BAB 36 MATA ITU

211 23 8
                                    

Apa yang telah pergi, maka lepaskanlah. Segala yang telah hilang, maka belajarlah merelakan. Karena sejatinya di dunia tidak ada satu pun yang kekal.

Termasuk memiliki seseorang.

Terbangun dari mimpi buruk tidak berarti membuat seseorang melarikan diri dari fakta yang menghantui. Kepergian tanpa aba-aba adalah hal paling menyakitkan bagi siapa saja. Tidak terkecuali bagi Keisya, yang sedang merasa kehilangan.

Ia tidak tahu bagaimana cara takdir bekerja. Tapi, mengapa harusnya ayahnya? Mengapa bukan dirinya saja?

Bagaimana ia menjalani kehidupannya, tanpa Faisal ayahnya.

Dipta menepuk-nepuk kedua telapak tangannya dari sisa-sisa tanah makam. Ia turut serta menguburkan mendiang Faisal. Keisya nampak sekali terpukul. Semua ini memang terjadi tiba-tiba. Dipta pernah merasakannya. Ia sangat mengerti apa yang gadis itu rasakan saat ini.

Tapi, Valencia tidak demikian. Berkali-kali menyalahkan Keisya atas kecelakaan yang menimpa ayah mereka. Keisya bahkan tidak tahu apa-apa, atas dasar apa Valencia bisa menuduhnya seburuk itu.

Dipta menatap iba Keisya yang bersimpuh di samping pusara makam, menangis terisak-isak.

"Dipta," seseorang memanggil.

Ia menoleh. Melangkah mendekat. "Kenapa, Nek?"

"Nenek ke mobil duluan." Ratna bicara sepelan mungkin. "Mendung, takut hujan."

Dipta mengangguk. "Sama Tina? Atau aku yang anter?"

Ratna menatap sejenak Keisya yang menangis. Hatinya sungguh tidak tega. Tapi, untung saja gadis itu ditemani ketiga sahabatnya.

"Kamu mau antar Nenek?" Ratna mendongak, melihat cucunya telah mengambil alih stang kursi roda dari pengasuhnya.

Dipta melepas kedua rem. "Aku anter Nenek ke mobil."

Ratna ragu. "Keisya?"

"Keisya ada teman-temannya, Nek." Dipta memutar balik kursi roda, menjauh dari tenda yang dikerumuni para pelayat.

"Keisya tinggal di rumah kita aja, Dipta." Ratna teringat sikap keras keluarga calon istri cucunya beberapa saat lalu. "Kasihan dia kalau di rumahnya, Nenek nggak tega."

Dipta menghela napas. Sambil terus melajukan kursi roda perlahan menjauhi area pemakaman. Tina, di sampingnya mesejajarkan langkah.

"Nanti aku coba bicarain sama Keisya, Nek." nasib pernikahannya pun ia tidak tahu akan seperti apa.

"Nenek sedih sekali..."

Dipta demikian.

"Kakek dan Raisa akan menyusul ke sini, Dipta?"

"Ada meeting di kantor. Kemungkinan habis ashar mereka baru bisa ke sini, Nek."

Ratna mengembuskan napas. Menatap mobilnya yang telah menunggu di antara deretan mobil-mobil yang terparkir di luar pemakaman.

"Umur tidak ada yang tahu ya, Dipta."

Dipta mengangguk.

"Keisya pasti terpukul sekali. Dia sudah tidak ada orangtua lagi."

Dipta menoleh ke belakang. Melihat tenda hitam yang masih ramai dikerumuni para pelayat. Sesungguhnya, ia pun tidak tega melihat Keisya tidak berhenti-berhentinya menangisi kepergian ayahnya.

Rasanya, ia ingin memberi pelukan agar tangisan itu benar-benar berhenti.

"Tapi setahu Nenek, Faisal memiliki adik perempuan."

Dipta tetap melajukan kursi roda. "Oh ya? Nenek tahu?"

"Tahu. Nenek cukup kenal dengan Faisal dulu." Ratna menatap jalanan sambil mengenang masa itu. "Adiknya Faisal itu perempuan, tapi... sepertinya tadi di sana Nenek nggak lihat adiknya."

Sense Of Belonging (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang