27. Explanation

643 62 6
                                    

Explanation
ˌekspləˈnāSH(ə)n / Penjelasan

GARISH

Tears, cry out, angry, hug, sorry, thanks, and repeat. Selasa malam di bulan Desember, terlalu malas untuk mengingat tanggal berapa hari ini. Yang aku tahu, terakhir kali yang aku lakukan adalah menangis di ruang tengah apartemen, dan berada di pelukan Lingkar. But, those all speculation is only in my mind, ketika aku tersadar sudah berada di atas tempat tidur.

"Hei, kok bangun?" Suara Lingkar menginterupsi kegiatanku mengerjap. "Gerakan aku ganggu kamu?" Tanyanya lagi. Aku menatapnya, tersenyum. Mungkin Lingkar baru saja akan pergi jika aku tidak terbangun.

Telunjuk tangan kananku berusaha menggapai jemari Lingkar yang berada tidak jauh dari jangkauanku. Just like a slow motion on a movie scene. "Ka-mu mau ke-mana?" Suaraku lirih dan terbata, Yaa tuhan ada apalagi dengan suaraku? Tidak cukupkah tampilanku yang sangat buruk ini terlihat oleh Lingkar? Apakah suaraku juga harus terdengar sangat tidak bagus?

Lingkar kembali duduk di bagian tempat tidurku yang kosong. "Aku gak akan kemana-mana sampai kak Bhumi pulang." Ucapnya, tapi bukan itu jawaban yang aku maksud. Mendapati diriku yang hanya diam, Lingkar berkata lagi, "Mau sesuatu? Biar aku cari?" Tangannya yang lain digunakan menyeka beberapa helai rambut yang hampir menutupi mataku. "Oh iya aku bawa oleh-oleh dari Bandung dan cake-nya SeaSalt favorit kamu." Serunya hendak berdiri namu berhasil aku cegah.

"Nggak." Aku menggelengkan kepala, incase he don't know what I said.

"Kenapa?"

"Ma-af." Bukan jawaban, melainkan ucapan maaf yang aku utarakan. "Ma-af, kare-na a-ku marah sama kamu." Finally, aku bisa menuturkan kalimat panjang yang ada di kepala.

"Hei." Kali ini kedua tangan Lingkar berhasil melingkupi sisi wajahku. "We've already finished our fight just now." Lingkar dengan segala kesabarannya yang begitu aku suka. "Kamu istirahat dulu, kita obrolin semuanya nanti ketika keadaan fresh, nggak ketika aku dekil, lusuh kayak gini, dan nggak ketika kamu-" Lingkar menjeda ucapannya. Aku bisa menebak bahwa dia sedang memikirkan kalimat selanjutnya, apakah akan menyakitiku atau tidak? Bolehkah aku percaya diri bahwa Lingkar sepeduli itu? "Dan ketika kamu sudah lebih baik dari saat ini."

"Begini," Lingkar berusaha menjelaskan kalimat yang dia maksud. Apakah wajahku terlihat seperti tidak menyukai kalimatnya? Sebenarnya ada apa dengan wajahku? Aku akui sejak kemarin malam, aku menghindari cermin. Aku tidak ingin menatap pantulan wajahku di cermin karena aku tahu yang akan aku lihat bukanlah aku. Perasaanku mengatakan bahwa saat ini adalah aku yang sangat buruk. Mungkin kelopak mataku yang membesar, hidung kecil runcingku yang merah tiap kali selesai menangis, atau rambut yang tak tersisir, berantakan. Aku benci diriku yang seperti ini, mungkinkah Lingkar juga begitu? "Hei, kamu mikirin apa hmm?" Tanyanya, apakah aku sudah melewatkan ucapannya?

"Be-gini?" Tanyaku memastikan lanjutan ucapannya yang mungkin sudah Lingkar ucapkan namun terlewat dari pendengaranku, atau mungkin belum Lingkar ucapkan.

"Iya, jadi begini. Kita bisa bicarakan nanti, tidak sekarang. Kamu lelah menangis seharian, aku lelah bekerja seharian." Lingkar melempar tatapannya menuju kaca besar kamarku yang belum tertutup tirainya. "Atau kita bisa membicarakannya di tempat yang lain? Di tempat favorit kamu? Atau di tempat yang belum kamu datangi, tapi kamu ingin? Let me know, and I'd like to come."

"O-ke"

"Oke, kalau gitu aku sholat dulu. Sudah hampir habis waktu."

"Oke"

"Sudah sholat?" Tanyanya yang aku jawab gelengan kepala. "Mau sholat bareng?"

"Bo-leh?"

"Bolehlah kenapa nggak?"

Garis TanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang