hatinya tenang. Sakit hati orang tuanya pada akhirnya terbalaskan.
Keisya mengangguk. Meneguhkan tekad. Menatap jalanan lengang di pukul delapan pagi ini. Mobil Tara telah menghilang di ujung jalan. Sahabatnya pasti ikut lelah, semalaman terpaksa tidur di dalam mobil.
Bukti itu memang belum ada Tapi bukan berarti mereka gagal. Keisya genggam erat ponsel di tangannya. Telah ia rekam semua percakapannya kemarin sore dengan anak Albert. Cepat atau lambat, orang yang mengasingkan diri itu akan ikut ditangkap. Karena dengan sengaja menutupi kebenaran.
Setelah ini, Prabu juga akan di penjara. Besok pagi, pria tua sial itu akan kembali dari luar negeri. Tidak akan bisa kabur lagi. Ia akan tetap di sini, mempertanggung-jawabkan kesalahannya.
Sekali lagi, Keisya mengangguk. Ia yakin ini adalah pilihan yang paling benar. Dengan segala resiko yang siap ia hadapi, ia geret paksa kedua kakinya memasuki komplek kediaman Wisnu Reksadinata. Matahari menatapnya dari atas langit yang biru. Menyiram hangat jalanan komplek yang lengang. Satu-dua mobil mewah melintas pelan hendak keluar dari perumahan. Ia harus tiba sebelum Raisa berangkat bekerja. Karena hanya Raisa yang bisa diharapkan. Wisnu sudah terlalu tua untuk memikirkan masalah sebesar ini. Dipta benar, kakeknya bisa drop bila tahu apa yang terjadi.
Sepuluh menit menyusuri bahu jalan, ia akhirnya tiba di depan kediaman Wisnu. Rumah yang dua kali lebih besar dari yang dihuni Prabu. Pohon-pohon palem tinggi menghiasi pekarangan depan. Dua mobil mewah terparkir di carport rumah. Itu artinya, Raisa belum berangkat bekerja. Keisya mengembuskan napas.
Tapi... juga ada sedan hitam milik Wisnu, yang terparkir tidak jauh dari mobil Raisa. Hanya Range Rover milik Saga yang tidak ada di sana. Berarti Wisnu tidak berangkat ke kantor hari ini. Keisya mendesah kecewa. Bahunya merosot jatuh. Jika keadaannya seperti ini, bagaimana jika Wisnu nanti mendengar dan tahu tentang kejadian yang terjadi. Hal itu hanya akan memperburuk kondisi kesehatannya.
Tapi... tidak ada lagi kesempatan kedua. Prabu akan tiba di bandara besok pagi. Cepat atau lambat, pria tua itu akan tahu jika dirinya dijadikan target penangkapan. Bisa-bisa Prabu kabur lagi ke luar negeri.
Inilah pilihan terbaik untuk semua orang, Keisya. Untuk Dipta, juga keluarganya. Separuh hatinya menyergah. Apapun yang terjadi nanti, semua itu pasti bisa terlewati.
Keisya menghela napas perlahan. Semua yang terjadi setelah ini pasti bisa ia lewati. Satu menit diam, menatap rumah besar yang berdiri kokoh di hadapannya. Tangannya yang gemetar mulai memegang gagang pagar yang ternyata tidak terkunci, membukanya perlahan. Dengan berat, kakinya melangkah melewati halaman depan--- menuju teras rumah. Deru lembut dari mesin pendingin menyambut sedetik ia membuka pintu.
Suara tawa bayi menuntun langkahnya hingga dari jarak yang tersibak tiga puluh meter langkahnya terhenti.
Ia menelan ludah.
![](https://img.wattpad.com/cover/360159226-288-k574752.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense Of Belonging (TAMAT)
Romansa(Adult Area 21+) (Karya 3) Namanya Keisya Wilhena. Usianya hampir 22 tahun alias sebentar lagi ia akan menjadi seorang sarjana. Hidupnya seperti anak muda pada umumnya. Kuliah--nongki-nongki bareng sahabat--ngereong tugas-tugas puisi bersama-sama. I...