BAB 12 ULANG TAHUN KAKEK WISNU

224 18 4
                                    

"Ntar aing manggil situ apa, nih?"

"Mau kamu apa?"

Keisya melangkah di belakang Dipta yang memimpin jalan. Mereka berada di lorong rumah sakit. Disisi Kanan dan kiri mereka ada banyak pintu kamar yang ditempati pasien rawat inap.

"Dipta..." ia melangkah lebih cepat, menarik jaket pria yang belakangan sering mengacuhkannya. "Aing seriusan nanyanya, lho. Ntar kakek lu galak lagi, aing takut diomelin ntar kalau salah nyebut nama."

"Saya juga nggak tahu sebutan apa yang cocok, Keisya. Semua sebutan kalau keluar dari mulut kamu itu terdengar aneh."

"Heh!" Keisya reflek memukul lengan pria yang mulutnya terlalu jujur itu. "Maksud lu ada masalah gitu sama mulut aing?"

"Mungkin." Dipta mengangkat bahunya sambil tersenyum kecil.

"Duh... aing beneran takut lho ini." Keisya menatap sekitar. Teringat malam di mana Prabu hampir saja menembuskan peluru ke dahinya. "Kakek lu nggak suka maen tembak-tembakan, kan?"

Dipta seketika berhenti. Pertanyaan yang terlontar itu terdengar agak aneh. "Kok kamu nanyanya gitu?"

Keisya mendongak untuk melihat lebih jelas wajah Dipta yang berdiri menjulang di sampingnya. "Kali aje." kekehnya.

"Kakek saya nggak seburuk itu."

Keisya mengangguk lega. "Beda berarti sama Kakek aing yang buruknya nauzubillah."

"Memang kamu punya Kakek?"

"Eh?" Keisya baru ingat kalau Faisal melarangnya membicarakan Prabu pada siapapun. "Itu. Dia udah berpulang." pulang ke rumah maksudnya.

Entah reflek atau memang menginginkannya, Dipta mengerakan ujung jarinya untuk menyentil pelan dahi Keisya. "Seharusnya kalau Kakek kamu udah berpulang kamu doain, bukan malah bilang beliau buruk."

Keisya mengusap dahinya dengan bibir menggerucut.

"Ck, lu nggak tahu aja, Ta. Masa hidupnya dia tuh diabisin buat nakut-nakutin orang, tahu!"

Dipta mendengus. Kembali melanjutkan perjalanan dengan gadis keribo yang mengitilinya.

"Ada siapa aja ntar di dalem?" tanya Keisya.

"Nenek, Kakek, Tante, Saga. Tina."

"Ish... si Tina-Tina itu judesnya nauzubillah." Keisya teringat wanita berambut pendek yang membantu mendorongkan kursi roda nenek-nenek bernama Ratna. "Padahal gaweannya cuma tukang dorongin kursi roda doang, tapi gayanya udeh selangit aja tuh. Aing kemaren disinisin tuh sekamar sama itu orang. Kok betah sih nenek lu? Pecat aja, kalau aing jadi nenek lu udah aing pecat langsung."

"Nenek saya nggak serewel kamu." Dipta menyeringai tipis.

"Dih, kebaean nenek lu, mah." eluh Keisya. "Ntar gue pindah ajalah tidurnya sama Tante Raisa. Soalnya nenek lu banyak banget cerita sampe malem. Mata gue udah sepet, bisa-bisanya gue nangepin cerita masa mudanya." Keisya merapikan rambutnya. "Mana semaleman rambut aing kekuncir lagi."

"Katanya kamu nggak bisa tidur kalau rambutnya dikuncir?" Dipta melirik, entah mengapa ia suka melihat setiap kali Keisya mencoba merapikan rambut keribonya.

"Nggak enaklah, dudul. Gue takut Nenek lu bersin gara-gara rambut gue."

"Tante Raisa pulang duluan besok malam." Dipta berhenti, bersiap membuka pintu ruang rawat. "Jadi kamu bisa pakai kamar itu sendirian."

Keisya langsung tersenyum lebar. Senang sekali mendengarnya. "Gumawo."

"Tapi-" Dipta menjeda kalimatnya.

Sense Of Belonging (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang