Pagi ini sinar mentari menembus lembut jendela. Meraba hangat wajah seseorang yang terlelap di atas ranjang. Entah sudah pukul berapa, saat matanya mengerjap-ngerjap, tercium aroma masakan yang membuat perutnya lapar.
Dipta mengerung pelan. Mengusap wajahnya yang mengantuk. Mengumpulkan kembali kesadarannya. Menekuk leher, melakukan sedikit peregangan.
Pagi ini, apa saja agendanya?
Keisya tidak ada. Sisi sampingnya telah kosong. Teringat percintaan hangat mereka semalam, senyum bahagia merekah di wajahnya. Keisya, so damn. Hebat sekali semalam, membuat mereka sama-sama kewalahan.
Tapi di mana gadis itu?
Dipta menyibak selimut, menyeringai saat menatap tubuhnya yang tanpa busana. Ia harus segera mengambil kaos di lemari sebelum mendekati sumber aroma yang menggiurkan itu--- ia tahu siapa yang ada di sana.
"Kamu masak apa?" ia berjalan mendekat sambil memakai kaos.
Keisya menoleh, menjawab. "Bikin sop ayam buat lu- Eh, kamu."
Dipta menyeringai. Selalu lucu mendengar bocah satu ini kesulitan menganti sebutan panggilan mereka. Ia mendekat, menengok isi panci. Wajahnya terlihat ramah demi mencium aromanya.
"Kamu nggak mandi? Telat lho nanti."
Dipta menarik kursi makan, duduk. "Aku bosnya. Jadi, suka-suka aku."
Ia tadi empat mengambil tablet di meja. Ingin memeriksa agenda kerjanya pagi ini. Enak saja, meski jabatannya cukup tinggi di perusahaan, tapi tetap saja ia tidak bisa bersikap semau-maunya, atau Wisnu akan mengomel sepanjang hari. Jawaban tadi hanya gurauan saja.
"Maaf ya, Ta. Gue baru bisa bikin sop ayam. Besok-besok gue belajar masak yang lain, deh."
Dipta mengangguk, sambil membaca satu per satu agenda kerjanya hari ini. Mencari waktu luang, agar siang nanti ia bisa pulang, mengajak wanita yang membuatkannya sarapan pagi ini bercinta lagi seperti semalam.
"Dipta," Keisya mengecilkan suhu kompor, sebelum ikut duduk.
"Iya?"
"Malam itu," sejenak, ia mengumpulkan keberanian menanyakannya. "Lu bilang lu sayang. Itu sayang buat siapa, Ta?"
Dipta melirik. Menyadari wajah itu sedikit pucat, separuh hati ia berusaha tidak peduli.
"Kenapa memangnya?"
Keisya menyeka dahi. "Nanya aja gue."
"Bukannya udah jelas untuk siapa?"
Keisya menggeleng. Itu belum jelas baginya.
"Shintya bilang sama lu, dia sayang sama lu, terus lu juga bilang lu sayang sama dia, tapi mata lu ke gue. Jadi gue bingung sebenarnya sayang lu buat siapa."
"Kamu sadar lagi GR sekarang? Terlalu percaya diri."
Keisya seketika menatap pedih. Itu kalimat menusuk sekali di hatinya.
"Untuk apa bertanya sesuatu yang udah kamu tahu jawabannya."
"Ya Allah, Ta." seru Keisya sedih. "Kenapa sih lu ketus banget sama gue belakangan ini? Lu nggak harusnya tega bicara gitu ke istri lu sendiri. Hargain sedikit gue."
Dipta mengetuk-ngetuk layar tablet, pura-pura sibuk.
Keisya menghela napas.
Lima menit berlalu hanya kesenyapan yang menaungi mereka. Keisya memilih tidak melanjutkan pertengkaran kecil yang ada. Hingga Dipta penasaran, melirik sekali lagi. Jika menuruti egonya, ia sudah seharusnya tidak peduli, tapi saat wanita yang duduk di dekatnya itu mendadak lemas, seketika ia beranjak dari kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense Of Belonging (TAMAT)
Romansa(Adult Area 21+) (Karya 3) Namanya Keisya Wilhena. Usianya hampir 22 tahun alias sebentar lagi ia akan menjadi seorang sarjana. Hidupnya seperti anak muda pada umumnya. Kuliah--nongki-nongki bareng sahabat--ngereong tugas-tugas puisi bersama-sama. I...