BAB 49 PAK TUA ITU

278 23 3
                                    

Bila penghapus masalah itu dijual bebas, maka yakinlah, siapa pun, tidak akan ada yang berpikir dua kali untuk memilikinya. Kaya. Miskin. Semua akan berusaha membelinya. Karena sungguh, masalah itu sesuatu yang menakutkan, bila tidak juga ditemukan solusinya bisa-bisa buat orang jadi gila.

Dan, Dipta merasakannya. Bangun tidur mendapati sisi sebelahnya kosong.

Panik, ia loncat turun dari tempat tidur, berlari cepat ke kamar mandi--- tersandung, tidak peduli, bergegas memastikannya. Tetapi tidak ada orang. Memeriksa balkon luar apartemen, juga tidak ada siapa-siapa.

Ke mana istrinya?

Satu menit ia berdiri bingung menatap sekitar. Seingatnya, semalam wanita itu masih ada dalam pelukannya. Sesegukkan menangis tidak mau berhenti. Tapi mengapa sepagi ini sudah tidak ada. Ke mana Keisya?

Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel di meja, menekan tombol panggil, menunggu panggilan itu terhubung, tapi suara operator lebih dulu memutusnya.

Dipta berdecak. Belum putus asa, ia mencari kontak lain--- Tara, Pricilla, Nada. Semuanya, ia hubungi. Dan, apa hasilnya? Mereka kompak tidak mengangkatnya.

"Astaga..." Dipta menghempas punggung di sofa. Jantungnya berdetak keras sekali. Rasa takut itu mulai memenuhinya.

Di mana Keisya sekarang? Mengapa tidak pamit padanya?  Apa yang akan bocah itu lakukan? Jangan bilang, ia memilih nekat menyelesaikan semua ini sendiri. Tidak memperhitungkan resiko yang mungkin terjadi. Membuat situasi justru semakin runyam.

Tidakkah Keisya sedikit saja memikirkan kandungannya? Bagaimana bila terjadi apa-apa dengan kandungannya.

Dipta mengusap wajah.

Ia harus mencari ke mana wanita itu?

Lima menit diam. Tangannya menyambar kunci mobil di atas meja. Terserah cari ke mana. Keliling kota pun akan ia sanggupi.

***

"Udah gila, sinting, nggak waras. Nggak habis pikir." omel Tara di balik setir. "Pagi-pagi kepala gue udah dibuat puyeng!"

Satu jam sudah, ia habiskan waktunya menemani wanita hamil yang menangis sesegukkan di sampingnya. Pagi-pagi ada yang saja yang merusak mood-nya.

Matanya mendelik. "Lu tahu nggak? Gue tadi lagi mimpi punya duit sekolam ikan. Dollar semua. Eh, lu bangunin setan! Mana suruh jadi sopir lu pula. Gue sembelih lu kalau nggak inget lu lagi bunting."

Keisya menangis kejer. Membuang berkali-kalinya ingusnya dengan berhelai-helai tissu.

Mereka sedang parkir di depan rumah Antonny--- seseorang yang Keisya temui sendiri sebelumnya. Yang memberi gadis itu alamat tempat tinggal seseorang. Beberapa hari lalu, alamat itu sempat  hilang karena Dipta menghapusnya. Sekaligus kontaknya.

Tapi, setelah kembali mendapatkannya, Keisya justru menangis semakin kencang.

"Udah, deh lu. Cep. Cep. Inget, perut lo udah kayak balon, tuh. Kasihan anak-anak lu, ibunya nangis mulu." Tara mencebik. Ikut stress. Gila, bangun pagi-pagi sarapan belum sudah dijadikan sopir. Mending dibayar, bensin saja bayar sendiri. Apes.

Keisya menyeka air matanya. Menangis terisak-isak.

"Astaga..." Tara bersandar kursi, mengacak rambut pendeknya. "Bener lu, lama-lama gue buang lu di tengah tol. Terserah, Dipta mau ngomel-ngomel bodo amat. Nggak peduli gue."

Keisya mengelap pipinya yang basah. Mengelapnya dengan dua lembar tissu.

"Lu sebenernya kenapa sih, Kibouw?"

Keisya mengambil lagi sehelai tissu, menghapus air matanya.

"Itu yang lo minta sebenernya nomer siapa?"

Sense Of Belonging (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang