BAB 44 MEREKA?

288 30 3
                                    

Menekuni kesibukan itu bukan berarti seseorang benar-benar sibuk. Sebagian sengaja menjadikannya sebagai obat memulihkan kesepian, atau sekedar menjadikannya pelarian dari riuhnya isi kepala yang menuntut untuk diselesaikan.

Sejak pagi hingga malam, memeriksa berkas pekerjaan membuat Dipta semakin muak. Berulang kali mengusap-usap dahinya, menghela napas.

Sejujurnya, kepalanya sedang melalang buana sekarang. Bukan kepada pekerjaan,  melainkan seseorang yang entah berada di mana. Tidak membalas pesannya sejak sore tadi.

"Permisi, Pak."

Ia mengangkat wajahnya dari berkas di atas meja, menatap ke arah pintu. Mengangguk, mempersilakan sekretaris baru itu masuk, berdiri di sebrang meja.

"Di luar ada tamu, Pak. Ingin bertemu Bapak." sekretaris itu menyampaikan maksud kedatangannya.

"Siapa?" Dipta memperbaiki posisi duduk.

"Yang bersangkutan bilang someone special Bapak."

Dipta menggedikan kepala. Someone special? Matanya menatap ke arah pintu. Sejenak memikirkan siapa yang berani-beraninya menganggapnya seperti itu? Tidak mungkin Keisya, kan?

"Dia bisa naik ke sini?" Bukan apa-apa. Tidak sembarang orang bisa menginjakkan kaki di lantai direksi perusahaan Wisnu Reksadinata.

"Iya, Pak." sekretaris itu lantas mengangguk. "Yang bersangkutan tadi bilang dia katanya pakai kartu akses khusus. Kulitnya putih, rambutnya panjang, terus cerewet banget, Pak."

Dahi Dipta berkerut.

"Pakai baju ala-ala artis Korea?" ia menambahkan ciri-cirinya.

"Betul, Pak!" sekretaris membenarkannya segera. "Pakai rok di atas lutut warna pink, atasnya biru muda, tasnya hijau muda, dan pakai jepit rambut."

Astaga. Dipta mengusap wajah. Ia jelas tahu siapa itu.

Tebakannya menjadi nyata setelah pintu ruangan terbuka. Seseorang masuk dengan wajahnya yang terlipat.

Dipta mengembuskan napas kesal. Jika sudah begini, ia bisa apa lagi.

"Ka Dipta...," Shintya langsung berlarian ke tengah ruangan. "Ka ,Dipta! Lama banget aku nunggu di luar dari tadi, Ka!"

Sekretaris yang berdiri di dekat meja itu mengernyit bingung. Sedang bosnya menyandarkan punggung ke kursi, menatap sebal tamu yang asal nyelonong masuk ke dalam ruangannya.

"Ini, nih, dia nih nggak becus kerja, nih!" Shintya menunjuk perempuan di dekatnya. "Ngapain aja sih kamu kerjaannya? Lama banget kamu ngobrol sama Ka Dipta! Orang masuk aja dihalang-halangin. Dulu sebelum kamu itu orangnya nggak seribet kamu tahu nggak?! Aku suruh ntar Ka Dipta potong gaji kamu. Mau kamu?!"

Dipta buru-buru menyingkirkan berkas di atas meja setelah melihat adik Devan itu membawa cup minuman besar di tangan. Takut-takut tumpah, ribet lagi urusannya.

"Pecat aja, nih!" Shintya semakin berseru, wanita di dekatnya ini tidak juga menimpali ancamannya. "Ngeselin banget, nih!"

"Kamu keluar aja sekarang, gapapa." Dipta bicara ke sekretarisnya yang terlihat takut.

Sekretaris itu menatapnya. Lantas menatap perempuan cerewet yang berdiri di dekatnya.

"Sana keluar deh kamu, sebelum Ka Dipta pecat!" Shintya menimpali.

Sekretaris yang baru masuk kerja beberapa minggu itu segera mengangguk. Buru-buru kembali ke mejanya di luar ruangan.

"Masa nyuruh aku nunggu lama banget dia. Orang tinggal masuk aja, kok dibikin ribet!" Shintya bergumam kesal.

Sense Of Belonging (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang