Dipta berfirasat buruk. Tepatnya sejak kemarin firasatnya berkata demikian. Ternyata karena Wisnu yang tiba-tiba kambuh penyakitnya.
Bersama Saga, dia percepat langkahnya menuju kamar rawat yang telah diinfokan oleh Kiyara satu jam lalu.
Wisnu hanya pingsan.
Kabar itu diberitahukan setelah mereka tiba di kamar ruang rawat. Tapi wajah tua yang terbaring di atas ranjang itu terlihat keruh, antara sedang merasa sedih atau marah. Entahlah. Apa yang telah terjadi?
Saga menyikut lengan ke Ibunya. Dengan raut muka bertanya, apa yang terjadi? Raisa mengangkat bahu, sebagai jawaban.
Dipta yang juga berdiri di dekat ranjang ikut terdiam--- tepatnya bingung, bertanya-tanya dalam hati, mengapa wajah kakeknya terlhat muram. Jika saja kalian tahu, Wisnu dalam mood diam seperti ini, berarti mengindikasikan ada hal besar yang baru saja terjadi. Masalah yang 'mengusik' kehidupan kakek tua itu. Entah berkaitan dengan bisnisnya atau masalah pribadi.
"Istri aku mana, Ma?" Saga bertanya lagi dengan suara pelan.
Raisa kembali mengangkat bahunya.
Saga menghela napas pelan.
Sejenak, kamar rawat dengan fasilitas terbaik itu terasa begitu sunyi. Hanya terdengar suara pewangi ruangan yang setiap lima menit sekali berhembus, mengharumkan kamar. Selebihnya, tidak ada yang berani bicara. Semua diam menunggu yang tertua di antara mereka mengeluarkan suara.
"Raisa," Wisnu akhirnya memutus kesunyian.
Dipta mengerutkan dahi. Mengapa suara itu terdengar sangat serak. Seperti orang habis menangis.
"Iya, Pa," Raisa mengangguk.
"Benarkah yang aku saksikan tadi?"
Raisa diam sejenak. Anak laki-lakinya yang berdiri di sampingnya, menoleh lagi ke arahnya--- ingin meminta kejelasan. Begitu pun keponakannya--- di sebrang ranjang, juga menatapnya, menunggunya bicara.
"Iya, Pa." ia mengangguk pelan.
Wisnu menarik napas dalam-dalam. Usia ternyata telah merenggut nyaris seluruh daya tubuhnya. Dalam situasi ini, ia merasa payah. Hanya sanggup terdiam, ditemani kenangan pahit yang berkelebat dalam ingatan.
Mengapa semua ini terjadi? Apa kesalahan besar yang ia buat selama ini? Mengapa harus Ratama, anak laki-lakinya? Kekayaan ini... sungguh tidak ada harganya.
"Raisa, anakku satu-satunya," kakek tua itu kembali bicara. "Apa aku sudah menjadi ayah yang baik untukmu selama ini?"
Raisa mengangguk. "Papa, ayah terbaik yang aku miliki."
Jawaban itu membuat Wisnu berakhir menumpahkan air mata--- Dipta termangu melihatnya, juga Raisa dan Saga. Menangis bukanlah sesuatu yang lazim Wisnu tunjukkan di depan siapa pun. Jika ada seseorang yang menemukan seorang Wisnu menangis, maka orang itu tidak lain hanya Ratna.
Tapi lihatlah, kakek tua ini meneteskan air matanya pagi ini, jatuh di atas bantal tidurnya.
Dipta mengembuskan napas perlahan. Firasatnya masih buruk. Peristiwa apa yang sebenarnya telah terjadi hari ini?
"Apakah.... Ratama juga demikian, Raisa? Apa dia menganggapku sebagai ayah yang baik?"
Raisa kembali mengangguk. "Ka Tama sayang sekali sama Papa."
Wisnu menatap langit-langit kamar rawat. "Lantas, mengapa dia pergi karena kesalahanku?"
Raisa menatap ke arah Dipta yang sedang bingung menatap wajah Wisnu. Dipta dalam posisi belum mampu membaca arah percakapan mereka.
![](https://img.wattpad.com/cover/360159226-288-k574752.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense Of Belonging (TAMAT)
Storie d'amore(Adult Area 21+) (Karya 3) Namanya Keisya Wilhena. Usianya hampir 22 tahun alias sebentar lagi ia akan menjadi seorang sarjana. Hidupnya seperti anak muda pada umumnya. Kuliah--nongki-nongki bareng sahabat--ngereong tugas-tugas puisi bersama-sama. I...