2. Rendezvous

1.1K 122 10
                                    

Rendezvous
ˈrändəˌvo͞o / Pertemuan

Garish

Waktu menunjukan pukul 17.30 waktu Jakarta, ketika aku baru saja menemani dokter spesialis bedah mulut menyelesaikan tiga tindakan bedah gigi sekaligus. Melepas beberapa alat pelindung diri dari tubuh dan merapihkan beberapa peralatan pribadi miliku di atas meja, aku bersiap untuk segera pulang.

"Ners Rury, aku balik duluan yaa, besok ada double jadwal nih."Seruku pada Rury yang masih sibuk merapihkan beberapa peralatan pasca tindakan operasi kecil.

Rury berhenti sejenak dari kegiatannya dan menoleh. "Iya dok, hati-hati yaa."

"Kamu juga hati-hati yaa pulangnya. Oh iya satu lagi, tadi aku lupa sampein ke pasien, nanti kalau ketiga pasien tadi tanya kapan bisa pulang, tunggu jadwal dokter visit besok ya ners Rury. Besok jadwal praktik aku kan jam sembilan pagi." Seruku sembari meraih handbag dan mencangkleng snelli di tanganku.

"Siap dok."

"Aku duluan yaa." Tutupku sembari memutar kenop pintu untuk keluar dari ruang praktik.

Menekan tombol lift, sembari menunggu pintunya terbuka, aku mengamati lantai dimana ruanganku berada. I've through it and I've do my best. Menjalani kehidupan sebagai seorang dokter bukanlah sebuah minat atau bahkan impianku sedari kecil. Ada banyak cerita, bagaimana aku bisa sampai di posisi saat ini, harus aku akui, banyak peran mama untukku sampai berada dititik ini.

Aku tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga besar yang segala sesuatu pencapaiannya terukur dan dihitung berdasarkan karir, pangkat, dan berapa digit angka dalam rekening pribadimu, my own family has own standard society. Cukup naif sebenarnya, tapi bukankah kita tidak pernah bisa memilih harus terlahir seperti apa dan dalam keluarga yang seperti apa?

Sewaktu kecil, aku memiliki impian menjadi seorang penyanyi, bisa kalian bayangkan, bagaimana tanggapan sinis yang keluar setiap kali seorang Garish kecil bercerita akan cita dan angannya dan Garish kecil tidak akan pernah sadar akan hal itu.

Tujuh tahun lalu, ketika aku duduk di bangku kelas XII MIPA 1, aku mulai di sibuk-kan berbagai macam latihan soal untuk Ujian Nasional kelulusan yang menentukan untuk ikut atau tidaknya seleksi perguruan tinggi jalur undangan (SNMPTN) dan Prom Night impian. Mama adalah orang pertama yang selalu antusias aku ceritakan segala macam progres pencapaianku setiap harinya, sampai tiba di hari itu, hari yang selalu aku ingat sebagai boom waktu.

Lelah sebenarnya jika harus mengingat cerita-cerita lalu, tapi aku pernah mendengar pepatah mengatakan, "melupakan adalah cara terbaik untuk mengingat." artinya semakin kita berusaha melupakan sesuatu, akan semakin besar juga peluang kita untuk mengingatnya, and I've allowed myself to get through it. Kilas balik ceritaku terhenti saat denting lift terdengar dan pintu lift yang akan aku tumpangi untuk turun, terbuka.

"Eh Garish, mau turun?" Seruan salah satu perempuan di dalam lift yang cukup mengagetkanku terdengar, dia mencoba menekan tombol agar pintu lift tetap terbuka dan memberi sedikit ruang untuk aku masuk, lalu dia berbicara lagi. "Sini, sebelah aku masih muat, tancap aja, kelamaan kalau harus nunggu lift yang lain."

"Makasih kak." Jawabku kecil. Kenalkan, perempuan yang sedang berbagi lift bersamaku saat ini adalah kak Thaya. Athaya Isvara, kakak dari mantan pacarku. She's a lovely and kind, tapi ada cerita yang membuat aku harus berdiri rikuh saat ini.

"Udah lama yaa kita gak ketemu Rish? Padahal kita satu rumah sakit. Kamu apa kabar? makin sibuk yaa?" Tanya kak Thaya halus.

And I've no reason to avoid her. "Kabar aku baik kak, kabar kakak bagaimana?"

Garis TanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang