BAB 38 JANGAN SEPERTI INI (21+)

553 22 11
                                    

Apa yang ditakdirkan untukmu, maka tidak akan pernah menjadi milik orang lain. Apa yang digariskan bagimu, tidak akan ada satu pun orang yang sanggup membengkokkannya. Karena selamanya, takdir adalah murni kehendak Tuhan.

Di tengah suasana duka. Ikrar janji itu terucap dengan lantang. Seolah tidak ada keraguan yang tersemat sepanjang penggalan kata yang terucap. Dengan satu tarikan napas, janji itu resmi menyatu bersama raga.

Tapi, Keisya merasa ada sesuatu yang membingungkan. Sejak sepulangnya Dipta dari kediaman Natalia, pria itu tidak menjumpainya. Juga tidak sekali pun menyapanya. Terkesan menghindar, seolah pria itu tidak melihat siapa-siapa. Namun, saat tadi ikrar itu dijulurkan, Dipta menyambutnya dengan mantap. Tidak ada keraguan yang nampak dari wajahnya. Keisya tidak tahu, namun hatinya berharap, bila ketakutannya tidak akan pernah menjadi nyata.

Pernikahannya bersama pria itu akan berjalan baik-baik saja.

Di depan cermin meja rias, ia mulai melepas satu per satu anting. Lima menit berlalu, pria yang menyandang status suaminya itu akhirnya menyusul ke kamar. Masih sama seperti tadi, tidak mau melihatnya.

Keisya mengembuskan napas. Berusaha tidak mengambil hati. 

"Teman-teman kamu udah pulang?"

Akhirnya, manusia es itu bicara juga.

"Udah. Kan lu lihat sendiri tadi." ia menjawabnya sambil menghapus make up dengan selembar tisu wajah.

"Aku suami kamu, Keisya. Yang sopan." Dipta menutup pintu lemari pakaian--- setelah mengambil satu setelan rumah.

"Biasanya lu nggak protes."

Dipta berdecak pelan. Sungguh, dalam hatinya saat ini sedang terjadi perlawanan besar akan gejolak perasaan yang mengumpal. Satu sisi ia merasa muak. Namun di sisi lain, ada rasa sayang yang sulit ia sampaikan.

"Lu lagi kenapa sih, Ta?" Keisya tidak lagi tahan bertanya. Sejak tadi, sikap pria itu menganggunya. "Lu lagi nggak mood eh sama gue?"

"Biasa aja." Dipta melepas sabuk di pinggang, terhenti--- terpikir akan sesuatu.

"Serius, Ta. Lu judes banget sama gue dari tadi tahu nggak." Keisya terus bicara meski pria di depan matanya itu terus sibuk sendiri. "Maksud gue balik dari rumah gue, lu jadi berubah dingin gini sama gue."

"Perasaan kamu aja mungkin." pria itu tidak sungkan melepas seluruh pakaian. Menyisakan selembar celana dalam. "Aku mandi dulu. Setelah itu, kamu layani aku."

Keisya termangu.

Layani?

Tidak bisakah pria itu menggunakan kalimat yang lebih manusiawi.

"Gue rasa ada yang lu tutupin dari gue."

Dipta memungut kemeja dan celananya di lantai. "Jangan berlebihan, Keisya. Kita nggak lagi main drama."

Keisya menatap punggung yang sekarang menjauh darinya.

"Kalau lagi ada apa-apa itu bilang, Ta." ia berhasil menghentikan langkah itu tepat di bingkai pintu kamar mandi. "Lu pasti tahu, kita sekarang itu suami-istri. Jadi, ayok hadapin semua masalahnya sama-sama."

Dipta tersenyum getir.

"Tumben kamu dewasa." kepalanya menoleh ke belakang.

"Gue bisa belajar dewasa kalau emang itu mau lu."

Dipta mengangguk.

"Mulai dari hapus sebutan itu, Keisya. Karena kamu terdengar sangat nggak sopan."

Keisya termangu sekali lagi hingga punggung lebar itu lenyap di balik pintu.

Sense Of Belonging (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang