Waiting
ˈwādiNG / Menunggu
Lingkar
"Setelah balik dari Bandung, gue lihat-lihat semingguan ini lo sibuk banget!" Seru bang Reiga menghampiri dengan kursi roda kubikelnya."Yaa lumayanlah, sebanding sama cuan yang masuk juga kan." Gue masih fokus dengan lembaran graph sketch dan house plan di atas meja.
"Kejar target banget Ling?"
"Gak kejar target juga sih bang, cuma kan banyak cicilan yang mesti gue bayar. Ada mobil, apartemen, asuransi." Merasa tidak ada yang perlu gue revisi lagi, lantas gue gulung dan memasukannya kedalam tabung gambar yang selalu gue bawa kemana-mana.
"Bukan karena lagi ngehindarin masalah?" Celetukan bang Reiga spontan menghentikan kegiatan gue yang tengah menutup penutup tabungnya. "Hari Sabtu nih Ling, beneran mau malem mingguan sama komputer?" Celetuk bang Reiga yang kali ini gue abaikan.
Memilih berlalu menuju salah satu sisi dinding yang tersusun beberapa holder dokumen, gue lantas berseru "Bukannya udah biasa juga yaa anak arsi malem mingguannya sama komputer?"
"Malem ini gue gak ada ngedate sama ayang gue, gue cuma mau nawarin telinga aja sih kalau emang lo butuh tempat cerita." Menoleh menatap bang Reiga, bang Reiga lantas berbicara lagi, "Itu kalau lo mau yaa, kalau lo gak mau gue mau pulang cepet aja. Lumayan lah bisa istirahat."
"Setengah jam lagi deh yaa bang, di SeaSalt." Gue lantas beranjak kembali menuju kubikel, "Gue mau kirim email yang dibutuhin sama Ai dulu." Lanjut gue lagi.
"Okay, SeaSalt yaa. Gue turun duluan." Seru bang Reiga lantas mengembalikan kursinya pada tempat semula, meraih slingbag dan berlalu meninggalkan gue sendirian di ruangan.
Selasa pagi di minggu ini, cukup menyenangkan bagi gue. Menghabiskan pagi-pagian dengan memasak dan sarapan bersama Garish, hal yang dengan percaya dirinya gue klaim sebagai awal yang bagus semenjak masalah sabtu malam di Logios dan senin malam di basemen apartemen Garish.
Apa yang gue dan Garish lakukan selasa pagi, cukup membuat gue bersemangat melakukan peninjauan lahan proyek hotel pandawa di Bandung. Gue cukup fokus dalam bekerja, pikiran gue benar lepas, seperti tanpa beban. Pekerjaan beres dan hati senang, bang Reiga cukup bangga menyaksikan kinerja gue selama di sana. Satu hari satu malam yang membuat gue benar-benar fokus pada pekerjaan gue tanpa memikirkan Garish. Karena gue pikir, selama gue di Bandung adalah waktu bagi kami sama-sama berpikir.
Gue pikir, dengan meninggalkannya dengan penjelasan yang cukup panjang gue jabarkan, bisa dengan mudah membuat Garish percaya. Namun ekspektasi tidak seindah realitanya, menelfon Garish dengan niat mengabari bahwa gue sudah tiba kembali di Jakarta namun tidak ia jawab. Meninggalkan pesan pun tidak ada balasan. Nyatanya, hingga Sabtu siang ini gue masih berpikir positif bahwa mungkin, Garish masih membutuhkan waktu lagi.
Dan alhasil, pelampiasan dari waktu menunggu kabar dari Garish adalah seperti saat ini. Menyibukkan diri gue dengan segudang pekerjaan, beberapa desain yang biasa gue serahin ke orang lain pun, gue lahap. Di kantor hingga benar-benar larut, bahkan, beberapa kali menjadi orang terakhir yang meninggalkan kantor. Mungkin, bang Reiga menyadari perubahan diri gue beberapa hari ini, hingga berujung tawarannya sore ini, menjadi pendengar keluh kesah gue.
Memastikan email yang gue kirimkan untuk Keisya benar terkirim, gue lantas merapihkan beberapa tool kit gue yang bertebaran di atas meja. Memastikan tidak ada lagi barang yang tertinggal, gue lantas berlalu menuju bang Reiga yang tengah menunggu gue di SeaSalt.
Garish
Aku masih memperhatikan key card apartemen milik Lingkar yang tengah aku genggam, untuk apa dia memberikan aku akses masuk kedalam apartemennya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Tanya
ChickLit"When did you fall in love with her? The one in front of you right now." Jika gue harus menjawab question quotes yang terpampang dalam satu sisi dinding cafe tempat gue duduk saat ini, gue akan menjawab dengan lugas. "I've been in love with her fro...