Area parkir di depan kampus pagi itu dipenuhi dengan kendaraan roda-empat yang saling bersisian. Pukul sembilan lewat sepuluh pagi, matahari telah berada di posisi tertingginya, menyirami jalanan yang basah selepas diguyur hujan.
Dipta mencari parkiran kosong, dalam hati terus merutuki selera kakeknya. Bisa-bisanya ia dijodohkan dengan anak kuliahan. Mau jadi apa pernikahannya nanti? Yang ada bukan menjadi suami, ia justru terlihat seperti om-om yang mengasuh keponakannya sendiri. Astaga.
Tapi bila tidak dituruti, Raisa pasti akan terus punya alasan untuk memojokkan Kiyara. Kasihan wanita itu, baru kehilangan anak dalam kandungannya, lalu dituntut hamil lagi. Tapi bila dipikir-pikir, bila bocah ingusan itu menyetujui perjodohan ini maka mau tidak mau ia harus segera hamil agar Wisnu bisa mencapai tujuannya. Bagaimana dengan kuliahnya? Bagaimana bila gadis itu menolak hamil? Dipta memutar setir, menemukan posisi parkir. Pikirannya tengah penuh, dan sialannya bocah ingusan itu tak sama sekali mau membalas pesannya.
Belum apa-apa urusan ini sudah terlihat begitu menyebalkan.
Ia menghela napas setelah memastikan mesin mobilnya berhenti menderu. Urung turun. Menatap sejenak gedung perkuliahan di depan mata. Keisya Wilhena--namanya. Putri dari Faisal Wijaksono, pimpinan perusahaan pengangkutan. Rexbien. Usianya dua puluh satu tahun--sebentar lagi dua puluh dua tahun. Semakin muda semakin besar peluangnya untuk memiliki banyak anak. Wisnu memang sungguh luar biasa pemikirannya. Menjadikan cucunya sendiri peternak manusia. Gadis ingusan itu pasti kerjaannya hanya keluyuran tidak jelas. Bagaimana bila nanti harus disuruh mengurus banyak anak? Memangnya mau?
Dipta mengembuskan napas. Baiklah. Bila memang harus terjadi maka terjadilah.
***
Hanya kantin tempat yang cocok untuk membicarakan satu dua hal mengenai perjodohan absurd mereka. Dan, Dipta rasa itu pilihan yang tepat. Ia menoleh sekitar sambil berjalan-jalan--mencari kantin. Terbiasa diperhatikan oleh orang-orang sekitar. Ia tak merasa aneh bila ada beberapa mahasiswa perempuan berlalu lalang sambil curi-curi pandang ke arahnya.
Tapi di mana gadis ingusan itu?
Merogoh ponsel dalam saku celana, Dipta sadar ia hanya akan membuang-buang waktu bila terus menebak di mana kelas Keisya. Lebih baik langsung menghubunginya karena bila dikirim pesan gadis itu pasti akan kembali mengabaikannya. Ngomong-ngomong wajahnya seperti apa juga belum tahu. Profil gadis itu hanya quote galau. Isinya kurang lebih seperti ini.
Iya, kamu prioritas saya, tapi saya bukan prioritas kamu. Bukan kamu yang kasih harapan, tapi saya yang terlalu berharap. Jika bisa, saya lepas genggaman tanganmu. Kamu tahu? Bukan tangan saya yang menggenggam, tapi hati saya. Kalau hati saya bilang kamu ya kamu. Tapi kenapa kita tidak bisa bersama-
Kurang lebih begitulah. Sudah terbayang sekanak-kanakan apa gadis bernama Keisya ini.
"Kalau nggak diangkat, awas aja." Dipta menggerutu dengan telepon menempel di telinganya.
Ketika suara penghubung itu terhenti, suara cempreng seketika menebus gendang telinga. Dipta terlonjak kaget.
"Hallo?! sape, nih?!"
Dipta mengelus dada. Berdiri di di depan ruangan. Entah ruangan apa. "Saya Dipta. Dan saya lagi ada di kampus kamu sekarang."
"Hah?! Situ di kampus ane?! Bujuk buset, ngapain ente kemari?!"
Astaga... Ini anak ingusan pakai bahasa apa sih? Dipta mengusap wajah. Ia ada diambang frustasi.
"Hallo?! Bapaknye Munaroh?!"
Wisnu benar-benar salah alamat saat memilihkan jodoh.
Dipta menghela napas sebelum kembali bicara.
"Saya mau ketemu sama kamu hari ini, Keisya. Kakek saya minta saya ketemu sama kamu, untuk-" ia menoleh sekitar. Takut-takut ada yang dengar. "Untuk kenalan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense Of Belonging (TAMAT)
Romantiek(Adult Area 21+) (Karya 3) Namanya Keisya Wilhena. Usianya hampir 22 tahun alias sebentar lagi ia akan menjadi seorang sarjana. Hidupnya seperti anak muda pada umumnya. Kuliah--nongki-nongki bareng sahabat--ngereong tugas-tugas puisi bersama-sama. I...