26. Disorder

666 55 11
                                    

Disorder
ˌdisˈôrdər / Kekacauan

GARISH

Seperti hampir mati, namun berhasil selamat berkali-kali. Aku seperti sadar namun tidak sadar, mataku gelap, ingin berbicara seperti terbungkam, namun ada titik cahaya yang membuatku mengerti sepenuhnya bahwa aku masih hidup.

"Sayang, bagaimana Garish?" Itu suara kak Saras.

"Semuanya udah normal, kita tunggu sebentar lagi sampai dia sadar." Itu suara kak Bhumi. "Kamu yang tenang oke?"

"Yaa."

Setitik cahaya lamat-lamat kian membesar dan terang, mataku terbuka ketika kak Bhumi tengah memeriksa kedua mataku dengan medical light pen miliknya. "Kak." lirihku.

"Yaa, ini kakak." Kak Bhumi meletakkan alat medisnya dan beranjak menatapku lebih dekat.

"Syukurlah, Garish sadar!" Kak Saras menimpali dengan penuh syukur.

Kepalaku berat sekali. Meneliti sekeliling, aku masih berada di dalam kamarku. Hidung juga mulutku tertutup masker oksigen dan terhubung dengan oxygen concentrator yang memang siap tersedia di apartemenku. "Kak."

"Jangan banyak bicara dulu, oke." Kak Bhumi mengusap pelan kepalaku. "Istirahat strawberry, kak Bhumi yang akan jaga kamu." Aku tahu kak Bhumi pasti sangat khawatir, tapi kak Bhumi masih bersikap tenang, karena ada kak Saras yang mudah panik.

Benar-benar seperti seekor kucing, hampir mati namun nyawaku selamat berkali-kali. Seandainya kak Bhumi tidak memiliki key card apartemenku, jika saja kak Bhumi telat atau bahkan tidak datang, dan terlalu banyak jika-jika lainnya ketika nyawaku masih terselamatkan.

Terlalu lelah jika mataku harus terpejam lagi, namun bila terus menatap kak Bhumi bukan tidak mungkin tangisku pecah lagi. "Let's cry, jangan ditahan strawberry." Nyatanya air mataku mengalir ketika belum sempat aku kendalikan. "Let's
cry, ada kakak." Kak Bhumi masih menyapu kedua pipiku yang tidak tertutup concentrator dengan jemari besarnya.

Dalam beberapa jurnal yang pernah aku baca menuliskan bahwa ketika seseorang menangis karena emosional, akan melepaskan oksitosin dan endorfin yang dapat membuat ia merasa lebih baik. Nyatanya oksitosin dan endorfin dapat meringankan rasa sakit fisik serta emosional yang kita rasakan. Katanya jika menangis bisa meredakan rasa nyeri, lantas mengapa nyeriku di lima tahun yang lalu bisa datang lagi? Bukankah aku sudah sering menangis?

"Kak."

"Let's cry Garish, gapapa kamu nangis. Tapi, kalau kamu bicara sekarang kakak gak bisa dengar dengan jelas. Suara kamu masih teredam concentratornya." Kali ini kak Bhumi menggenggam tanganku lebih erat. "Kamu tenang, ada kakak disini. Kakak gak akan kemana-mama sampai kamu pulih."

Sudah lima jam berlalu sejak dini hari tadi aku tersadar dan menyadari keberadaan kak Bhumi juga kak Saras di apartemenku, masih terjaga dan tidak bisa kembali memejamkan kedua mata. Matahari perlahan mengintip dari celah-celah tirai kamar apartemen, kak Saras yang masih tertidur di sebelahku sedikit terganggu dengan sinar kecil itu juga kak Bhumi yang tidak beranjak sama sekali dari kursi rias yang ditarik mendekat untuk menjagaku.

Kak Bhumi kembali mengontrol saturasi oksigen di tubuhku, memastikan tetap berada di angka normal selama waktu pantaunya. Menghirup oxygen bersih yang berada dari concentrator memang lebih segar ketimbang udara yang kita hirup langsung sekarang ini. Tapi, kamu hanya akan merasa bebas jika dapat bernapas tanpa alat.

Kak Bhumi melepas masker concentrator yang entah bertengger berapa lama menutupi hidung dan mulutku. "Kak." Kata pertama yang berhasil aku ucap.

"Yaa strawberry?"

Garis TanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang