BAB 19 PAHLAWAN KEMALAMAN

256 20 7
                                    

"Titip salam untuk Om Galang, Sa."

Dipta mengatakannya setelah mobil yang ia kemudikan berhenti persis di depan terminal keberangkatan bandara. Malam ini, sepupunya terbang ke Australia karena mendengar kabar duka.

"Oke. Nanti aku sampein." Saga memutar sedikit punggungnya ke kursi belakang, mengambil ransel.

"Sampai kapan kamu di sana?"

"Palingan dua hari." ia mengeluarkan sejenak paspor dan dompet dari saku bagian depan. "Kerjaan aku masih banyak di sini."

"Soal Sarah, gimana?"

"Kenapa dia?"

"Sekretarisku kan mengundurkan diri. Kalau Sarah bantu kamu, terus aku gimana?" tanya Dipta.

"Aku udah cocok sama Sarah. Soal bawahan Mas, nanti minta HRD aja untuk hire orang lain."

Dipta mengusap tengkuknya. Sebenarnya ia agak keberatan. Mengingat dirinya bukan tipekal orang yang mudah bekerja sama dengan orang baru. Tapi, ya sudahlah.

"Oke." tapi pada akhirnya ia harus setuju.

"Aku jalan dulu ya, Mas." Saga melihat arloji di pergelangan tangan. "Titip direktur kita, ya. Kalau dia rewel kasih tahu aku."

Dipta tersenyum kecil. "Iya. Safe flight, ya."

Saga mengangguk. Bergegas membuka pintu mobil. Dipta menunggu sejenak sampai sepupunya benar-benar masuk ke area keberangkatan pesawat. Berbaur di tengah kerumunan para calon penumpang.

Ngomong-ngomong, ini masih pukul delapan malam. Bila langsung pulang ke rumah sepertinya bukan pilihan yang tepat. Di sana tidak ada hiburan yang menarik. Dipta mengetukkan jemarinya di atas setir sambil memikirkan beberapa opsi alternatif. Apa ya kira-kira? Mengunjungi Keisya? Tapi bocah cerewet itu pasti belum sampai di rumah. Malam ini jadwalnya sibuk bekerja di cafe.

"Cafe?" Dipta menyeringai.

Sepertinya ia punya alternatif lebih menarik malam ini.

Melihat langsung gadis keribo itu melakukan tugasnya sebagai seorang pelayan cafe.

Asik juga.

Bergegas, ia naikan posisi prasneling. Melesat lagi di jalanan lengang menuju pusat kota.

***

Keisya menyeka keningnya. Berkali-kali ia telah bolak-balik melayani pengunjung cafe sejak sore tadi. Kawannya di sana ada tujuh. Dan mereka semua tak kalah sibuk mengerjakan tugasnya masing-masing.

Ini akhir pekan.

Tentu saja waktu yang tepat melepas penat dari rutinitas harian. Menikmati malam sambil mengobrol bersama teman-teman adalah hal sederhana yang paling menyenangkan.

Teman, ya?

Ngomong-ngomong teman, apa kabar Dewa?

Cowok itu juga tak kalah sibuknya, lho. Hilir mudik membawa nampan ke meja-meja pengunjung. Tersenyum formal setiap meletakkan gelas dan piring pesanan. Semuanya nampak berjalan seperti biasa.

Tapi, bagaimana dengan asmara? Soal itu Keisya akui, perlahan-lahan perasaannyamulai mengikis. Bukan karena ia tak setia atau mendua, tapi prasangka buruknya telah membuatnya sampai pada titik di mana ia sadar bahwa ia tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nada.

Dari berbagai segi, Nada jelas lebih unggul darinya. Nada memang terlihat lebih pantas bersama Dewa.

Nada memang lebih cocok bersama Dewa. Keisya menatap satu cowok yang mondar-mandir di sekitarnya. Dewa... Aku kaya rempehan peyek teri di mata kamu, ya.

Sense Of Belonging (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang