"Gue pinjem buku lu, Sil." Tara menjulurkan tangan, tanpa mengalihkan matanya dari lembaran kertas di atas lantai.
Pricilla meletakkan buku di atas telapak tangan Tara, juga tanpa mengalihkan matanya dari lembaran kertas miliknya sendiri. "Eh, buku lu yang itu dong, yang mana itu dari penulis Jepang itu."
Tara segera mengambilkannya. Sibuk lagi memperbaiki kesalahan yang ditandai oleh dosen pembimbing mereka.
Nada, ia sibuk mengetik di atas meja belajarnya. Sudah loncat satu bab lebih dulu dari tiga sahabatnya yang lain. Sedang Keisya, ia tetap duduk dengan wajah tanpa minat. Tidak mengerjakan apa-apa. Skripsi tidak, mengetik juga tidak. Hanya duduk, menatap kosong.
Ternyata menikah tidak seindah novel fiksi. Tidak juga semanis Silverqueen. Lebih banyak jeruknya--- kecut.
Sikap Dipta berubah. Tidak seperti sebelum menikah. Pria itu bukan hanya kata-katanya saja yang keluar dari mulutnya yang menyakitkan, pria itu juga menjaga jarak. Tidak mau mendekat, tapi tidak mau terlalu jauh. Kadang bisa tersenyum, tapi tetap lebih banyak terlipatnya. Kadang tertawa, tapi sekejap setelahnya datar lagi.
Apa yang telah terjadi sampai pria itu bisa berubah seperti ini. Setelah bertemu Valencia, Dipta mendadak berubah.
"Lu nggak ngerjain, Kei?" Tara mengangkat kepalanya dari kertas skripsi di atas lantai.
Keisya menggeleng. Wajahnya terlipat.
Pricilla ikut berhenti mengerjakan skripsi. Menatap sedih sahabatnya yang banyak diam belakangan ini. Nada, yang duduk di kursi belajar menoleh, prihatin melihat Keisya yang tidak seceria biasanya.
"Lu masih ada kita-kita, wey." Tara bicara lagi. "Ayah lo biar nemenin ibu lo di sana. Lu sama kita di sini."
Keisya masih diam. Menatap lantai kamar Nada.
"Ada Dipta juga. Suami anteng." Pricilla mencoba menghibur.
Seharusnya Dipta yang mengatakan 'akan selalu ada', tapi ia justru tidak pernah mau membahas tentang kepergiaan Faisal. Diajak berdoa bersama, berziarah, Dipta bahkan menolak terang-terangan. Pria itu tiba-tiba marah, minggat ke rumah tetangga.
Bahkan lebih parahnya lagi, dua hari lalu, pria itu dengan tanpa hatinya membawa Shintya masuk ke apartemen. Membiarkan perempuan manja itu menonton film bersamanya sampai larut malam, tidak peduli wajah istrinya yang merah padam, Dipta tidak merasa bersalah akan sikapnya.
"Keisya!" tegur Tara yang sejak tadi memperhatikan.
Keisya menatap Tara. Lamunanya akhirnya terputus.
"Gue lagi kacau banget."
Pricilla beranjak mendekat, memberikan pelukan. "We are here, okay. you are not alone."
Tara mengangguk. Nada menghela napas, mematikan laptopnya setelah menyimpan hasil tugas. Berdiri dari kursi, ikut bergabung duduk di lantai.
"Kita semua tata ulang lagi hidup kita sama-sama. Kita masih muda. Lu juga, Kei. Matahari masih terbit, lu nggak boleh putus semangat gini."
Pricilla mengangguk setuju, begitu juga Nada yang duduk di samping Keisya. Memeluknya dari samping.
"Gue lagi bingung," Keisya bicara dengan suara bergetar. Separuh hati ia ingin menyesali keputusannya menikah.
Teringat momen terakhirnya bersama ayah. Ia tidak bisa menahan tangisnya karena rasa bersalah yang begitu besar. Ayahnya pergi setelah melepaskan rasa kecewa, ia belum mencium kakinya untuk meminta maaf.
"Gue kangen sama ayah gue." dia terisak. Tidak sanggup menahan air matanya lagi. "Gue kangen banget sama ayah gue...."
Kamar itu lengang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense Of Belonging (TAMAT)
Romance(Adult Area 21+) (Karya 3) Namanya Keisya Wilhena. Usianya hampir 22 tahun alias sebentar lagi ia akan menjadi seorang sarjana. Hidupnya seperti anak muda pada umumnya. Kuliah--nongki-nongki bareng sahabat--ngereong tugas-tugas puisi bersama-sama. I...