BAB 23 SHIT DUA KALI

466 29 10
                                        

Nyaris dua jam menebar senyum palsu. Berbincang satu dua hal yang harusnya tak perlu dibicarakan. Apalagi, bila hal itu menyasar ranah-ranah pribadi, bukan sesuatu yang sebenarnya pantas untuk dicampuri. Namun, begitulah orang-orang bersosial, saking tak ada bahan untuk diperbincangkan kehidupan personal pun menjadi tumbal.

Dan, Dipta harus mengolah baik-baik setiap jawaban yang keluar dari mulutnya. Sebagian dari mereka sibuk menanyakan perihal statusnya, kesehatan Wisnu Reksadinata, sampai mengapa sepupunya-- Saga tak hadir dalam jamuan acara makan malam ini.

Sebisa mungkin ia pangkas jawabannya agar tak ada lagi obrolan yang melalang buana kemana-mana.

"Saya sangat takjub dengan invansi yang dilakukan Pak Wisnu beberapa tahun belakangan ini."

Dipta balas mengangguk. Salah seorang petinggi bank milik kakeknya kembali mengajaknya berbincang-- selepas makan malam beberapa menit lalu.

"Dulu saya tidak menduga Pak Wisnu akan menjual seluruh sahamnya. Lantas menjatuhkan kepemilikan sepenuhnya kepada Pak Artaguna. Ternyata, prediksi beliau sangat akurat. Beberapa tahun setelahnya, Pak Arta tidak lagi bisa menjaga kestabilan bank. Beberapa petinggi rekanan saya juga terang-terangan melakukan fraud dalam internal kami."

Obrolan itu tertahan sejenak karena kedatangan seorang pria bertuxedo, membawa dua gelas kaki di atas nampan. Hendak menawarkan minuman.

"Diminum, Pak Dipta." seseorang yang bicara itu lebih dulu meraih gelasnya, meneguknya sedikit. Dipta menyusul, mengambil satu gelas tersisa.

"Andai dulu Pak Wisnu mempertahankan bank itu, pasti beliau yang sudah tenggelam dalam kubangan masalah besar."

Dipta mencium aroma aneh dalam gelas minumnya.

"Tapi saya tidak pernah meragukan insting bisnis beliau." imbuh pria yang bicara itu. "Masih beruntung saya, karena diberikan kesempatan bergabung, mengembangkan bisnis keuangan Pak Wisnu bersama-sama."

Dipta sedikit mengerti mengenai arah pembicaraan ini. Pria berusia lima puluhan yang bicara di sampingnya hendak mencari atensi. Entah, untuk meraih promosi jabatan atau ada hal lainnya. Namanya Hilmi Asyur. Salah satu yang paling mengenal Wisnu Reksadinata sejak usia muda.

"Saya senang melihat anda sekarang sudah tumbuh dewasa dan gagah." pria bertubuh gempal itu menatap takjub. "Sejak dulu, Pak Wisnu memang sudah membidik anda sebagai penerusnya. Dan, beliau pasti akan tenang bila tahu perusahaannya diwariskan kepada orang yang tepat."

Dipta menimpalinya dengan senyum tipis. Itu pujian yang tidak buruk.

"Ngomong-ngomong soal pendamping tadi, saya memiliki putri sulung yang sudah beranjak dewasa. Dua tahun ini, dia di Boston untuk rampungkan kuliahnya. Sebentar lagi dia akan kembali ke sini. Bila Pak Dipta berkenan, saya hendak mengenalkannya."

Ck. Dipta mulai merutuki jawabannya disela makan malam tadi. Mengapa pula ia bilang belum memiliki pasangan, harusnya ia bilang saja 'sudah' agar tak ada tawaran menjengkelkan seperti ini.

"Putri saya ngomong-ngomong sangat cantik, persis ibunya di masa muda." Hilmi terkekeh.

"Soal itu, Pak Hilmi." Dipta memperbaiki posisi berdiri sejenak. "Sebenarnya, saya sudah memiliki pasangan."

"Oh, sungguh?" Hilmi terkejut.

Dipta mengangguk. Membenarkannya.

"Tadi saya belum bisa jujur karena saya belum berkenan orang-orang mengetahui rencana pernikahan saya." imbuhnya.

Hilmi diam sejenak.

"Sayang sekali," ia menghela napas. "Sebenarnya saya sangat berharap bisa memiliki hubungan yang semakin intens dengan Pak Wisnu andai bila Pak Dipta memang berkenan. Tapi saya tetap ikut senang, karena anda sudah menemukan seseorang yang tepat."

Sense Of Belonging (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang