Tak terpikirkan oleh Keisya akan semobil dengan pria yang tak ia sukai. Semakin tak ia sukai semenjak tahu searogan apa bapak-bapak bangkotan yang duduk di sebelahnya ini. Ia lirik pria itu sesekali, dan bibirnya langsung tahu harus melakukan apa. Menggerucut satu senti.
Sepanjang jalan seperti diantar oleh candi bernapas. Dipta tidak bicara. Tangannya yang berurat itu hanya sibuk memegang setir. Sesekali menganti posisi prasneling. Selebihnya, pria itu seperti orang tunabicara. Sungguh, tidak ada asyik-asyiknya bila menikah dengan pria seperti ini.
Ck, Prabu kampret! Lihat saja, tunggu pembalasan darinya. Keisya mendengus.
"Nanti turun di depan aja. Situ nggak usah ikut masuk-masuk segala." ia mengalah. Bicara lebih dulu.
"Saya ikut masuk. Ayah kamu bilang, beliau minta saya laporkan kegiatan kamu selama di rumah sakit."
Haduh... si Faisal itu mengapa menyebalkan sekali sih kelakuannya?! Keisya merutuki ayahnya dalam hati.
"Ngapainlah ikut-ikut. Ntar Dewa salah paham lagi. Aing nggak mau, lho!"
Dipta menghela napas. Itu bukan urusannya. Masa bodo.
"Nggak usah nurut-nurutlah sama bapak aing deh, udah situ kerja, kerja aja sana. Aing bisa sendiri kok." Keisya bersedekap. Menatap sebal jalanan di depan mata. Dan, jawaban pria di sampingnya benar-benar menarik lepas urat kesabarannya.
"Nggak bisa. Saya harus ikut."
Batu amat ini orang, nih. Lahirnya dipinggir kali pasti nih!
Keisya memperbaiki posisi duduknya selepas mobil yang Dipta kemudikan berbelok ke sisi kiri, memasuki area rumah sakit. Mengantri di belakang mobil lain yang berhenti sejenak.
"Kenapa kamu tiba-tiba menyetujui perjodohan kita, Keisya?" Dipta bertanya sambil melaju perlahan di belakang mobil yang juga menuju parkiran bawah tanah.
"Disuruh bapak aing, kan."
Dipta mengatur jarak antar mobil. Melewati turunan curam. "Kamu bisa bujuk ayah kamu untuk menolak. Ayah kamu terlihat pengertian. Kalau kamu bisa mengambil hatinya, perjodohan kita mungkin bisa benar-benar batal."
Keisya menatap keluar jendela. Tak akan pernah semudah itu. Sebaik apapun seorang Faisal, ada Prabu yang terus menjadi bayangannya.
"Mungkin emang jalannya kaya gini. Mau gimana lagi."
Dipta mengangguk setuju.
"Kakek situ gimana kabarnya?" Keisya lebih dulu melepas sabuk di kursi.
"Dia merasa baik-baik aja, tapi dokter harus melakukan operasi karena pembuluh darahnya pecah. Darah tingginya sempat kambuh waktu itu." Dipta menatap spion, memundurkan mobil perlahan hingga merapat ke sisi dinding.
"Siapa yang tahu soal Kakek situ sakit?"
"Eh?" Dipta ikut melepas sabuk. "Itu. Itu sebenarnya rahasia. Kakek saya nggak pernah mengizinkan kami memberitahu soal kondisinya ke siapapun."
Keisya mengangguk. Ia tahu itu. Dalam dunia bisnis, kabar tentang kesehatan seorang penguasa bisa menjadi senjata bagi lawannya. Prabu juga seperti itu. Pria tua itu sebenarnya memiliki riwayat sakit jantung. Pernah ia cangkok jantung lima tahun lalu, tapi itu pun rahasia. Tidak ada yang boleh mengetahuinya.
"Turun nggak?" Dipta menegur.
Keisya mengerjap, menganggukkan kepala.
Mereka turun dari mobil bersamaan. Keisya merogoh isi tasnya, mencari kunciran. Sebenarnya ia tak suka dikuncir, itu akan membuat bentuk rambutnya jadi terlihat lebih aneh. Biasaya hanya disaat-saat tertentu ia akan menguncir rapi rambutnya. Seperti saat ini, bertemu ibu dari cowok idamannya. Ia harus memberikan Ibu Dewa kesan terbaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense Of Belonging (TAMAT)
Romansa(Adult Area 21+) (Karya 3) Namanya Keisya Wilhena. Usianya hampir 22 tahun alias sebentar lagi ia akan menjadi seorang sarjana. Hidupnya seperti anak muda pada umumnya. Kuliah--nongki-nongki bareng sahabat--ngereong tugas-tugas puisi bersama-sama. I...