"Aromanya sudah mulai tercium." Hidung Chaeyoung berkedut. Tangannya bergerak mengambil sejumput rempah daun. "Tinggal menambahkan dill dan ..." Dia mengaduk sup yang sedang direbusnya. "Selesai."
"Harum sekali."
Suara lembut dari balik punggungnya telak membuat tubuh Chaeyoung menegang. Dia tahu siapa pemilik suara lembut itu. "S-selamat pagi, Bibi."
Benar dugaan Chaeyoung. Yang memuji aroma masakannya adalah ibu Taehyung, yang tampak penasaran dengan apa yang sedang dimasak Chaeyoung.
"Selamat pagi. Apa tidurmu nyenyak?" tanya Jisoo.
"Hmm." Chaeyoung mengangguk. "Sangat nyenyak, Bibi." Gurat ketegangan di wajahnya perlahan luntur.
"Syukurlah. Aku sempat khawatir kalau kau akan terkena flu."
"Flu?"
"Hmm." Jisoo menyunggingkan senyum sembari menyentuh dahi Chaeyoung dengan punggung tangannya.
Chaeyoung menahan napas. Jantungnya berdebar kencang di saat otaknya menyerukan perintah untuk tidak melakukan sesuatu yang aneh.
"Semalam aku melihat kalian berdansa di luar," tutur Jisoo, menarik tangannya lalu melongok ke dalam panci yang berisi masakan Chaeyoung.
"D-dansa?" Chaeyoung mulai panik. "Apa dia melihatku dan Taehyung berciuman?"
"Hmm ... kau dan Taehyung." Jisoo memaku atensi pada wajah merona Chaeyoung. "Aku melihat kalian duduk di ayunan, lalu berdansa hingga hujan turun." Entah kenapa Jisoo seperti menikmati wajah merona Chaeyoung yang sedang menahan malu. "Dan putraku tidak berhenti untuk terus menciummu."
Bukan hanya rona merah pucat, namun rona krimson telah membungkus wajah Chaeyoung. Kepalanya seolah mengepulkan asap lantaran malu. Tubuhnya menjadi kaku setelah mendengar tawa kecil yang tidak bisa disembunyikan wanita cantik itu.
Nyatanya, menghadapi Kim Jisoo jauh lebih menegangkan dibanding menghadapi putranya, Kim Taehyung. Wanita paruh baya itu senang sekali menggoda Chaeyoung, yang sudah dia anggap sebagai menantunya sendiri.
"Oh, sepertinya supnya sudah siap untuk dihidangkan," kata Jisoo, menyudahi kekehannya. "Apa ini untuk Taehyung?"
Chaeyoung menggeleng. "B-bukan, Bibi. I-itu untuk nenek. Beliau bilang perutnya merasa tidak nyaman sejak pagi."
"Maaf telah merepotkanmu, Chaeyoung-ssi. Ibu memang sering mengeluh sakit perut belakangan ini." Jisoo berbalik mengambil seduhan teh yang sudah dia siapkan untuk suaminya.
"Tidak, Bibi. Aku senang melakukannya," ujar Chaeyoung, mengambil sup dengan sendok sup.
"Terima kasih. Kau sangat perhatian." Jisoo berjalan mendekati Chaeyoung. "Ngomong-ngomong, aku lebih senang kalau kau memanggilku eonnie."
Puas menggoda Chaeyoung, Jisoo pun berjalan keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi teh dan camilan untuk suaminya, dan Jisoo kecil. Senyum di wajahnya terus mengembang, sebab senang mendapati reaksi menggemaskan Chaeyoung.
"Ibu dan anak sama saja," gerutu Chaeyoung dalam hati. Wajahnya masih merona dengan senyum mengembang saat ia berjalan menuju kamar nenek Kim. "Nenek pasti suka rasanya." Masih bermonolog dalam hati, ia jelas mensyukuri keahlian memasaknya.
Kalau dipikir-pikir jika sedari kecil ibunya memanjakannya seperti sekarang, yaitu kerap membuatkan menu makanan favoritnya, mungkin kini Chaeyoung tidak akan tahu cara menyalakan kompor, atau mengupas kulit apel tanpa melukai tangannya.
Langkah Chaeyoung mendadak terhenti saat melihat presensi pria bersurai eboni duduk di tepi ranjang nenek Kim. Dia ragu apakah harus masuk sekarang, atau menunggu Taehyung memberikan isyarat untuk masuk. Barangkali nenek dan cucunya itu sedang membicarakan hal penting, Chaeyoung tidak ingin mengganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHAT'S WRONG WITH SECRETARY KIM
FanfictionBuntut dari kalah taruhan dengan duo sahabatnya, mengharuskan seorang Park Chaeyoung menonton K-drama yang dibencinya, apalagi kalau bukan What's Wrong With Secretary Kim. Chaeyoung yang mendadak terkena kutukan "tidak bisa berhenti memikirkannya" s...