BAB 37 SUNGGUH?

208 18 7
                                    

Perayaan pernikahan itu pada akhirnya batal. Namun meski demikian, sesi pentingnya tetap berjalan sesuai rencana awal. Keisya berada di antara dua rasa. Rasa bahagia dan kesedihan. Mengingat Faisal tidak ikut serta mengambil bagian penting di hari pernikahannya besok pagi.

Ia berdiri di halaman belakang rumah. Mendongak. Menatap bulan sabit di balik awan. Ayahnya ada di atas sana. Sedang melihatnya.

Apa Ayah bahagia di sana? Bersama Ibu.

"Keisya,"

Keisya buru-buru mengelap pipi yang basah. Balik badan. Menemukan nenek Ratna mendekat, dengan bantuan dari pengasuh di belakang kursi rodanya.

"Dipta belum pulang, Keisya?"

Ia menggeleng. "Dipta belum pulang, Nenek Ratna."

Ratna mengembuskan napas. Raut wajah tuanya menyiratkan kecemasan. "Harusnya dia tidak kemana-mana."

Dipta memang terpaksa ke rumah Natalia untuk meminta surat kematian Faisal. Besok, wali pernikahan itu harus diwakilkan oleh wali hakim.

"Maaf, Nek. Harusnya aku yang pulang."

Ratna menatap lembut calon istri cucunya. Tersenyum.

"Tidak. Kamu memang sudah seharusnya tidak pulang ke sana lagi. Kita doakan saja, semoga Dipta segera pulang."

Keisya mengangguk.

"Kamu sudah siap, Keisya?" Ratna bertanya lagi. Pertanyaan yang buat wanita di belakang kursi rodanya jengkel. Tina sedang patah hati. Pujaan hatinya besok resmi jadi milik orang lain.

"Keisya sebenarnya deg deg kan, Nek." Keisya menarik kursi. Duduk di sana. "Tapi kata Dipta jangan dipikirin."

"Kamu akan jadi bagian dari keluarga ini. Semoga kelak, kamu bisa menerima kami semua. Meski apa yang kami berikan tidak bisa sebesar kasih sayang ayah kamu, tapi kami semua di sini dengan tulus menerima kamu menjadi anggota keluarga kami."

Keisya tersenyum. Sekilas melihat Tina yang melengos.

"Makasih, ya, Nenek Ratna."

Rumah besar itu mulai disibukkan dengan berbagai aktivitas. Beberapa pekerja sibuk hilir-mudik, meletakkan satu per satu properti dekorasi untuk kelengkapan pernikahan besok pagi. Beberapa menit mengobrol di halaman belakang, Keisya kembali masuk ke kamar Dipta. Menyiapkan segala keperluannya sebagai mempelai wanita. Sedang, pria itu tidak akan muluk-muluk. Hanya memakai kemeja dan jas seperti biasa. Mungkin yang agak menyebalkan adalah mengiyakan saat wajahnya harus ditaburi bedak beraroma. Dan, itu yang Dipta keluhkan sejak awal rencana pernikahan mereka. Pria itu tidak suka didandani, apalagi diberi polesan lipstick. Wajahnya langsung masam.

"Ada telepon, Mbak."

Keisya yang sedang melihat-lihat perlengkapan makeup di meja rias menoleh. Salah satu asisten rumah menyerahkan telepon genggam yang bergetar di atas tempat tidur.

"Makasih ya, Bu." ia menerimanya.

Asisten rumah itu mengangguk. Bergegas melanjutkan lagi tugasnya menyiapkan keperluan pernikahan.

"Ya, kenapa, Tar?" Keisya duduk di kursi.

"Lu gimana sekarang keadaannya, Kibouw?"

"Sedih, Tar." Keisya menatap pantulan wajahnya yang sembab. Menghela napas. "Rasanya... gue masih nggak percaya."

"Apa pun keadaanya, lu tetap punya kita-kita, Bouw. Inget itu. Gue dan anak-anak yang lain setia nunggu lu bangkit lagi pokoknya. Lu pasti bisa ceria setelah ini. Kita percaya lu bakal bahagia lagi."

Sense Of Belonging (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang