BAB 11 AMERIKA PEREMPATAN MENTENG-KEDOYA

230 17 9
                                    

Keisya tertidur pulas setelah menyantap makanan yang disajikan awak pesawat. Dipta yang tak bisa tidur sejak awal berangkat. Matanya tak bisa berhenti melirik ke samping. Melihat Keisya terpejam dengan mulut terbuka. Rambutnya yang paling mencuri perhatian. Terlihat lucu atau memang agak 'kurang awam'.

Sejujurnya, belum ada debar ribut dibalik dadanya, tapi entah untuk alasan apa, gadis keribo itu bisa membuat suasana canggung menjadi terasa nyaman. Mungkin karena kepribadiannya yang riang dan terbuka.

Lalu, bagaimana setelah menikah nanti? Apa Keisya masih akan tetap mengejar cowok yang bernama Dewa itu? Dipta menghela napasnya dalam-dalam. Menyamankan lagi posisi duduknya. Menoleh, melihat rembulan malam yang mencolok ditengah gurita kegelapan. Tiba-tiba ia takut akan sesuatu yang belum pasti. Takut yang tak ingin ia akui. Andai saja... andai ibunya masih ada, akan ia ceritakan semua keresahan yang membelenggu raga. Ia belum pernah sebimbang ini.

Puluhan tahun berlalu. Tapi masih tergiang lekat di kepala bagaimana peristiwa hari itu.

"Kita tunggu sini dulu, ya. Mama nggak lihat sekretaris Papa. Kita tunggu dulu, mungkin dia di toilet."

"Kenapa kita nggak langsung masuk aja, Ma?"

"Mama takut di dalam ada tamu. Pesan Mama nggak dibalas sama Papa soalnya."

Dipta baru berusia sebelas tahun ketika itu. Tapi ia tumbuh dengan baik. Tinggi badannya sudah sejajar dengan bahu ayahnya. Ia bertumbuh lebih cepat dari anak seusianya. Wajah tampannya terwarisi dari Ratama Chandradinata-ayahnya.

"Mama coba lihat sebentar, Papa udah balas pesan kita atau belum." Adelia merogoh isi tas, mencari ponselnya.

"Aku ke toilet dulu sebentar. Boleh, Ma?" Dipta meminta izin.

Adelia berhenti mencari ponsel. Menatap sangsi anak laki-lakinya. "Kamu bisa sendiri ke toiletnya, Ta?"

Dipta mengangguk. Tersenyum tipis.

"Bener nggak takut?" tanya Adelia memastikan.

Anak laki-lakinya menggeleng pendek.

"Yaudah, tapi jangan lama-lama, ya. Mama tunggu sini."

Dipta bergegas. Melangkah seorang sendiri disepanjang koridor lantai direksi. Toilet itu terletak di samping pintu pantry. Ia melangkah lebih cepat saat berhasil menemukannya. Harusnya ia telah tiba, namun seseorang dengan setelan formal dan masker hitam tiba-tiba keluar dari pantry, sontak menghentikan langkahnya.

Dipta menatap balik bola mata yang menatapnya. Nampak asing, belum pernah pun ia jumpai sebelumnya. Pria berperawakan persis ayahnya itu tak bicara, hanya segera berlalu pergi dari sana.

Dipta menyoroti langkah-langkahnya hingga menghilang di ujung lorong.

Orang asing itu bukan bagian dari perusahaan milik Wisnu Reksandinata. Dipta yakin, ia mengenal semua anggota direksi. Kakeknya telah menyiapkannya sejak dini untuk kelak memimpin induk perusahaan. 

Tapi siapa orang itu? Apa hanya sekedar relasi bisnis yang hendak melakukan pertemuan bisnis semata?

Lebih dari dua puluh tahun waktu telah melebur cerita. Tapi, ia masih bertanya-tanya siapa sosok itu? Apa maksud kedatangannya di hari Ratama dan Adelia mengalami kecelakaan?

***

Seatlle, Washington.

Pukul 10:05

Keisya menguap lebar. Beberapa menit lalu, Dipta membangunkannya dengan paksa. Mereka telah tiba di bandara. Pria itu sibuk dengan barang bawaan. Mengambilnya dari mesin X-ray, lantas bergegas keluar untuk menghentikan taksi.

Sense Of Belonging (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang